Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tren Pamer Harta Review Saldo ATM di Medsos, Kenapa Banyak Penontonnya?

Kompas.com - 10/08/2021, 18:00 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

KOMPAS.com - Marak konten-konten di media sosial tentang tren pamer harta, baik yang dilakukan artis maupun orang kaya. Namun, ternyata banyak orang yang tetap mau menonton konten seperti ini, salah satunya tentang review saldo ATM

Unggahan di berbagai sosial media kian marak konten pamer harta, dari pesohor hingga para orang kaya di Indonesia.

Salah satu yang sedang ramai belakangan ini adalah challenge Review Saldo ATM.

"Ganteng, Review Saldonya dong," kata-kata yang diucapkan di video yang banyak beredar di berbagai situs jejaring sosial.

Challenge pamer saldo ATM pun juga banyak diikuti sejumlah anak muda. Mereka tak segan menunjukkan sisa saldo ATM dengan nilai hingga miliaran rupiah.

Baca juga: Marak Pamer Harta Review Saldo ATM di Media Sosial, Ini Kata Pakar LIPI

 

Unggahan konten-konten terkait review saldo ATM tersebut pun viral kembali dan menjadi tren di media sosial, tak hanya di TikTok, tetapi juga di Instagram hingga Twitter, seperti diberitakan Kompas.com, Senin (9/8/2021).

Herannya, konten pamer harta, pamer saldo ATM, hingga pamer kemewahan seperti ini tetap menarik orang untuk mau menonton, baik yang diunggah di media sosial maupun media mainstream lainnya.

Menurut pakar media dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nina Widyawati, tren pamer harta, seperti pamer saldo ATM yang ramai saat ini, sudah ada sejak lama.

"Pada dasarnya manusia itu suka pamer. Hal ini disebabkan oleh indikator kesuksesan seseorang yang diukur dengan kepemilikan harta," kata Nina saat dihubungi Kompas.com, Selasa (10/8/2021).

Lantas, apa yang membuat orang tetap mau menonton konten pamer harta seperti ini dan apa menariknya dari tren pamer saldo ATM?

Baca juga: Ini Dampak Psikologis Pamer Harta di Media Sosial bagi Masyarakat

Ilustrasi harta karun.UNSPLASH/ HUSH NAIDOO Ilustrasi harta karun.

Nina menjelaskan bahwa penonton sedang melarikan diri dari kehidupan sehari-hari atau eskapisme. Dulu eskapisme, kata Nina, dilakukan melalui opera sabun, dan di Indonesia yakni acara atau tayangan sinetron.

"Sekarang sinetron yang laris jumlahnya tidak banyak dan nontonnya juga dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan nonton pameran harta melalui media digital tidak dibatasi oleh ruang dan waktu," jelas Nina.

Sementara untuk konsumen terbesa dari pameran atau konten-konten tentang pamer harta, menurut Nina, perlu dilakukan riset mengenali demografis dan geografis, serta implikasinya.

Budaya media sosial secara langsung telah mendorong fenomena ini.

Nina berkata, media sosial telah memfasilitasi kondisi ini. Sebab, sifatnya yang users generated content yaitu semua orang bisa memproduksi konten.

"Melalui medsos konsumen pamer harta lebih luas dibanding era sebelumnya," imbuh Nina.

Nina mengatakan bahwa di beberapa komunitas masyarakat, harta atau kekayaan diukur dengan kepemilikan yang melekat pada tubuh, misalnya perhiasan emas.

Baca juga: Fenomena Artis Pamer Harta, Belum Tentu Gangguan Jiwa…

 

 

Biasanya, ruang pamer harta bagi komunitas seperti ini misalnya hanya sekadar pergi ke warung atau hajatan, seseorang harus menggunakan perhiasan emas, bahkan gigi emas.

Nina menambahkan bahwa pamer harta bukanlah tolok ukur atau ukuran kesuksesan seseorang. Prestasi di bidang Pendidikan, kegiatan sosial, misalnya bagaimana anak muda melakukan sociopreneur agar untuk mempermudah akses pasar bagi petani merupakan sebuah ukuran kesuksesan.

"Berita mengenai Bukalapak yang IPO dan sahamnya melesat harusnya menjadi tontonan yang menarik bagi generasi millennial dan generasi Z. Dengan nilai valuasi triliunan rupiah, Ahmad Zaky tidak terlihat pamer harta," jelas Nina.

Terkait dampak sosial yang bisa diakibatkan dari tren pamer harta yang tengah marak di media sosial hingga media mainstream lainnya, Nina mengatakan belum ada data terkait hal itu.

"Hanya ada kekhawatiran generasi sulit membedakan mana realitas media dan mana realitas sehari-hari. Sekarang kalau tanya pada anak kecil yang polos, banyak yang menjawab 'Jadi Youtuber'. Mungkin dalam bayangannya Youtuber identik dengan kaya," papar Nina.

Baca juga: Marak Pamer Harta Review Saldo ATM di Media Sosial, Ini Kata Pakar LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com