Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Epidemiolog: PPKM Sudah Seharusnya Diperpanjang, tapi Ada Catatan Penting

Kompas.com - 03/08/2021, 10:38 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Keputusan pemerintah untuk melanjutkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di Indonesia, dinilai epidemiolog sudah seharusnya dilakukan.

Diberitakan sebelumnya, kebijakan perpanjangan PPKM terhitung sejak Selasa (3/8/2021) hingga Senin (9/8/2021).

Keputusan tersebut diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (2/8/2021) malam.

"Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan penerapan PPKM Level 4 dari tanggal 3 sampai dengan 9 Agustus 2021," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden.

Menurut Jokowi, nantinya PPKM Level 4 ini akan berlaku di sejumlah kabupaten/kota.
Namun, wilayah mana yang akan menerapkan PPKM Level 4 akan diumumkan Menteri Koordinator.

"Dengan penyesuaian aturan aktivitas dan mobilitas masyarakat seusai kondisi di masing-masing daerah," ucap Jokowi.

Baca juga: PPKM Level 4 Diperpanjang hingga 9 Agustus, Simak Aturan Lengkapnya

Jokowi mengklaim bahwa PPKM Level 4 yang telah dilakukan sebelumnya telah membawa sejumlah perbaikan.

"Baik dalam hal konfirmasi kasus harian, tingkat kasus aktif, tingkat kesembuhan, dan persentase BOR (bed occupancy rate)," ujar Jokowi.

Penilaian dan evaluasi epidemiolog

Terkait dengan PPKM Darurat yang sudah berjalan di Indonesia, epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman mengatakan bahwa PPKM Darurat ini sudah seharusnya diperpanjang dan langkah yang diambil pemerintah sudah tepat.

"Perpanjangan (PPKM darurat) ini kalau dari sisi indikator epidemiologi sudah tepat, pilihannya memang harus seperti itu," kata Dicky kepada Kompas.com, Selasa (3/8/2021).

"Dengan catatan, tentu pemerintah punya kalkulasi dukungan untuk kelompok rawan di masyarakat dari sisi sosial ekonomi. Dan ini tentunya sudah dihitung dengan cermat oleh pemerintah," imbuh dia.

Dicky mengatakan, dengan diberlakukannnya perpanjangan PPKM darurat, tentu akan berdampak pada kondisi pandemi di Indonesia. Namun demikian, hingga saat ini dampaknya belum terlalu signifikan.

Berikut beberapa evaluasi Dicky selama berjalannya PPKM darurat.

 

Tenaga kesehatan melakukan tes usap Antigen dan Polymerase Chain Reaction (PCR) di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (28/7/2021). Dinas kesehatan Kota Manado meningkatkan testing dan tracing kasus COVID-19 selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bagi warga yang tergolong Kontak Erat Resiko Tinggi (KERT), sebagai bagian dari upaya percepatan penemuan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 untuk menekan terjadinya kasus perburukan maupun kematian. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/rwa.

ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO Tenaga kesehatan melakukan tes usap Antigen dan Polymerase Chain Reaction (PCR) di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (28/7/2021). Dinas kesehatan Kota Manado meningkatkan testing dan tracing kasus COVID-19 selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bagi warga yang tergolong Kontak Erat Resiko Tinggi (KERT), sebagai bagian dari upaya percepatan penemuan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 untuk menekan terjadinya kasus perburukan maupun kematian. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/rwa.

1. Testing sangat minim

Menurut penilaian Dicky dari sisi epidemiologis, saat ini Indonesia sedang berada di titik puncak pandemi Covid-19, khususnya untuk Jawa dan Bali.

"Sudah masuk (puncak) ini dalam proyeksinya," ungkap Dicky.

Dicky mengevaluasi, yang menjadi masalah dan tantangan bagi penanganan Covid-19 di Indonesia saat ini, terutama selama kebijakan PPKM dijalankan dalam beberapa minggu terakhir adalah sangat rendahnya kapasitas testing.

"Kapasitas testing sangat rendah. Kenapa saya sebut sangat rendah, karena tidak sebanding dengan besarnya masalah," jelas dia.

"Bahkan kalau berbicara testing, harusnya saat (diumumkan) 50.000 infeksi, dalam 3x24 jam kemudian seharusnya ada 1 juta test dilakukan untuk merespons yang 50.000 terdeteksi itu."

Kenapa harus dilakukan 1 juta tes Covid-19 dalam 3x24 jam setelah diumumkan ada 50.000 kasus positif harian?

Dijelaskan Dicky, ini karena dari satu kasus infeksi setidaknya ada 20 orang yang tertular.

"Kalau enggak 1 juta, minimal banget harusnya ada 500.000 testing setelah itu," sambung Dicky.

Namun dalam respons pandemi seperti ini, yang harus dilakukan pemerintah semestinya bukan mengambil skenario teraman. Namun harusnya mengambil skenario terburuk.

"Yang 1 kasus menginfeksi 20 (orang), itu pun bukan skenario terburuk. 30 kasus seharusnya," ungkapnya.

 

Penyekatan PPKM Darurat di Km 31 Tol Jakarta-CikampekKOMPAS.COM/STANLY RAVEL Penyekatan PPKM Darurat di Km 31 Tol Jakarta-Cikampek

Berkaitan dengan 3T (testing, tracing, dan treatment) yang harus dilakukan oleh pemerintah menjadi permasalahan utama dalam pandemi Covid-19 di Indonesia.

Bukan hanya saat ini, tapi dari awal kasus Covid-19 pertama kali muncul di Tanah Air.

Dicky mengingatkan, jika testing dan tracing tidak benar-benar dilakukan, Indonesia akan sulit keluar dari pandemi.

2. Banyak klaster belum tuntas

Jika melihat perjalanan kasus Covid-19 di Indonesia sebulan terakhir saja, Dicky menilai, masih banyak klaster penyebaran Covid-19 yang belum tuntas diselesaikan.

Masalah ini, tak lepas dari minimnya pengetesan dan pelacakan Covid-19 seperti yang disebutkan Dicky dalam poin pertama.

"Kalau itu tidak dilakukan (3T), kita sulit menang dari Covid-19, dengan minim korban itu sulit pada masa puncak pandemi ini khususnya di Jawa dan Bali," kata Dicky.

3. Testing harus masif dan disediakan pemerintah

Testing di Indonesia tidak hanya dinilai sangat rendah, tapi juga sangat pasif. Ini keliru.

Dicky menyebut, seharusnya testing Covid-19 di Indonesia dilakukan dengan masif, agresif, dan disediakan oleh pemerintah.

"Minimal dengan rapid test antigen saja," kata Dicky.

Namun di lapangan, dari laporan dan data yang didapat Dicky, testing masih sangat sulit diakses di sejumlah wilayah dan masyarakat harus melakukannya dengan biaya sendiri.

"Nah ini bagaimana kita bisa yakin bahwa kasus menurun? Wong di daerah-daerah sulit testing, enggak memadai, bahkan dibebankan ke masyarakat," ujarnya.

Ini artinya, angka kasus harian yang dilaporkan di Indonesia dengan jumlah yang turun lebih dari setengah dibanding pekan lalu, dipandang ahli sebagai angka semu.

"Harus dilihat juga, positivity rate sangat tinggi. Yang artinya, pandeminya sangat tidak terkendali."

Baca juga: Stok Vaksin Covid-19 Habis dan Tidak Merata, Begini Analisis Epidemiolog

Dari hal yang dipaparkan di atas, Dicky menilai bahwa 3T di Indonesia sangat kronis dan berbahaya jika tidak diperbaiki.

Bagaimanapun, 3T tersebut akan membantu orang untuk sembuh dari Covid-19 dan jika disepelekan angka kematian akan terus bertambah.

"Angka kematian kita, pertengahan Agustus ini bisa mencapai puncak jika (3T) tidak diperbaiki," tandasnya.

Selain itu, beban di layanan kesehatan akibat Covid-19 juga diprediksi masih akan terjadi karena kasus infeksi masih ada.

"Namun tentunya kita sambut perpanjangan PPKM ini, dan catatannya harus memperkuat 3T. Paradigma menemukan kasus Covid-19 harus jadi paradigma baru bahwa itu memang tanggung jawab kita," kata Dicky.

"Menemukan virus adalah cara kita memenangkan perang ini."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com