Memang indikasinya menunjukkan bahwa makin banyak yang divaksinasi akan semakin mengurangi penularan, meski berapa besar pengurangannya masih dalam penelitian, tetapi perbedaannya mungkin akan sangat substantif.
Lazim diketahui bahwa mereka yang sudah divaksin akan sangat kecil kemungkinannya dihinggapi penyakit; artinya akan terhindar menjadi orang tanpa gejala (asymptomatic) atau OTG.
Dan mereka yang tidak pernah menjadi OTG akan sangat kecil kemungkinannya menularkan Covid-19. (Namun mesti berhati-hati membedakan antara mereka yang asymptomatic (OTG) dengan mereka yang sebenarnya “baru akan sakit” (presymptomatic) yang biasanya sangat menular.
Baca juga: Pemerintah Belum Alokasikan Anggaran Khusus untuk Vaksin
Dalam sebuah studi awal, sebagian vaksin diketahui dapat mencegah dua pertiga (2/3) infeksi asymptomatic. Meski masih diperlukan lebih banyak data untuk meyakinkan, jelas bahwa makin sedikit orang yang bisa menularkan sebuah patogen (seperti virus), makin sulit bagi patogen itu untuk menyebar.
Pada saat kita sudah punya vaksin, pelandaian kurva jumlah penularan di hari-hari mendatang berarti juga pemberantasan virus.
Seorang mahasiswa pasca-doktoral di UCLA Dylan Morris yang mempelajari penularan virus dan studi kuantitatif penyakit infeksi menyatakan, intervensi non medis – seperti mengurangi kontak, pengunaan masker, jaga jarak, dan menghindari kerumunan – yang bisa menunda kasus, akan selalu berguna, dan saat ini, pada saat ada varian baru, hal itu benar-benar luar biasa bermanfaat.
Kita memang berpacu dengan waktu. Kesabaran dalam disiplin sambil melancarkan jalannya vaksinasi akan membawa perubahan besar terhadap penurunan angka kematian (mortality) dan jumlah kesakitan (morbidity).
”Bahkan, meski tanpa vaksin, memerangi virus meski secara sementara akan sangat penting artinya, khususnya karena adanya dampak eksponensial (hasil penularan),” kata Morris sebagaimana dimuat dalam laman theatlantic.com Desember lalu.
Ini karena jumlah prosentase yang sama dari angka yang lebih kecil akan menghasilkan jumlah akhir yang jauh lebih kecil.
Bayangkan hal ini: pada ancaman sebuah tsunami, kita buru-buru memindahkan orang-orang ke lokasi yang tinggi. Setiap orang yang sudah di atas bukit akan selamat. Lebih baik lagi bila setiap mereka membantu orang lain untuk “ikut naik” agar terselamatkan.
Hal itu sama dengan dampak eksponensial vaksin. Sebaliknya, dampak eksponensial meningkatnya penularan virus itu ibarat setiap orang yang tertinggal di wilayah pantai akan menghambat naiknya orang lain, sehingga ikut celaka.
Pada situasi begini, makit cepat kita bertindak akan makin mudah dan kian baik hasilnya. Sebaliknya, makin lama kita menunggu, apalagi saat gelombang laut mulai masuk ke darat, makin sulit melakukan proses penyelamatan.
Demikianlah dengan varian baru ini, kita seperti berada pada saat awal sebelum tsunami muncul. Semuanya itu berarti bahwa pelaksanaan vaksinasi luar biasa penting.
Memang ada indikasi kekhawatiran pada sementara pihak (atau mereka yang percaya pada teori-teori konspirasi), tetapi vaksinasi penduduk secara luas akan menyelamatkan banyak jiwa, dan epidemi diperangi dengan logistik dan infrastuktur yang optimal.
Kita mesti menempatkan seluruh kekuatan, energi, biaya dan ketabahan demi memvaksinasi sebanyak mungkin penduduk secepat mungkin.