Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Dosen LSPR

Penulis, mantan wartawan; Doktor dalam bidang komunikasi, dan dokter yang tidak praktik lagi; pengamat masalah sosial, komunikasi dan kesehatan.

Varian Baru Corona dan Senjata Vaksin Kita, Jangan Sampai Malapetaka Datang

Kompas.com - 14/01/2021, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jika seandainya, hanya seandainya, varian baru ini ternyata tidak seseram yang diduga, penularannya tidak secepat yang kita takutkan (dan kita akan mengetahuinya dalam waktu dekat), tetap saja kehati-hatian kita akan sangat bermanfaat.

Walakin, jika ternyata ia benar sangat menular, kita bisa masuk dalam sebuah malapetaka besar: bersamaan dengan mulai tersedianya vaksin yang efektif, angka pertumbuhan eksponensial jumlah kesakitan dan kematian akan sangat masif.

Kita sudah belajar satu tahun, mengenai pentingnya tindakan cepat, tentang perlunya mengambil keputusan segera dalam ketidakpastian, dan agar tidak mengacaukan antara “absennya bukti” dengan “bukti absennya” kita.

Setahun mengajarkan pada kita agar tidak “memimpikan kesempurnaan” dalam pengetahuan, tetapi lebih mementingkan dampak yang maksimal, meski dengan pertimbangan konsekuensi tertentu.

Dan yang paling penting, pelajaran setahun ini mendidik kita agar tidak menunggu sampai dihadapkan pada ancaman dinamika eksponensial itu. Situasi memaksa kita bertindak sesegera mungkin dan membuat keputusan setegas kita bisa, dan baru membuat penyesuaian-penyesuaian nanti, belakangan, jika diperlukan.

Jangan menunggu sampai tingginya kasus yang 13 Januari 2021 lalu mencapai 846.765 melonjak cepat hingga tembus angka satu juta.

Meski belum diketahui masuknya “anak bandel” itu ke Indonesia, bukan berarti tidak akan ada varian baru virus SARS-CoV-2 di negara kita, sebab virus senantiasa bermutasi dari waktu ke waktu.

Memang masih ada ketidakpastian tentang rincian mekanisme pada varian baru ini, walakin fakta menunjukkan peningkatan disiplin protokol kesehatan luar biasa penting.

Jika saat ini belum ada strain virus corona baru di Indonesia, siapa bisa memastikan tidak akan muncul “anak” yang lebih bandel dari induknya itu?

Diperlukan dukungan untuk penelitian

Untuk mengetahui perkembangan wabah, seharusnya negara makin menggalakkan dukungan pada penelitian dan pengembangan yang mendorong ilmuwan kita supaya dapat lebih banyak melakukan riset sejak dari hulu.

Sebab, riset mendasar di pangkal proses terjadinya wabah, seperti genome sequencing virus untuk “menguliti” segala yang terjadi di dalam virus (sebagaimana banyak dilakukan negara maju) merupakan tulang-punggung pengembangan ilmu kesehatan.

Satu dasawarsa silam pernah ada gagasan pengembangan vaksin flu burung di Indonesia, tetapi sayang pelaksanaannya terseok-seok.

Bersyukur Menteri Kesehatan (Menkes) yang baru sudah menunjukkan hal itu. Menteri Budi Gunadi Sadikin juga mengatakan akan menggalakkan peningkatan upaya mitigasi untuk menemukan kasus (surveillance) Covid-19 sedini mungkin (agar bisa tahu pola penyebaran) dalam jumlah yang lebih besar, khususnya melalui langkah sequencing itu.

Dan rencana Menkes memanfaatkan belasan laboratorium di Indonesia untuk melakukan hal itu perlu diacungi jempol, sebab itu merupakan satu di antara yang mesti dilakukan, agar kita lebih mudah mengetahui jika ada mutasi yang ganas.

Pasti Menkes sudah mendapat info bahwa sebenarnya dari virus yang ada di Indonesia dapat diproses menjadi vaksin nasional, sebagaimana vaksin Merah-Putih yang tengah kita kembangkan.

Pengembangan vaksin dalam negeri itu krusial, agar kita tidak membatasi diri hanya dengan mengerjakan bagian hilir (seperti uji klinis vaksin yang diimpor), atau sekadar menjadi “tukang assembling” vaksin saja.

Pembandingnya ada pada negara tetangga Vietnam dan Thailand. Desember lalu, menurut Bloomberg 24-12-2020, Vietnam telah melakukan fase pertama uji klinis vaksin yang diproduksinya sendiri, Nanocovax.

Sementara Thailand, yang tak ingin hanya bergantung pada inokulasi (pembiakan) bibit dari luar negeri, juga mengembangkan proyek vaksin dalam negeri, baik berupa vaksin mRNA (yang diharapkan tersedia pada akhir 2021) maupun vaksin DNA. (*Syafiq Basri Assegaff, Dokter alumnus FK Unpad, pengajar pada Institut Komunikasi & Bisnis LSPR, Jakarta)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com