Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Vaksinasi Penting, tapi Tidak Gantikan Kebijakan Pengendalian Covid-19

Kompas.com - 09/01/2021, 12:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Andree Surianta

SETELAH gagal mengendalikan laju penularan Covid-19 dalam 10 bulan terakhir, pemerintah Indonesia tampaknya menjadikan kebijakan vaksinasi massal sebagai tumpuan harapan untuk menang melawan virus corona.

Ada kesan bahwa vaksin diharapkan menebus kegagalan berbagai usaha pengendalian sebelumnya yang tidak menunjukkan hasil. Padahal, kegagalan ini lebih disebabkan oleh kebijakan yang kurang tepat atau implementasi yang tidak konsisten.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mengingatkan bahwa vaksin hanya salah satu alat pengendalian Covid-19. Kesuksesan menekan laju pandemi bukan hanya ditentukan oleh adanya vaksin, tapi juga pelacakan yang tepat dan langkah pencegahan yang konsisten.

Sebagai peneliti kebijakan publik dan orang yang pernah terinfeksi virus corona, saya melihat bahwa euforia dengan vaksinasi berpotensi mengendorkan upaya-upaya pengendalian yang telah dijalankan selama ini, yang sebenarnya juga belum optimal.

Apalagi Kementerian Kesehatan Indonesia memperkirakan butuh 15 bulan untuk melaksanakan empat gelombang vaksinasi di seluruh wilayah. Belum ada indikasi apakah antibodi dari vaksin bisa bertahan selama itu.

Jadi, ada kemungkinan bahwa penerima vaksin gelombang pertama atau kedua sudah tidak lagi kebal saat program selesai. Saat kekebalan memudar, hanya protokol kesehatan yang bisa menekan penularan.

Karena itu, menjelang pelaksanaan vaksinasi di negeri ini pemerintah perlu memperbaiki prosedur skrining, meningkatkan kapasitas pelacakan, dan menggiatkan protokol kesehatan pribadi untuk mengoptimalkan pengendalian Covid-19.

Skrining mencari virus atau antibodi?

Dalam pelaksanaan skrining untuk mendeteksi orang yang membawa virus, tes cepat (rapid detection test/RDT) lebih populer digunakan daripada PCR karena lebih cepat dan lebih murah.

Padahal, RDT antibodi tidak mendeteksi virus melainkan antibodi yang melawan virus. Dalam praktiknya, saat seseorang dites antibodi menunjukkan hasil reaktif, mereka dites lanjutan pakai tes PCR.

Namun, ada kemungkinan seseorang yang melakukan tes antibodi kurang dari dua minggu sesudah terjangkit virus mendapati RDT antibodinya non-reaktif dan lolos skrining tanpa perlu menjalani tes PCR lagi.

Karena itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menegaskan bahwa tes antibodi tidak boleh digunakan untuk mengevaluasi apakah seseorang sedang terinfeksi dan bisa menularkan. WHO juga tidak merekomendasikan RDT antibodi sebagai alat skrining virus dan standar terbaik alat pelacak Covid-19 adalah tes PCR.

Pemerintah perlu segera meluruskan salah kaprah metode skrining ini. RDT antibodi lebih tepat digunakan untuk menguji keberhasilan program vaksinasi, bukan untuk skrining.

RDT antigen: alat baru pelacakan pandemi

Vaksin diharapkan menghasilkan kekebalan pada penerimanya tapi proses ini memerlukan waktu. Untuk Covid-19, rata-rata setiap orang memerlukan dua dosis yang terpisah beberapa minggu.

Maka, pelacakan–dengan metode yang tepat–tetap harus dilaksanakan selama program vaksinasi untuk tetap menjaga kewaspadaan masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com