Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Belum Ada Vaksin Covid-19 yang Ampuh, Kenapa Vaksinasi Dimulai November?

Kompas.com - 19/10/2020, 12:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Yohanes Cakrapradipta Wibowo

KEMENTERIAN Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pekan lalu menyatakan bulan depan, sekitar 6,6 juta dosis vaksin dari China tiba di Indonesia.

Vaksinasi massal akan dimulai juga awal bulan depan, lebih cepat sebulan dari rencana sebelumnya. Vaksin yang dipesan dari China itu adalah produksi Sinovac, G42/Sinopharm, dan CanSino Biologics.

Rencana pemberian vaksin secara besar-besaran pada November atau Desember patut dipertanyakan.

Dari ketiga jenis vaksin itu, belum ada yang dinyatakan aman dan ampuh untuk meningkatkan imunitas masyarakat karena belum lolos uji tahap III. Ini tahap terakhir uji klinik pada manusia sebelum vaksin diproduksi massal. Ketiga vaksin masih dalam tahap uji klinik tahap akhir.

Uji klinik fase 3 calon vaksin terkait Indonesia

Dari sekitar delapan kandidat vaksin yang memasuki uji klinik tahap tiga, WHO menyatakan hasilnya paling cepat diketahui pada Desember atau awal tahun depan. Itu pun baru laporan awal apakah apakah vaksin aman dan ampuh atau tidak. Belum termasuk proses produksi dan distribusinya.

WHO memperkirakan vaksin yang lolos uji tahap akhir baru akan tersedia pada pertengahan tahun depan.

Mari kita lihat tiga calon vaksin yang sedang melalui uji klinis fase III (tahap akhir sebelum diproduksi massal) terkait Indonesia.

Vaksin produksi Sinovac dari China sedang diuji klinis di Jawa Barat sejak 10 Agustus lalu pada 1.620 partisipan. Menurut data register resmi dari uji klinis fase III vaksin ini di clinicaltrials.gov, laporan paling awal baru akan didapat Januari 2021 dan paling cepat menunjukkan indikasi hasil positif atau tidak. Uji klinik akan selesai pada September 2021.

Pemerintah juga diberitakan sedang tawar menawar untuk memesan vaksin G42 yang dikembangkan oleh China dan Uni Emirat Arab (UEA) yang sedang diuji klinis fase III di UAE.

Rilis laporan riset vaksin dengan partisipan 45.000 orang ini paling cepat Maret 2021. Uji klinik bisa berhasil atau sebaliknya. Riset ini juga diperkirakan selesai pada September tahun depan.

Vaksin terakhir yang disebut adalah CanSino dari China. Vaksin ini juga yang sedang dilakukan uji klinis fase III pada 40.000 partisipan. Laporan riset paling awal akan rilis pada Desember 2021 dan uji klinik diperkirakan selesai pada Januari 2022.

Perlu diketahui bahwa tidak semua uji klinik tahap tiga berjalan mulus. Tidak semua vaksin dalam setiap fase (ada 4 fase) akan berjalan mulus karena proses yang dilakukan saat ini adalah proses percepatan walau tidak mengabaikan setiap fase yang perlu dilakukan. Karena darurat, ada penyederhanaan proses dari yang seharusnya.

Baru-baru ini, misalnya, perusahaan vaksin Amerika Serikat Johnson & Johnshon menghentikan sementara uji kliniknya karena mereka mendapati “penyakit yang tidak bisa dijelaskan” pada relawan yang ikut uji calon vaksin.

Kasus lainnya, awal September sudah ada laporan efek vaksin yang tidak diinginkan dari uji klinis fase III vaksin AstraZeneca dari Universitas Oxford. Laporan ini menyebabkan penghentian sementara proses uji klinik yang sedang berlangsung.

Dalih vaksinasi darurat

Salah satu dalih yang dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam rencana vaksinasi besar-besaran adalah telah disetujuinya vaksin-vaksin dari China ini untuk penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari pemerintah China dan beberapa negara lain.

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat memperkenalkan izin darurat ini dan beberapa negara telah mengadopsinya.

Di China, calon vaksin ini disuntikkan pada tentara dan petugas kesehatan untuk penggunaan darurat.

Penggunaan izin darurat untuk obat atau vaksin ini bukan tanpa cacat. Sebelumnya telah muncul kritikan terkait kontroversi gagalnya obat Hidrosiklorokuin yang diberi status EUA.

Setelah pengujian dengan obat itu, ternyata dampak pada pasien tidak seperti yang diharapkan. Gagalnya obat yang sudah menyandang status EUA ini seharusnya menjadi pelajaran.

Misalnya, di Amerika Serikat, ada kritikan terkait ihwal longgarnya proses telaah di FDA dan adanya tekanan dari para politikus yang tidak memiliki keahlian bidang uji obat dalam memberikan status izin darurat. Karena itu, vaksin berstatus EUA harus ditelaah lagi secara teliti dengan melibatkan para ahli.

EUA yang dirilis negara lain seharusnya hanya dijadikan pertimbangan, bukan sebagai legitimasi mutlak untuk menyetujui dan mengikuti segala yang tertulis di dalamnya.

Jika pengambilan kebijakan vaksinasi besar-besaran di Indonesia hanya berdasarkan klaim sepihak dari China tersebut, tanpa ada klarifikasi dan transparansi data yang jelas, kebijakan pemerintah ini hanya akan mengulang kembali panjangnya catatan kesembronoan penanganan Covid di Indonesia.

Hindari kebijakan tidak berbasis data yang kredibel

Salah satu informasi liar yang beredar di media saat ini terkait pemberian “vaksin setengah jadi” berasal dari media yang didukung oleh pemerintah China yang mencatut nama WHO.

Mereka mengklaim bahwa WHO sudah merestui pemberian vaksin dari China walau uji klinis fase III belum selesai karena kondisi darurat. Banyak peneliti mengecam ini karena mengabaikan keamanan pada individu yang akan diberikan vaksin.

Hal ini masih ditambah dengan tidak detailnya laporan riset fase I/II dari vaksin Sinovac, misalnya, yang tidak menyebutkan sama sekali mengenai sel limfosit B dan T memori, yang sangat berperan bagi imunitas jangka panjang.

Pernyataan mengenai hal tersebut hanya datang sepihak dari media China. WHO pun tidak pernah memberikan pernyataan resmi terkait hal tersebut. Klaim yang mencatut nama WHO salah satunya berasal dari kutipan yang dipotong dan disebarkan oleh media dari China tersebut.

Pemerintah jangan latah dan membuat masyarakat terjebak dengan aman palsu

Salah satu elemen penting dalam pembuatan vaksin adalah seberapa aman sebuah vaksin dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Selain itu seberapa lama dampak imunitas dari vaksin bisa bertahan.

Kalau, misalnya, vaksin itu sudah siap tapi tingkat daya lindungnya rendah akan membutuhkan lebih banyak dosis vaksin dan tentu saja banyak biaya. Itu artinya para pengguna vaksin bisa terjebak dalam rasa aman palsu dan ini justru berbahaya karena berpotensi menyebarkan virus corona lebih luas.

Dengan kasus Covid-19 yang kini mencapai hampir 350 ribu kasus, kematian lebih dari 12.000, adanya vaksin memang salah satu harapan untuk mengakhiri wabah dahsyat ini. Tapi menggunakan vaksin yang belum lolos uji tahap akhir sama saja sedang menyiapkan masalah baru di masyarakat.

Kita telah melihat dampak pengabaian sains oleh pemerintah dalam penanganan pandemi. Misalnya, sekitar sebulan belum dinyatakan wabah Covid, pemerintah tidak mendengar hasil riset dari guru besar Universitas Harvard yang menyatakan besar kemungkinan di Indonesia telah ada virus corona saat itu. Bukannya merespons dengan kebijakan antisipastif, Menteri Kesehatan malah menantang balik.

Selain itu, pemerintah tetap menggunakan rapid test antibodi walau ada kritik keras dari dalam dan luar negeri termasuk WHO.

Sikap pemerintah tidak mau mendengarkan ahli tidak boleh dipertahankan jika ingin situasi Indonesia membaik.

Sambil menunggu vaksin yang aman dan ampuh yang mungkin tersedia pertengahan tahun depan, pemerintah Indonesia lebih baik memperkuat kebijakan dan implementasinya untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan meningkatkan level pengetesan, pelacakan, pengisolasian, dan pengobatan pasien Covid.

Yohanes Cakrapradipta Wibowo

PhD Research Fellow/PhD candidate in Experimental Pharmacology, University of Heidelberg

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Belum ada vaksin yang aman dan ampuh: mengapa pemerintah Indonesia buru-buru vaksinasi COVID-19 mulai November" Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com