Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
dr. Ignatia Karina Hartanto

PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM

Kisah Dinda dengan SLE: Sebuah Perjuangan Fisik dan Mental

Kompas.com - 10/10/2020, 12:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Proses terapi dimulai selagi Dinda dirawat; obat steroid untuk menekan respons imunnya mulai membuat tubuhnya merasa lebih baik dan gejala yang dialaminya perlahan terkontrol, sehingga ia dapat rawat jalan setelah 8 hari rawat inap.

Namun dalam 4 hari pasca perawatan, muncul gejala baru berupa pusing berputar disertai mual dan muntah-muntah bila membuka mata. Kembali Dinda harus dirawat inap di RSCM.

Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan SLE juga yang menyebabkan kelainan pada sistem sarafnya berupa gangguan pada sistem yang mengatur keseimbangan, selain juga telah diketahui sebelumnya ada masalah dengan pembekuan darahnya, dan gangguan jantung.

Kali ini ia menerima terapi sitostatika yang biasa diberikan untuk pasien kanker dan beberapa obat lain. Momen ini adalah titik terendah yang dialami Dinda karena berhari-hari ia hanya bisa berbaring dan tidak bisa membuka mata sama sekali. Baru setelah 15 hari perawatan di RS, ia mulai bisa membuka mata pelan-pelan sambil terus dalam posisi berbaring.

Karena penyakit SLE pada Dinda melibatkan banyak organ, maka penanganannya melibatkan berbagai divisi, mulai dari alergi imunologi, neurologi (ilmu yang mendalami sistem saraf), kardiologi (ilmu yang mendalami jantung), hemato-onkologi (ilmu yang mendalami kelainan darah dan keganasan), dan nutrisi anak. Dalam perawatannya, Dinda juga mendapat psikoterapi dengan dokter dari bagian psikiatri anak.

Dari situlah ia mulai kembali menemukan semangat untuk terus berusaha melanjutkan pengobatannya.

Selama dirawat, Dinda beberapa kali menerima kunjungan dari teman-teman sekolahnya. Walaupun senang, ia juga minder dengan kondisinya. Apalagi saat temannya seru bercerita tentang kegiatan di sekolah, tidak dapat disangkal bahwa Dinda malah merasa kesal.

Namun, selama perawatan tidak disangka ia juga mendapat teman baru. Pada saat yang sama, ada pasien anak lain sesama penderita lupus yang juga sedang dirawat dan ternyata bersaudara dengan teman sekolah Dinda di bangku SMP. Kebetulan tersebut membuat mereka berdua menjadi dekat, dan Dinda banyak mendapatkan sharing karena teman barunya sudah 6 tahun menjalankan pengobatan untuk lupus.

Semangat dari para dokter, perawat, dan teman baru membuat Dinda bangkit kembali dari keterpurukannya. Pada satu titik, ia mengambil keputusan bahwa meskipun sakit, ia tidak perlu minder dan tidak perlu mendengar pendapat orang lain. Ia cukup terus berusaha untuk sembuh.

Seiring dengan terapi yang diterimanya, perlahan Dinda mulai dapat memiringkan tubuhnya dan tidak melulu berbaring telentang. Walaupun kemudian dapat rawat jalan setelah hampir 1 bulan dirawat di rumah sakit, selama beberapa lama Dinda masih tergantung dengan kursi roda yang dapat diturunkan hingga posisi setengah berbaring.

Ia juga masih terus menjalani rawat inap berkala untuk mendapatkan terapi sitostatika yang diberikan langsung melalui pembuluh darahnya. Walaupun termasuk obat keras, terapi itu serasa ‘charge’ tambahan bagi tubuh Dinda. Baru setelah 4x mendapat obat sitostatika, ia baru bisa duduk. Dan pada sesi terapi ke-7 dan 8, Dinda baru kemudian dapat kembali mulai berjalan.

Selain rutin mendapat terapi sitostatika, Dinda paham bahwa ia harus disiplin dalam minum obat-obatan yang diberikan oleh dokter. Untuk mengontrol gejalanya, ia mendapat 15 macam obat dengan total 21 tablet yang harus diminum tiap hari.

Terapi steroid segera membuat bobotnya melesat mencapai 75 kg, dan wajahnya tampak bengkak. Meski demikian, ia sudah bertekad untuk tidak lagi merasa minder. Apalagi seiring perbaikan kondisinya, dosis obat pun diturunkan hingga dosis yang paling ideal, dan berat badannya pun mulai perlahan kembali ideal hingga 53 kg.

Pada awalnya, semua obat tersebut masih disiapkan oleh sang bunda. Namun, perlahan Dinda mulai diberikan kepercayaan untuk bertanggung jawab sendiri terhadap semua obat yang harus diminumnya. Walaupun terlambat, ia tidak pernah absen minum obat. Ia sudah mengerti bahwa itulah kunci untuk terus berada dalam kondisi terkontrol.

Pernah satu saat Dinda mulai merasa malas untuk minum obat. Namun, saat kontrol ke rumah sakit, tiba-tiba ia diminta untuk memberi semangat kepada pasien lupus lain yang saat itu sedang mogok makan dan minum obat. Titipan untuk menyemangati teman seperjuangannya ternyata juga langsung menyuntikkan semangat Dinda kembali untuk minum obat. Dan teman yang disemangatinya pun mau minum obat kembali.

Terapi bagi para pasien lupus tidak sekadar obat. Mereka juga harus mengontrol aktivitasnya karena tidak boleh terkena matahari secara langsung. Selain itu, bagi Dinda juga lebih berat karena tubuhnya sesekali masih terasa oleng dan berputar bila salah posisi tidur, dan jantungnya pun sempat terganggu hingga harus mendapat terapi penguat jantung. Sulit baginya untuk beraktivitas tanpa ditemani oleh keluarganya, terutama oleh ibunya.

Banyak penderita penyakit kronik akhirnya terpaksa mengorbankan pendidikan resminya, termasuk juga Dinda. Sejak jatuh sakit, Dinda meninggalkan bangku sekolahnya dan melewatkan 1 tahun pelajaran.

Namun setelah kondisinya lebih stabil, seorang dokter menyarankan ia untuk mulai mengambil kejar paket C. Dinda dan ibunya pun mencari informasi sendiri mengenai program tersebut. Tidak disangka, Dinda mendapat kemudahan dalam proses melanjutkan pendidikannya.

Lalu, karena masih belum dapat naik tangga tanpa muncul gejala pusing berputar kembali, ia mengalami keterbatasan untuk datang ke tempat ia mendaftar program paket C karena lokasinya berada di lantai dua.

Namun, sungguh kejutan bagi mama Dinda saat mengetahui bahwa kepala sekolah dari tempat program paket C yang diikuti ternyata bersaudara dengan dokter yang ikut menyarankan putrinya untuk bersekolah kembali.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com