Sensitivitas adalah kemampuan alat menunjukkan orang yang sakit dites dengan alat tersebut memang benar sakit dan hasilnya menunjukkan positif. Spesifitas menunjukkan jika alat tersebut dites pada orang yang tidak sakit, maka hasilnya negatif.
Namun, RDT punya keterbatasan. Salah satunya, hasilnya bisa salah karena pemilihan waktu pemeriksaan yang mungkin kurang tepat.
Antibodi IgG dan IgM belum bisa terdeteksi saat awal seseorang terpapar, sehingga hasilnya bisa negatif palsu (seseorang terpapar Covid-19, tapi tidak terdeteksi dengan metode RDT). Hal ini dapat diatasi dengan pemeriksaan ulang pada 3-7 hari setelah pemeriksaan pertama.
Biasanya pasien datang ke puskemas atau rumah sakit setelah 3–7 hari setelah timbulnya gejala, sehingga para petugas medis dapat memperkirakan pemilihan waktu pemeriksaan yang tepat.
Bila hasil RDT positif sebaiknya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan rRT-PCR untuk lebih memastikan status pasien, apakah benar-benar positif terkena virus Covid-19 atau negatif. Karena tes PCR lebih akurat hasilnya ketimbang hasil tes RDT.
Di Indonesia, per 30 Maret terdapat 1.414 kasus positif Covid-19 dengan jumlah kematian 122–tertinggi di Asia Tenggara
Mengingat penyebaran virus SARS-CoV-2 sukar dibendung dan hingga kini belum ada vaksin dan obat anti virus, maka tes diagnostik cepat (RDT) merupakan sebuah terobosan penting.
Saat ini, sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara telah memesan 500 ribu alat tes cepat tersebut dari Cina untuk menghadang penularan yang bergerak secara eksponensial.
Walau produk RDT Covid-19 dari Cina telah diketahui mampu mendeteksi mana yang benar-benar sakit dan mana yang tidak menderita sakit, bila ingin digunakan di Indonesia alat RDT harus diuji dulu melalui uji validasi.
Proses uji validasi ini dilakukan menggunakan spesimen darah yang diambil dari pasien Covid-19 positif dan negatif yang sebelumnya telah diperiksa dengan tes rRT-PCR. Alat RDT lalu diuji dengan sampel darah tersebut untuk melihat apakah hasilnya konsisten (positif atau negatif) dengan hasil tes PCR yang pakai spesimen cairan membran mukosa pasien.
Jika hasil tes PCR pada satu orang dengan spesimen cairan tersebut dinyatakan positif, hasil uji RDT pada darah orang yang sama harusnya juga positif. Begitu juga sebaliknya.
Langkah ini untuk mengkonfirmasi bahwa metode RDT yang akan digunakan itu mempunyai kinerja yang konsisten, sesuai dengan tujuan penerapannya sebagai RDT.
Mengingat Indonesia sudah mempunyai banyak spesimen Covid-19–saat ini jumlah spesimen yang telah diperiksa diperkirakan lebih dari 7.000 spesimen–maka validasi ini dapat dilakukan di laboratorium yang mempunyai kompetensi baik dengan menggunakan spesimen tersebut.
Harapannya alat RDT yang datang ini dapat digunakan dan diterapkan di Indonesia, dengan hasil yang akurat.
Kambang Sariadji
Researcher in Bacteriology, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health Indonesia
Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Mengapa tes cepat (RDT) bisa negatif palsu, sedangkan tes PCR butuh 3 hari? Begini cara kerja cerdas 2 alat deteksi COVID-19". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.