Kambang Sariadji
PEMERINTAH Indonesia pekan lalu mendistribusikan 125.000 alat tes diagnostik cepat Covid-19 untuk mendeteksi penyakit ini di sejumlah kota dan kabupaten yang menjadi titik panas penyebaran virus di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Jakarta sebagai pusat penularan terbesar menerima 100.000 alat rapid dignostic test (RDT), disusul Jawa Barat mendapat 20 ribu alat serupa. Sasaran tes ini adalah orang-orang yang rentan terkena Covid-19 termasuk pekerja kesehatan yang tiap hari kontak dengan pasien penderita penyakit ini.
Tes diagnostik cepat adalah cara paling efektif untuk tes massal orang-orang yang diduga terinfeksi virus. Tes massal dapat membantu mengetahui level bencana penyakit ini.
Hasil rapid diagnoctic test dapat diketahui dalam waktu 10 hingga 15 menit. Sementara tes standar rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dilakukan di laboratorium membutuhkan waktu antara enam jam hingga tiga hari, tergantung jumlah spesimennya.
Meski tes diagnostik cepat belum masuk dalam rekomendasi tes standar WHO, tes ini menunjang pelaksanaan tes massal yang membantu upaya pencegahan penularan penyakit yang lebih luas lagi.
Korea Selatan, Italia, Cina, Inggris, dan beberapa negara telah menggunakan tes massal dan cepat untuk mendeteksi awal kasus-kasus yang kemudian terkonfirmasi positif Covid-19.
Selain tingkat kecepatan dan sampel yang digunakan, apa lagi perbedaan tes diagnostik cepat dan tes standar WHO?
Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan dua metode tes untuk pemeriksaan Covid-19.
Metode pertama dikenal dengan nama real-time reverse transcriptase Polimerase Chain Reaction (rRT-PCR). Teknik analisis ini mendeteksi molekul RNA hasil transkripsi (hasil salinan kode DNA ) yang terdapat dalam sel virus (jumlahnya sangat sedikit) dalam spesimen. Molekul RNA ini pada virus berfungsi menyimpan informasi genetik di dalam sel virus.
Tes berbasis biomolekuler ini menganalisis cairan membran mukosa tenggorok pasien untuk mendeteksi apakah terdapat molekul genetik virus di dalamnya. Sampel diperoleh petugas kesehatan dengan cara swab (mengelap) menggunakan batang stik kapas steril pada hidung (nasopharing) dan tenggorok orang terduga kena virus.
Metode kedua adalah whole genome sequencing, yakni identifikasi urutan nukleotida (asam-basa) virus COVID-19. Metode ini, yang lebih detail dibanding metode rRT-PCR, telah digunakan pada awal terjadinya wabah yang disebabkan oleh virus baru.
Jika genome sequencing sudah dilakukan untuk menentukan karakteristik virus Covid-19 tersebut pada awal wabah, maka genome sequencing tidak perlu dilakukan, kecuali bila dicurigai adanya mutasi karakteristik virus tersebut. Kini metode genome sequencing belum dilakukan lagi karena belum ada indikasi mutasi gen virus COVID.
Metode rRT-PCR ini mampu mendeteksi virus Covid-19 dalam jumlah yang sangat sedikit (sensitif) di spesimen, sehingga menghasilkan tingkat akurasi yang tinggi.
Metode PCR memerlukan tenaga laboratorium yang terlatih, fasilitas laboratorium yang memadai, serta waktu yang lama.