Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Virus Corona di Indonesia Bikin Masyarakat Panik, Ini Sebabnya

Kompas.com - 12/03/2020, 07:14 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejak Presiden Joko Widodo mengonfirmasi kasus pertama Covid-19 di Indonesia, yakni pada Senin (2/3/2020), banyak masyarakat Indonesia yang panik. Salah satu fenomena yang muncul setelah pengumuman itu adalah panic buying.

Banyak orang memborong aneka kebutuhan sehari-hari di pusat perbelanjaan. Jumlah barang yang dibeli pun tak sedikit, hingga berkarton-karton.

Dari fenomena tersebut, kemudian muncul pertanyaan. Kenapa manusia memiliki rasa panik berlebih dalam merespons suatu persoalan, termasuk menanggapi wabah Covid-19?

Menjawab perihal ini, pakar Neurosains dr. Ryu Hasan, SpBS mengatakan bahwa kepanikan yang timbul pada diri seseorang merupakan suatu bakat.

Baca juga: Pasien Corona di Indonesia Meninggal, Bagaimana Virus Ini Sebabkan Kematian?

"Panik atau tidak, itu bakat," kata Ryu dalam acara bertajuk Mengenali Virus Melawan Panik, di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (10/3/2020).

Dijelaskan lebih lanjut olehnya, cara pandang manusia terhadap sesuatu itu tergantung bakat yang dimiliki seseorang dari dalam dirinya masing-masing.

Orang yang memiliki bakat bahagia, dengan kasus atau persoalan apapun dia akan bahagia.

Namun untuk Indonesia, Ryu melihat bahwa bakat orang Indonesia cenderung lebih besar panik dibanding bahagia.

"Sebetulnya kepanikan itu juga bakat. Tapi kepanikan massa itu adalah berbeda," ujar dia.

Dicontohkan Ryu juga, Indonesia dan Jepang memiliki mekanisme atau bakat kepanikan yang berbeda.

Orang Jepang cenderung lebih mudah panik secara individual, tetapi tidak untuk kepanikan masal. Mereka secara personal lebih mudah panik dengan masalah pribadinya masing-masing.

Namun, untuk masalah seperti gempa dan tsunami, justru masyarakat di sana seolah sudah terbiasa dengan bencana dan menganggap santai alias tidak panik.

"Tapi mereka itu misal ada tsunami, anteng (santai) saja, melepaskan pekerjaannya, berjalan menuju ke titik kumpul dan keluar lagi kalau tsunami sudah selesai, kembali lagi kerja," ujar dia.

Sementara, orang Indonesia justru lebih mudah mengalami panik masal daripada panik secara individual.

Bisakah mengendalikan dan mengontrol kepanikan sekitar kita?

Dalam hal melakukan kontrol kepanikan massal yang ada disekitar kita, Ryu mengatakan bahwa hal yang perlu diubah adalah sistemnya.

"Itu kalau mau kita ubah itu adalah sistemnya. Sistemnya itu bukan bottom-up, tapi top-down," tutur dia.

Memang ada orang-orang tertentu yang memiliki bakat paranoid dan selalu curiga terhadap sesuatu.

Namun kendati begitu, ditegaskan Ryu, kepanikan masyarakat yang bersifat masal tersebut merupakan perilaku sosial dan yang bisa mengubahnya adalah sistem.

Untuk diketahui, sistem top-down yang dimaksudkan oleh Ryu adalah persepsi yang bersumber atau berasal dari memori yang telah disimpan di dalam ingatan manusia.

"Kita dari dulu sudah sering ditakut-takuti dengan hal-hal yang tidak ada, dan itu jadi ingatan kita dan membuat tertanam ketakutan dan kekhawatiran sesuatu yang tidak ada tadi," jelasnya.

Sama halnya dengan wabah yang saat ini melanda, wabah virus Corona atau Covid-19.

Dahulu mungkin, kita sudah terlalu takut dengan wabah lainnya seperti Ebola, Mers dan SARS dan ini melekat di memori kita.

Baca juga: Satu Pasien Meninggal Dunia, Bukti Corona Memperparah Penyakit Penyerta

Dengan munculnya wabah Covid-19, ini memicu ketakukan atau kepanikan yang luar biasa. Meskipun rata-rata kematiannya tidak separah kasus-kasus wabah sebelumnya.

Sedangkan, persepsi atau pola pikir sistem bottom-up justru bersumber dari stimulus-stimulus yang nyata.

Kata Ryu, meskipun secara nyata sudah dinyatakan ahli untuk tidak panik karena kematiannya dan penularannya bisa dihindari dengan memperkuat sistem imun.

Ironisnya, tetap saja bagi individu yang memang memiliki bakat panik, tetap saja akan panik berlebihan.

Oleh sebab itu, yang perlu dibenahi adalah sistem memilah memori yang telah disimpan sebelumnya menjadi hal yang memang diperlukan ataupun tidak diperlukan dalam memutuskan suatu tindakan dalam menghadapi suatu kondisi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com