Oleh Iim Halimatusa'diyah
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan butuh waktu sekitar 18 bulan untuk mengembangkan vaksin yang mampu mencegah penularan COVID-19 yang kini mewabah di 65 negara termasuk mulai awal pekan ini di Indonesia.
Masa itu sedikit lebih pendek dibanding saat terjadi wabah SARS pada 2002-2003 yang vaksinnya tersedia dalam 20 bulan setelah bulan pertama wabah.
Lamanya waktu yang dibutuhkan terkait dengan tantangan aspek klinis dari mulai memahami karakteristik virus, uji coba model pada hewan dan manusia sampai akhirnya bisa diproduksi menjadi vaksin yang aman untuk dikonsumsi publik.
Jika nanti vaksin sudah diproduksi massal dan dinyatakan aman, akan muncul lagi tantangan lain yakni tantangan sosiologis. Salah satunya terkait penerimaan masyarakat terhadap vaksinasi tersebut.
Riset terbaru (belum dipublikasikan di jurnal) yang saya lakukan melalui survei online pada 2018 di Indonesia menemukan bahwa ketika ada situasi darurat seperti wabah penyakit yang menjangkiti masyarakat, tingkat penolakan terhadap imunisasi cenderung lebih rendah dibandingkan jika tidak ada wabah tertentu.
Survei saya memang tidak spesifik membahas mengenai wabah coronavirus terbaru SARS-CoV-2 , karena kala itu belum ada wabah ini. Akan tetapi, melihat tren yang sama di semua jenis vaksin dan wabah penyakit yang saya tanyakan di survei, kemungkinan besar pola yang sama akan terlihat dalam kasus coronavirus saat ini.
Riset saya dilatarbelakangi oleh munculnya wabah difteri di berbagai wilayah di Indonesia pada 2017-2018. Salah satu penyebab wabah adalah adanya penolakan imunisasi yang berdampak pada rendahnya cakupan imunisasi.
Saya melakukan survei pada 526 responden yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia, dengan usia antara 17-54 tahun. Mayoritas perempuan (hampir 66%), dan berstatus menikah sekitar 57% dan lajang 42%.
Melalui survei tersebut, saya membandingkan sikap responden terhadap imunisasi polio, varisela (vaksin cacar air), DT (diphteria tetanus) dan MR (campak dan rubella) saat ada wabah penyakit tersebut dan tak ada wabah.
Pertanyaan dalam survei untuk empat jenis vaksinasi itu senada, bedanya saat ada wabah dan tidak ada wabah. Ada 8 pertanyaan tapi saya ringkas jadi dua karena jenis pertanyaannya serupa.
Survei tersebut menunjukkan penerimaan masyarakat terhadap vaksinasi jauh lebih tinggi saat terjadi wabah penyakit dibanding saat tidak terjadi wabah.
Ketika ada wabah cacar air, penerimaan terhadap vaksin varisela meningkat dari 41% menjadi 67% (sikapnya sangat mungkin melakukan vaksinasi). Begitu juga ketika ada wabah difteri, penerimaan vaksinasi difteri melonjak dari 41% ketika tidak ada wabah menjadi 71% saat ada wabah difteri.