Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Indikator Kesejahteraan Lokal

Oleh: Hari Harjanto Setiawan

DEFINISI kesejahteraan saat ini masih mengacu pada negara-negara maju yang berbeda kondisinya dengan bangsa kita.

Padahal bangsa Indonesia mempunyai falsafah hidup sejahtera yang telah diterapkan oleh nenek moyang kita sejak dahulu.

Opini Todung Mulya Lubis, “Negara Kesejahteraan” (Kompas, 9/1/2023), dan Opini Tauchid Komara Yuda (Kompas, 28/1/2023) tentang, “Negara Kesejahteraan, atau Masyarakat yang Sejahtera?” masih menyisakan pertanyaan yang harus segera di cari jawabannya, apakah kita benar benar sanggup berkomitmen terhadap negara kesejahteraan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengenal secara jelas tentang definisi kesejahteraan dan apa indikatornya.

Sehingga dapat ditawarkan kepada masyarakat apakah kita mau menjadikan negara Indonesia menjadi negara kesajahteraan atau tidak. Atau bahkan ada alternatif lain yang ditawarkan tentang kesejahteraan ini.

Persepsi tentang Kesejahteraan di masyarakat masih banyak menimbulkan permasalahan. Adanya dikotomi antara kesejahteraan dan kemiskinan menyebabkan program yang berjalan tidak beriringan.

Begitu juga persepsi kesejahteraan obyektif dan subyektif seolah-olah bertentangan. Apabila ini tidak diselesaikan maka kita tidak akan sampai pada Kesejahteraan yang kita tuju.

Dikotomi Kesejahteraan dan kemiskinan

Pemahaman tentang Kesejahteraan dan kemiskinan masih berseberangan dan belum merupakan satu kesatuan.

Hal ini berdampak pada program kesejahteraan dan program penanggulangan kemiskinan yang saat ini masih berjalan sendiri-sendiri seolah tidak ada kaitannya. Bahkan, indikator yang dicapainya pun juga berbeda.

Ini berdampak pada penganggaran yang juga berjalan masing-masing. Padahal Kesejahteraan dan kemiskinan diibaratkan satu keping mata uang punya dua sisi.

Kondisi disebut sejahtera apabila seseorang tidak berada dalam kemiskinan, begitu juga sebaliknya. Kemiskinan merupakan kondisi kesejahteraan yang terendah.

Sehingga program kesejahteraan dan program kemiskinan seharusnya mempunyai indikator yang sama.

Perbedaan indikator ini akan berdampak pada data penduduk yang seringkali mendatangkan persoalan. Banyak kita temui penerima bantuan sosial yang masih ada inclusion dan exclusion error.

Masyarakat yang seharusnya masuk data penerima bantuan, tidak masuk dalam data. Masyarakat yang sudah sejahtera malah mendapatkan bantuan sosial.

Kondisi semacam ini harus segera diperbaiki dengan mulai merbaikan definisi dan indikator tentang kesejahteraan.

Indikator yang lama perlu di evaluasi kembali apakah masih relevan atau tidak dengan masyarakat Indonesia.

Kesejahteraan obyektif merupakan suatu kondisi yang dapat dilihat oleh orang lain bahwa seseorang tersebut hidup sejahtera. Sedangkan kesejahteraan subyektif adalah apa yang dirasakan oleh seseorang tersebut.

Kedua macam kesejahteraan ini terkadang bertolak belakang.

Beberapa pendapat ahli mendefinisikan kesejahteraan masih cenderung pada kesejahteraan obyektif dibandingkan Kesejahteraan subyektif.

Zastro (2004) mendefinisikan kesejahteraan adalah terpenuhi kebutuhan sosial, finansial, kesehatan dan rekreasional bagi individu dalam masyarakat.

Sedangkan kondisi sejahtera menurut Midgley (1995) terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi, serta manakala memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupan.

Bahkan undang undang Nomor 11 tahun 2009 juga masih cenderung pada pengukuran yang obyektif, bahwa yang dimaksud kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan materiil, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan melaksanakan fungsi sosialnya.

Kenyataannya antara kesejahteraan subyektif dan obyektif tidak selalu beriringan.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks kebahagiaan sebagai Kesejahteraan subyektif tidak selalu selaras dengan tingkat kemiskinan. Papua Barat penduduk miskinnya relatife tinggi diatas 20 persen sementara tingkat kebahagiaan juga tinggi yaitu diatas 74 persen.

Begitu juga dengan DKI yang kemiskinannya di bawah 5 persen namun kebahagiaannya hanya 70 persen.

Indikator Kesejahteraan yang obyektif dan subyektif haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga tidak adalagi pertentangan antara keduanya.

Filosofi kesejahteraan tiap daerah berbeda

Indonesia terdiri dari bermacam macam suku bangsa yang mempunyai filosofi tentang kesejahteraan yang berbeda-beda.

Ini yang kurang diperhatikan oleh kedua penulis sebelumnya, Lubis dan Yuda yang hanya membandingkan dengan kondisi negara maju.

Padahal Indonesia punya filosofi tentang definisi kesejahteraan yang sudah diterapkan oleh nenek moyang kita.

Sebagai contoh suku jawa mendefinisikan Kesejahteraan adalah “Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo” yang artinya masyarakat yang adil, makmur, tentram dan sejahtera.

Hidup sejahtera sudah menjadi tujuannya. Meskipun pada awalnya harus hidup serba kekurangan.

Kesejahteraan sosial menurut kultur masyarakat Batak, pencapaian manusia terdiri dari 3 tingkatan 3H, yaitu Hamoraon (memiliki banyak harta) dan hasangapon (sangat dihormati) dan Hagabeon (kesuburan, memiliki banyak keturunan).

Dengan demikian masyarakat batak akan berusaha untuk mencapai tiga hal itu agar gidup sejahtera.

Begitu pula masyarakat dari daerah lain di Indonesia juga mempunyai makna kesejahteran masing-masing. Beragamnya filosofi tentang hidup sejahtera tidak perlu dibenturkan dengan dikotomi antara kesejahteran dan kemiskinan.

Indikator Kesejahteraan yang digali dari masyarakat Indonesia akan lebih cocok diterapkan dibandingkan mengacu dari negara maju yang cenderung materialistis.

Negara Kesejahteraan seperti yang digambarkan Tauchid Komara Yuda tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Sebaiknya perlu menggali indikator Kesejahteraan yang berkembang dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

Sampai kapan kita terus bermimpi untuk membangun negara Kesejahteraan? Lebih baik kita mulai sadar bahwa kita sendiri mempunyai definisi tentang kesejahteraan yang merupakan ciri bangsa Indonesia.

Mendefinisikan kesejahteraan di negara yang majemuk ini bembutuhkan waktu yang tidak sebentar, karena menyatukan ide berbagai definisi kesejahteraan lokal seluruh bangsa.

Meskipun perjalanannya panjang, setidaknya kita menapaki dunia realita, yang bukan mimpi.
Beberapa indikator mungkin bisa disamakan untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Namun indikator lokal yang hanya berlaku di suatu tempat, harus ada pengakuan dari negara. Inilah kesejahteraan yang bernilai “Bineka Tunggal Ika” Sehingga akan kelihatan jati diri bangsa kita.

Untuk Langkah awal, negara harus memfasilitasi pertemuan dari kalangan akademisi, Peneliti, tokoh masyarakat dari berbagai daerah, tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat dan unsur lain yang terkait.

Dalam pertemuan itu akan membahas tentang persepsi dan indikator kesejahteraan dari berbagai daerah untuk disatukan dalam indikator kesejahteraan nasional bangsa Indonesia.

Dengan demikian, kapankah kita memulai menggali indikator kesejahteraan yang berasal dari masyarakat Indonesia sendiri. Akankah kita terus bermimpi tentang negara Kesejahteraan?

Hari Harjanto Setiawan

Peneliti Pada Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektifitas, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

https://www.kompas.com/sains/read/2023/03/29/140000223/indikator-kesejahteraan-lokal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke