Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gunung Api Bawah Laut di Antartika Berpotensi Memicu 85.000 Gempa Bumi, Ahli Jelaskan

KOMPAS.com - Ahli menyebut gunung api bawah laut di dekat Antartika yang sudah lama tidak aktif, dikabarkan kembali aktif. Dampaknya, gunung berapi tersebut berpotensi memicu sedikitnya 85.000 gempa bumi.

Seperti dilansir dari Live Science, Kamis (28/4/2022) tercata serangkaian gempa bumi dimulai pada Agustus 2020, dan mereda di bulan November di tahun yang sama. Peristiwa itu disebut sebagai aktivitas gempa bumi terkuat, yang pernah tercatat di wilayah tersebut.

Adapun gempa bumi terjadi di sekitar Orca Seamount, Antartika yang merupakan gunung api tidak aktif, dengan tinggi sekitar 900 meter, berada di dasar laut Selat Bransfield. Selat itu berada di antara Kepulauan Shetland Selatan dan ujung barat laut Antartika.

Berdasarkan studi tahun 2018 yang dipublikasikan di jurnal Polar Science, wilayah ini memiliki lempeng tektonik Phoenix di bawah lempeng Antartika. Sehingga dapat menciptakan sebuah jaringan zona patahan, meregangkan beberapa bagian kerak dan membuka celah di tempat lainnya.

Para peneliti mengatakan bahwa ribuan gempa bumi mungkin disebabkan oleh "jari" magma panas yang menonjol ke dalam kerak Bumi.

"Ada intrusi serupa di tempat lain di Bumi, tetapi ini adalah pertama kalinya kami mengamatinya di sana (Antartika)," ujar ahli seismologi di GFZ German Research Centre for Geosciences di Potsdam, Jerman, Simone Cesca yang meneliti gempa bumi yang dipicu oleh gunung api bawah laut di Antartika. 

Sejumlah ilmuwan yang pada saat itu berada di stasiun penelitian di Pulau King George, adalah orang yang yang pertama merasakan gemuruh gempa kecil. Setelahnya, Cesca beserta tim peneliti dari berbagai negara berkolaborasi untuk meneliti pulau tersebut.

Cesca mengungkapkan, tim peneliti ingin mendalami gempa bumi yang terjadi di Pulau King George.

Lantaran pulau ini hanya memiliki dua stasiun seismik, peneliti menggunakan data dari stasiun lainnya untuk sistem navigasi satelit global. Data ini, kata Cesca, dipakai untuk mengukur perpindahan tanah.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Communications Earth & Environment pada 11 April 2022, peneliti juga menganalisis data stasiun seismik dengan jarak yang lebih jauhjauh,  di mana gempa bumi itu terjadi dari aktivitas gunung api bawah laut di Antartika.

Selain itu, menggunakan data satelit yang mengelilingi Bumi dengan menggunakan radar guna mengukur pergeseran permukaan tanah.

Dipaparkan Cesca, kendati stasiun seismik yang berada di dekat pusat gempa bumi lebih sederhana, tempat ini efektif mendeteksi gempa terkecil yang terjadi.

Sementara, stasiun seismik yang jaraknya lebih jauh dapat memberikan gambaran rinci mengenai gempa berkekuatan besar.

"Dengan menyatukan data ini, tim dapat membuat gambaran geologi mendasar yang memicu rangkaian gempa besar ini," ucapnya.

Menurut catatan yang ada, terdapat dua gempa bumi terbesar yang pernah terjadi di dalam rangkaian itu.

Pertama, gempa bumi berkekuatan M 5,9 pada Oktober 2020 lalu. Kedua, gempa berkekuatan M 6,0 pada November 2020.

Para peneliti menerangkan bahwa setelah gempa yang terjadi di bulan November, aktivitas seismik mulai berkurang. Hanya saja, gempa bumi tampaknya telah menggerakkan tanah di Pulau King George sekitar 11 cm.

Pihaknya menduga, pergerakan magma ke dalam kerak Bumi sebagian besar disebabkan adanya erupsi bawah laut. Namun, hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan adanya erupsi gunung bawah laut.

Untuk mencari bukti itu, para peneliti perlu melakukan misi ke selat dan mengukur batimetri atau kedalaman dasar laut. Dengan begitu, mereka dapat membandingkannya dengan peta sebelumnya.

"Apa yang kami pikirkan adalah bahwa magnitudo 6 entah bagaimana menciptakan sejumlah rekahan dan mengurangi tekanan dari tanggul magma," pungkas Cesca.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/29/103600823/gunung-api-bawah-laut-di-antartika-berpotensi-memicu-85.000-gempa-bumi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke