Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memaknai Hari Bumi, Ini Jejak Iklim di Indonesia Sekarang

KOMPAS.com- Perubahan iklim menjadi bahasan yang tidak bisa dilepaskan dan selalu digaungkan dalam setiap peringatan Hari Bumi atau Earth Day, 22 April. Lantas, seperti apa jejak iklim di Indonesia sekarang ini? 

Tahun ini, tema Hari Bumi 2022 mengusung "Invest in Our Planet", yang berisi kampanye ajakan untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari investasi di masa depan.

Selain itu, terdapat sub tema Earth Day 2022 "Nature in the Race to Zero" yang menyoroti pengurangan emisi gas rumah kaca untuk menjaga suhu global tetap di bawah 1,5 derajat Celsius.

"Inilah saatnya untuk mengubah semuanya seperti iklim bisnis, iklim politik, dan bagaimana kita mengambil tindakan terhadap iklim," tulis laman Earthday.org.

Laporan perubahan iklim di Hari Bumi

Berdasarkan Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), dunia akan menghadapi berbagai bahaya iklim yang tidak terhindarkan selama dua dekade mendatang.

Bahaya iklim yang tidak terhindarkan ini disebabkan oleh terjadinya pemanasan global 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahreinheit).

Bahkan untuk sementara, tingkat pemanasan yang menghasilkan tambahan dampak yang parah, beberapa di antaranya tidak dapat diubah. Risiko bagi masyarakat akan meningkat, termasuk untuk infrastruktur dan pemukiman pesisir dataran rendah.

“Laporan ini merupakan peringatan yang mengerikan tentang konsekuensi dari kelambanan tindakan,” kata Hoesung Lee, Ketua IPCC.

“Laporan ini menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman serius dan meningkat bagi kesejahteraan dan kesehatan planet kita. Tindakan kita hari ini akan membentuk cara manusia beradaptasi dan alam merespons peningkatan iklim risiko,” tambahnya.

Informasi ini dimuat dalam laporan Kelompok Kerja II, yang merupakan bagian kedua dari Laporan Penilaian Keenam (AR6) IPCC, yang akan selesai pada tahun ini.

Laporan ini mengkaji dampak perubahan iklim terhadap alam dan manusia di sekitar dunia, mempertimbangkan kerentanan dan kapasitas ekosistem di bumi dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim sekarang dan masa depan.

Hal ini menitikberatkan risiko yang melanjutkan pose emisi terhadap manusia dan lingkungan, dan analisis kerentanan di region yang berbeda dan sistem alamiah.

Merucut pada dampak dan implikasi kajian IPCC WG2 untuk Indonesia, dampak perubahan iklim yang tidak diantisipasi akan berdampak pada banyak hal.

Di antaranya yakni suhu bumi semakin panas atau lembab yang diluar batas kemampuan hidup manusia, ancaman pertanian dan infrastruktur, produksi pangan juga akan dihantam perubahan iklim, kehancuran ekonomi, dan kejadian ekstrem di mana-mana.

Memaknai peringatan Hari Bumi 2022, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadah menyampaikan, laporan IPCC tentang mitigasi tegas menyatakan bahwa pengurangan emisi banyak sektor akan membantu menekan perubahan iklim ini.

Pengurangan emisi di sektor pertanian, kehutanan, dan lahan (AFOLU) dapat membantu mengurangi emisi global dalam skala besar, tapi tidak dapat mengkompensasi penundaan pengurangan emisi di sektor lain.

Ia menambahkan, pemerintah harus melakukan dua hal sekaligus yakni mengurangi energi fosil secara drastis serta menjaga dan memulihkan ekosistem alam tersisa yang berperan besar dalam menyerap emisi GRK dari atmosfer.

“Hal ini termasuk melindungi seluruh bentang hutan alam tersisa, tidak lagi membuka dan mengeringkan gambut, dan menjaga dan memulihkan mangrove secara masif,” ujarnya.

Berikut beberapa fakta terkait jejak iklim di Indonesia.

1. Persoalan emisi gas rumah kaca

Berdasarkan analisis data World Resources Instititue menunjukkan bahwa Indonesia menyumbang sekitar 3,5 persen dari emisi gas rumah kaca global. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia per kapita adalah 0,79 dari rata-rata negara G20.

Negara G20 ini terdiri dari Amerika Serikat (AS), Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, China, Turki, Uni Eropa dan termasuk Indonesia.

Selanjutnya, bahan bakar fosil menguasai 74,7 persen dari bauran energi Indonesia, termasuk listrik, bahan bakar transportasi pada tahun 2020.

Minat pada energi terbarukan (tidak termasuk biomassa tradisional) telah menunjukkan laju peningkatan sejak 2011 dan mencapai minat tertinggi 20 persen pada tahun 2020. Namun, intensitas pelepasan karbon sektor energi masih meningkat karena peningkatan penggunaan batu bara.

Intensitas pemanfaatan energi di Indonesia menurun pada tingkat yang lebih lambat dari tren lima tahun negara-negara G20.

2. Belum sesuai target Perjanjian Paris 1,5 derajat Celsius

Dalam upaya aksi dan mengawal tentang mitigasi, adaptasi dan keuangan terkait perubahan iklim, sebuah traktrat internasional pun dibentuk yaitu Persetujuan Paris (Paris Agreement) tahun 2015.

Persetujuan ini mengawal negara-negara untuk mengurangkan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global dibahah 2 derajat Celsius di atas tingkat praindustri, dan menargetkan 1,5 derajat Celsius.

Artinya, bila suhu bumi naik, hanya boleh naik 1,5 derajat Celsius saja secara global dan jangan sampai suhu bumi naik 2 derajat Celsius.

Namun, ternyata disebutkan oleh Climate Action Tracker bahwa kebijakan Indonesia saat ini masih konsisten dengan tingkat pemanasan bumi hingga 4 derajat Celsius.

Sementara itu, dalam laporan Climate Change Performance Index 2021 menyebutkan bahwa kebijakan iklim Indonesia dinilai masih tidak selaras dengan Perjanjian Paris sampai saat ini.

Laporan yang dikeluarkan oleh Newclimate Institute, Climate Action Network dan Germanwatch di minggu ini menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 24.

Kendati ini artinya Indonesia mengalami naik 15 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya, Indonesia masih termasuk kategori sedang dalam indeks kinerja perubahan iklim 2021.

Untuk diketahui, penentuan peringkat ini didasarkan oleh kinerja agregat dari suatu negara yang dimasukkan ke dalam 14 indikator, dan empat kategori yaitu emisi gas rumah kaca, energi terbarukan, penggunaan energi dan kebijakan iklim.

Untuk bisa menjaga di bawah batas uhu 1,5 derajat Celcius, emisi Indonesia di tahun 2030 hanya sekitar 461 juta ton setara karbon dioksida (MtCO2e) atau 61 persen di atas tingkat emisi tahun 1990.

Target yang ada di Indonesia saat ini akan meningkatkan emisi hingga 535 persen di atas tingkat emisi tahun 1990, atau sekitar 1.817 MtCO2e, pada tahun 2030, membuat gap ambisi emisi sekitar 1.168 MtCO2e.

3. Lahan Indonesia untuk subsidi bahan bakar fosil

Pertanyaan lainnya terkait jejak iklim di Indonesia adalah mengenai berapa banyak yang telah dikeluarkan Indonesia untuk subsidi bahan bakar fosil.

Faktanya, Indonesia menghabiskan USD 8,6 miliar untuk mensubsidi bahan bakar fosil pada 2019, dengan sebagian besar dihabiskan pada minyak dan listrik, Indonesia tidak memiliki harga karbon yang eksplisit.

Selama dekade terakhir (2010-2019), subsidi bahan bakar fosil di Indonesia mencapai puncaknya antara tahun 2011 dan 2014, sebelum turun dan sebagian besar tetap flat sejak 2015.

Selama periode ini, sebagian besar subsidi diarahkan untuk mendukung produksi dan konsumsi minyak bumi dan konsumsi dari listrik berbahan bakar fosil. Data pembanding belum tersedia untuk tahun 2020.

Namun, menurut data Energy Policy Tracker, selama tahun 2020 Indonesia menjanjikan setidaknya USD 6,54 miliar untuk energi bahan bakar fosil sebagai bagian dari komitmen pendanaan terkait energi dan respons ekonomi Covid-19.

4. Langkah baik pemerintah terkait jejak iklim di Indonesia

Menurut para ahli, tindakan perbaruan NDC tahun 2021 tentang AFOLU dan kebijakan kendaraan listrik (EV) menjadi langkah baik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Dalam NDC yang diperbarui tahun 2021, Indonesia memasukkan perkiraan Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (AFOLU) yang lebih tegas dan cakupan ekonomi secara luas, tetapi tidak memperkuat target pengurangan emisi business-as-usual (BAU) yang ada atau mengumumkan baik absolut atau neto pada sasaran net zero.

Kebijakan pada kendaraan listrik (EV) baru-baru ini mencakup usulan peraturan untuk melarang penjualan sepeda motor berbahan bakar fosil di tahun 2040 dan mobil di tahun 2050, meningkatkan elektrifikasi, dan menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memasuki rantai pasokan penyimpanan baterai regional.

5. Langkah buruk pemerintah terkait jejak iklim

Selain langkah baik di atas, ternyata ada pula langkah yang dilakukan pemerintah tetapi merupakan kabar buruk bagi jejak iklim Indonesia.

Indonesia meneruskan jaringan pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 21 GW, walaupun ada pernyataan bahwa pembangkit listrik lama akan dipensiunkan dan tidak ada pembangkit listrik tenaga batu bara baru yang akan dibangun setelah tahun 2023.

Selanjutnya ada pula, produk-produk kebijakan yang sedang dan sudah dikeluarkan parlemen bersama pemerintah seperti Undangan-undang Minerba, Undang-undang Cipta Kerja dan RUU EBT.

Produk-produk tersebut dinilai hanya akan memperpanjang kehadiran batu bara dengan pengalihan solusi-solusi yang salah dan perlemahan proteksi hutan dan lahan.

Serta, kabar buruk lainnya adalah target bauran Energi Indonesia dari EBT di tahun 2025 sebesar 23 persen, tercatat di tahun 2021 baru mencapai 11,7 persen.

Melisa Kowara dari Extinction Rebellion (XR) Indonesia menyampaikan bahwa dari beberapa kebijakan ini, terlihat jelas ada kebijkan yang nyatanya bisa diperbaiki karena itu akan meningkatkan perubahan iklim, dan berdampak buruk terhadap masyarakat Indonesia maupun dunia.

“Sangat terlihat dari kebijakan-kebijakan yang tidak bijak dan tidak berambisi untuk menangani krisis iklim serius di Indonesia,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (22/4/2022).

Ia menjelaskan, pada tahun 2021 dampak dari krisis iklim menyebabkan 7,6 juta rakyat Indonesia harus mengungsi dan menderita.

“Kebijakan iklim saat ini membawa Indonesia menuju ke arah krisis iklim yang lebih parah dan memperburuk situasi dengan peningkatan kerusakan alam dan terus melakukan investasi batubara yang jelas bertentangan dengan sains dan tindakan penyelamatan rakyat,” ujarnya.

“Segala konflik kepentingan di ranah pembuatan kebijakan terlalu jelas,” tambahnya.

Lebih lanjut, kata dia, pemerintah saat ini di kuasai para pemimpin industri ekstraktif dan tetap berfikir untuk mendapatkan keuntungan dari bisnis pribadi yang mengorbankan kesejahteraan rakyat, lingkungan dan masa depan generasi muda.

“Ironis, yang mereka lakukan saat ini adalah menghancurkan bisnis mereka sendiri karena tidak ada ekonomi di planet yang mati,” ucap dia.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/23/080200323/memaknai-hari-bumi-ini-jejak-iklim-di-indonesia-sekarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke