Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Risiko Kesehatan Mental Mengintai Nakes Selama Pandemi Covid-19

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 yang sudah menyerang dunia kurang lebih selama 20 bulan telah memengaruhi banyak aspek kehidupan. Salah satunya adalah kesehatan mental tenaga kesehatan yang merupakan garda terdepan dalam penanganan penyakit.

Sebuah tinjauan sistematis baru dari para peneliti di Pusat Tinjauan dan Diseminasi Universitas York dan Yayasan Kesehatan Mental di Inggris yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE, berupaya untuk mengetahui hal tersebut.

Dikutip dari Medical News Today, Selasa (16/8/2021), Dr. Noortje Uphoff, selaku penulis utama studi menjelaskan bahwa tenaga kesehatan mungkin memiliki risiko lebih tinggi terhadap kesehatan mental yang merugikan. Hal ini dikarenakan sifat pekerjaan mereka yang penuh dengan tekanan.

"Ada beberapa indikasi bahwa kesehatan mental dapat terpengaruh lebih jauh sebagai akibat dari bekerja di garis depan selama wabah penyakit menular ini,” kata Dr. Uphoff.

Ditemukan bahwa setahun setelah pandemi, tenaga kesehatan enam kali lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental daripada yang lain.

Hampir dua tahun setelah krisis, sebesar 30 persen dari mereka yang paling dekat dengan pasien Covid-19 masih melaporkan kelelahan emosional yang signifikan.

Karantina juga dikaitkan dengan peningkatan konsumsi alkohol, gangguan stres akut dan PTSD atau Gangguan stres pascatrauma.

Untuk diketahui, PTSD merupakan gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan.

Selain itu, diketahui bahwa insomnia lebih sering terjadi pada petugas kesehatan daripada populasi umum.

Dr. Jo Billings dari University College London, Inggris, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mencatat bahwa sulit untuk melacak kondisi kesehatan mental tenaga kesehatan selama krisis dengan cara yang tidak terlalu membebani atau terlalu invasif.

Dr. Billings juga merasa prihatin dengan kesediaan pekerja untuk angkat bicara.

“Stigma tentang kesehatan mental yang buruk masih meresap dalam pengaturan perawatan kesehatan. Kita perlu menciptakan budaya di mana petugas kesehatan dapat secara terbuka berbicara tentang kesulitan kesehatan mental mereka sendiri tanpa ini merugikan karir mereka,” kata Dr. Billings.

Para peneliti menemukan bahwa karantina dan kekhawatiran tentang pandemi memiliki hubungan dengan risiko lebih tinggi terhadap gangguan stres akut, gangguan penyesuaian, gejala kesedihan dan PTSD pada anak-anak dan remaja.

Persentasi anak-anak dan remaja yang mengalami kecemasan meningkat dari 19 persen menjadi 37 persen. Sementara 35-44 persen memiliki gejala depresi.

Sebesar 6 persen remaja melaporkan gejala PTSD, 40 persen mengalami gejala tekanan psikologis dan 17 persen mengalami gangguan stres akut.

Pada mahasiswa, mereka melaporkan gejala kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, gangguan makan hingga gangguan tidur.

Prevalensi kecemasan di antara pasien Covid-19 dengan kondisi kesehatan bawaan berkisar 40-82 persen dan depresei sebesar 50 persen. Ada juga indikasi bahwa masalah kesehatan yang ada mungkin telah memburuk.

Kendati demikian, para peneliti yang juga melakukan survei pada anak-anak dengan cysticfibrosis melaporkan bahwa tingkat kecemasan mereka tentang pandemi lebih rendah dibanding yang dialami anak-anak lain.

Sebaliknya, orang tua anak dengan cysticfibrosis mengaku mendapat tingkat kecemasan yang lebih besar.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/16/160200123/risiko-kesehatan-mental-mengintai-nakes-selama-pandemi-covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke