Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penggundulan Hutan untuk Sawit Turun 58 Persen pada 2020, Kok Bisa?

KOMPAS.com - Hasil laporan Chain Reaction Research (CRR) mengungkapkan bahwa penggundulan hutan untuk pembukaan lahan kelapa sawit di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, turun drastis pada 2020.

Di Indonesia, deforestasi untuk sawit bahkan mencapai titik terendah dalam tiga tahun terakhir, yakni 38.000 hektar pada 2020.

Angka ini turun 58 persen dari 90.000 hektar pada 2019 dan 49 persen dari 74.000 hektar pada 2018.

Menurut analisis CRR, salah satu penyebab dari penurunan ini adalah kebijakan pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19.

Namun, seperti diungkapkan oleh Annisa Rahmawati selaku Advokasi Indonesia Mighty Earth, perlambatan ekonomi bukan pendorong utama karena harga minyak sawit sebagian besar berkisar dari sedang hingga tinggi di tahun 2020.

"Kami percaya bahwa pelaksanaan kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) yang lebih baik secara kontinyu oleh perusahaan-perusahaan sawit selama beberapa tahun ini, dikombinasikan dengan serangkaian tindakan pemerintah seperti moratorium kelapa sawit dan lain-lain telah mendorong kemajuan ini," ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (5/3/2021).

"Tahun ini adalah tahun keempat secara berturut-turut, angka deforestasi menurun sampai pada angka 100.000 an hektar (kurang dari seperempat dari tingkat historisnya), dan mudah-mudahan ini adalah tren jangka panjang," imbuhnya lagi.

Untuk diketahui NDPE yang berarti Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi adalah komitmen yang diberikan oleh perusahaan untuk menciptakan produksi minyak sawit yang lebih berkelanjutan.

Pelaku yang itu-itu saja

Meski demikian, laporan CRR tidak sepenuhnya kabar baik. Sekitar 22.000 hektar dari deforestasi Indonesia pada 2020 bisa diatribusikan pada 10 perusahaan minyak kelapa sawit saja, sementara sisanya disebabkan oleh 112 perusahaan berbeda.

10 perusahaan tersebut adalah Sulaidy, Ciliandry Anki Abadi, Bengalon Jaya Lestari, Mulia Sawit Agro Lestari (MSAL) Group, PT Permata Sawit Mandiri, IndoGunta, Jhonlin Group, Shanghai Xinjiu Chemical Co., Citra Borneo Indah Group dan Indonusa.

Mayoritas perusahaan-perusahaan ini juga termasuk dalam daftar penggundul terbesar di 2018 dan 2019 oleh CRR.

Selain itu, perusahaan-perusahaan ini juga merupakan supplier minyak sawit untuk perusahaan-perusahaan yang telah tergabung dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil atau telah memiliki kebijakan NDPE.

CRR pun menulis bahwa hal ini menunjukkan adanya kegagalan yang terjadi di pihak pembeli dengan kebijakan NDPE untuk menerapkan kebijakannya dengan baik dan risiko adanya pasar yang bocor (leakage markets).

Indonesia Mighty Earth juga sependapat. Annisa berkata bahwa sebagian besar perusahaan-perusahaan minyak sawit besar telah meningkatkan dan memperkuat pelaksanaan kebijakan mereka secara signifikan.

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh data CRR, para perusahaan konsumen minyak sawit harus bertindak lebih cepat ketika terjadi deforestasi atau pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasokan mereka, dan akan lebih baik apabila bisa mencegahnya sebelum terjadi.

"Perusahaan besar memiliki kemampuan untuk bebas dari deforestasi, mereka hanya perlu menegakkan kebijakan mereka dengan ketat dan bekerjasama melibatkan seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah, LSM dan masyarakat terkait dalam melaksanakan policy mereka," ujar Annisa.

Dia melanjutkan, dalam hal ini proses-proses perbaikan menuju nol deforestasi, baik oleh anggota-anggota RSPO maupun perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen NDPE, sudah seharusnya berdampak di lapangan dan tidak hanya "lips service" belaka.

Setelah pandemi Covid-19

Baik CRR maupun Mighty Earth juga mengkhawatirkan kemungkinan meningkatnya kembali deforestasi di Indonesia.

CRR berkata bahwa permintaan dari dalam negeri dan peningkatan harga komoditas kelapa sawit dapat mengakibatkan peningkatan pembukaan lahan di tahun 2021.

Sementara itu, Mighty Earth juga berkata bahwa ada risiko bahwa pencapaian pemerintah ini bisa menurun kembali apabila perusahaan atau pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak menjaga kewaspadaan.

Hal-hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat untuk menekan deforestasi, di antaranya adalah moratorium izin secara konsisten dan menjadikannya moratorium tersebut permanen untuk melindungi wilayah hutan dan ekosistem gambut di Indonesia.

Investasi juga harus diarahkan ke lahan-lahan yang sudah terdegradasi, yang bukan hutan dan gambut.

Alih-alih berusaha memperluas lahan sawit pada hutan dan gambut, pemerintah disarankan untuk berfokus pada peningkatan produktivitas, khususnya para petani sawit yang memiliki tingkat produktivitas jauh di bawah perusahaan.

Selain itu, Mighty Earth juga mencatat bahwa review perizinan dan perencanaan tata ruang yang baik, yang didukung proses yang transparan dan inklusif, masih belum optimal dilakukan di Indonesia. Kemudian, ada jutaan hektar gambut dan hutan rusak di Indonesia yang siap direstorasi dan dikonservasi.

Annisa mengatakan, kegiatan-kegiatan restorasi dan konservasi ini salah satu pencipta pekerjaan terbaik, di mana pelibatan masyarakat lokal merupakan kunci keberhasilan di dalamnya. Sumber-sumber hasil hutan non kayu dan ecosystem services juga melimpah, yang bisa dikelola secara lestari tanpa harus merusak hutan.

"Apabila tingkat deforestasi terus menurun dan kasus-kasus konflik masyarakat dan perampasan tanah juga menurun, hal ini akan memperbaiki reputasi dan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di mata dunia," tutupnya.

Hasil laporan CRR bisa diakses di sini.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/03/09/080300323/penggundulan-hutan-untuk-sawit-turun-58-persen-pada-2020-kok-bisa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke