Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Setahun Pandemi Covid-19, Apa Saja yang Telah Diungkap Ilmuwan?

Pada kasus pertama ini, ditemukan dua orang positif Covid-19, yaitu Sita Tyasutami (31) dan Ibunya Maria Darmaningsih (64). Keduanya merupakan warga Depok, Jawa Barat.

Virus Corona baru diakui

Dokter mata Li Wenliang, yang bekerja di Rumah Sakit Pusat Wuhan, adalah orang pertama yang berbagi informasi tentang dugaan infeksi paru-paru tipe SARS di Wuhan sejak 30 Desember 2019. Hingga akhirnya Li Wenliang meninggal karena Covid-19 pada 2 Februari.

Pada awal minggu kedua Januari 2020, otoritas China membuat pengumuman publik pertama bahwa virus jenis baru merajalela di kota Wuhan. Sejak saat itu, para ilmuwan tak berhenti mempelajari virus corona penyebab Covid-19 sampai saat ini.

Berikut gambaran umum tentang apa yang telah ditemukan tentang virus Corona hingga saat ini, dan sejauh mana pengobatan telah berkembang dalam melawan SARS-CoV-2.

Asal virus corona

Melansir The New York Times, pada 31 Desember, pemerintah Wuhan, China mengonfirmasi bahwa otoritas kesehatan mereka menangani belasan kasus penyakit yang mirip pneumonia.

Beberapa hari kemudian, para peneliti di China mengidentifikasi virus corona baru yang telah menginfeksi puluhan orang di Asia. Saat itu, tidak ada bukti bahwa virus ini mudah disebarkan oleh manusia.

Pada 11 Januari, media pemerintah China melaporkan kematian pertama yang diketahui akibat penyakit yang disebabkan oleh virus corona, yang telah menginfeksi puluhan orang. Pria berusia 61 tahun yang meninggal itu adalah pelanggan tetap di pasar di Wuhan.

Selanjutnya, kasus pertama yang dikonfirmasi di luar China daratan terjadi di Jepang, Korea Selatan, dan Thailand, diikuti Amerika Serikat, di mana seorang pria berusia 30-an mengalami gejala setelah kembali dari perjalanan ke Wuhan.

Awalnya, otoritas China tampaknya berusaha menyembunyikan bukti apa pun. Sampai hari ini, tidak jelas kapan dan di mana virus berpindah dari hewan ke manusia.

Penularan dari kelelawar ke inang perantara, kemungkinan dari tanuki - atau dikenal sebagai anjing rakun Asia - dan kemudian ke manusia dianggap sebagai asal muasal pandemi yang masih berlangsung hingga saat ini.

Ada bukti yang menunjukkan bahwa virus telah menyebar ke seluruh dunia pada akhir musim panas 2019.

Sejak itu, virus telah ditemukan dalam sampel yang diambil di Italia pada bulan September 2019, dan hasil analisis para peneliti Inggris, konsisten menunjukkan bahwa itu adalah genom SARS-CoV-2.

Penularan Covid-19

Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh ahli virologi di kota Heinsberg, salah satu sarang penyakit Covid-19 di Jerman, telah menetapkan bahwa virus corona sangat umum bersarang di tenggorokan dan paru-paru.

Penularan utama melalui droplet atau tetesan yang keluar dari mulut saat berbicara, batuk, atau bersin.

Bahaya infeksi selain bersentuhan langsung dengan orang yang terinfeksi dan menyentuh permukaan yang terkontaminasi, adalah melalui transmisi aerosol.

Karena itu, ruangan tertutup dengan banyak orang di dalamnya juga sangat berbahaya. Itu sebabnya tindakan lockdown, penutupan tempat hiburan, dan pembatalan acara besar sangat efektif dalam menekan penyebaran Covid-19.

Penggunaan masker wajah, mencuci tangan, dan menjaga jarak dari orang lain sekitar 1.5-2 meter menjadi protokol kesehatan yang wajib dilakukan masyarakat di seluruh dunia, demi mencegah penyebaran virus corona.

Gejala Covid-19 dan kelompok risiko 

Awalnya, virus corona baru sempat dianggap tidak lebih berbahaya dari flu musiman. Namun kini, para ahli telah memahami, bahwa Covid-19 menimbulkan ancaman berbahaya yang mirip dengan flu Spanyol pada 1918.

Meskipun banyak orang dapat terkena infeksi SARS-CoV-2 tanpa gejala, sebagian orang lainnya justru mengembangkan gejala parah karena Covid-19.

Ini menunjukkan, bahwa penyakit Covid-19 memiliki efek yang berbeda-beda pada tubuh setiap orang.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan, orang dengan penyakit penyerta, orang lanjut usia, orang dengan golongan darah A, dan laki-laki lebih berisiko terinfeksi Covid-19 dan mengembangkan gejala parah.

Ahli patologi yang telah memeriksa pasien Covid-19 telah memastikan bahwa tekanan darah tinggi, diabetes, kanker, gagal ginjal, sirosis hati, asma, dan penyakit kardiovaskular adalah penyakit komorbid atau penyakit penyerta yang paling berbahaya.

Namun pada prinsipnya, Covid-19 dengan gejala parah dapat menyerang siapa saja, termasuk orang berusia muda.

Perjalanan penyakit Covid-19

Covid-19 gejala ringan memang tampak seperti flu, dengan gejala khas demam, sakit tenggorokan, masalah pernapasan, dan hilangnya indra penciuman dan perasa.

Namun, dalam kasus Covid-19 gejala parah, bisa menyebabkan penyakit multi-organ yang mengancam jiwa.

Hal ini sering menyebabkan sepsis - reaksi berlebihan yang seringkali fatal dari sistem kekebalan yang menyerang jaringan dan organ orang yang terinfeksi.

Tingkat keparahan penyakit sangat bergantung pada seberapa kuat sistem kekebalan seseorang, bereaksi terhadap patogen.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah, kemungkinan terjadinya long covid pada sebagian orang. Di mana setelah dinyatakan negatif Covid-19, mereka masih merasakan beberapa gejala, seperti kelelahan, rambut rontok, brain fog, dan sebagainya hingga beberapa bulan sejak dinyatakan posistif Covid-19.

Terapi pengobatan Covid-19

Pada awal pandemi, banyak pasien dengan gejala parah menerima pernapasan buatan (intubasi) pada tahap awal.

Namun kini, para dokter di unit perawatan intensif telah beralih menggunakan ventilator, karena spesialis paru telah menekankan bahwa pernapasan buatan di bawah tekanan positif dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan pada paru-paru.

Selama pasien dapat bernapas sendiri, mereka akan menerima oksigen tanpa terhubung ke alat bantu pernapasan.

Dalam banyak kasus, ketika ginjal rusak parah akibat Covid-19, dialisis juga diperlukan. Selain itu, unit perawatan intensif juga akan melakukan perawatan lain jika ada organ rusak lainnya.

Selain dengan obat-obatan, proses penyembuhan Covid-19 di rumah sakit dapat dipercepat dengan terapi plasma konvalesen, yaitu memberikan antibodi dari darah pasien Covid-19 yang sembuh.

Antibodi tersebut dapat melawan virus dalam tubuh pasien yang menerima darah yang disumbangkan.

Belum ada obat khusus

Remdesivir adalah salah satu dari sedikit obat farmasi yang telah terbukti memperpendek perjalanan penyakit covid-19.

Meski demikian, itu bukanlah obat ajaib. Ini mempersingkat proses penyembuhan beberapa hari pada pasien yang menerima oksigen, tetapi tidak meningkatkan peluang mereka untuk bertahan hidup.

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyarankan, agar tidak menggunakan remdesivir untuk pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.

Para dokter juga mencoba menggunakan obat lain yang sudah ada di pasaran untuk memerangi virus corona.

Ini termasuk deksametason anti-inflamasi, yang telah disetujui di Inggris Raya, setelah percobaan menunjukkan obat itu mengurangi risiko kematian pada pasien rawat inap yang membutuhkan oksigen.

Obat lainnya yang dinilai sebagai penghambat, RNA polimerase Avigan dan obat malaria hydroxychloroquine.

Sayangnya, kemanjuran dan keamanan Avigan belum terbukti secara meyakinkan, sementara hydroxychloroquine telah terbukti tidak efektif dan bahkan mungkin berbahaya.

Pada 18 Desember 2020, WHO menyatakan, bahwa kortikosteroid (seperti deksametason) adalah satu-satunya kelas obat yang menunjukkan beberapa manfaat dalam pengobatan Covid-19.

Namun WHO juga menyebutkan, bahwa untuk pasien Covid-19 gejala ringan atau sedang, menemukan terapi yang efektif, aman, terjangkau dan dapat diakses untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas tetap menjadi prioritas yang mendesak.

Kampanye vaksin Covid-19

Hingga saat ini beberapa vaksin Covid-19 telah mendapatkan izin penggunaan darurat di sejumlah Negara di dunia, di antaranya Pfizer-BioNTech, Moderna, Sputnik V, Oxford-AstraZeneca, Sinovac, dan yang terbaru adalah Johnson & Johnson.

Namun demikian, para ilmuwan dunia memperkirakan bahwa kampanye vaksinasi kemungkinan tidak akan selesai sebelum 2022.

Saat ini Indonesia juga telah menjalankan kampanye vaksinasi Covid-19, termasuk pada lansia. Pada pertengahan Januari 2021, vaksin Sinovac resmi mengantongi izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM).

Izin vaksin Covid-19 Sinovac dikeluarkan berdasarkan data hasil pemantauan dan analisis uji klinik yang dilakukan di Indonesia.

Selain itu juga dengan mempertimbangkan data hasil uji klinik yang dilakukan di negara Brasil dan Turki.

Selanjutnya, seperti yang telah diberitakan Kompas.com, Pemerintah Indonesia akan menggunakan tiga vaksin Covid-19 lain, yaitu AstraZaneca dari London, Inggris, Pfizer dari Jerman-Amerika, dan Novavax dari Amerika.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/03/02/130100323/setahun-pandemi-covid-19-apa-saja-yang-telah-diungkap-ilmuwan-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke