Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrea Peresthu
Pemerhati Perkotaan

Pemerhati Perkotaan, pernah menjadi Asisten Profesor di Fakultas Arsitektur, Universitas Teknologi Delft (TU Delft).

Mercusuar di Antara Presiden Soekarno dan Jokowi

Kompas.com - 26/04/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAMA 20 tahun lebih saya merasa ada ganjalan dalam berbagai interpretasi melalui ‘studi akademik’ tentang urban proyek Jakarta pada masa Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno.

Berbagai karya seperti patung, Hotel Indonesia, Monumen Nasional dan juga Sarinah kerap dicap sebagai karya "mercusuar" era Bung Karno.

Semua studi yang ada sebenarnya tidak menawarkan paradigma apa pun. Karena ditulis oleh generasi yang harus menghafal bahwa semua proyek tersebut adalah ‘mercusuar’. Titik!

Jadi, tidak ada usaha riset dari sisi logika pembangunan, melainkan dari intepretasi sejarah arsitektur yang sangat subyektif dan miskin argumentasi karena lemahnya dimensi riset.

Saya pernah membaca, bahwa politik mercusuar Bung Karno disebut sebagai “alat komunikasi hegemoni politik baik di luar maupun di dalam negeri”.

Bukankah ini sebuah pernyataan akademik yang sangat abstrak dan ilusional? Tidak berdasar dan merupakan intepretasi subyektif pribadi.

Tidak ada argumen yang rasional ketimbang melakukan repetoir jargon kosong “politik mercusuar”.

Presiden Soekarno memang seorang arsitek. Beliau mengapresiasi seni. Tapi beliau juga seorang presiden yang harus membangun.

Pada awal kemerdekaan, Indonesia tidak memiliki industri yang memadahi untuk menyerap angkatan kerja. Bung Karno tidak memiliki pilihan lain untuk menciptakan lapangan kerja.

Oleh karena itu perlu dibuat proyek-proyek konstruksi jangka pendek yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Lalu disebut oleh rival politik sebagai “mercusuar”.

Orang lupa bahwa membangun Monas, Sarinah dan juga Hotel Indonesia serta menarik acara besar seperti GANEFO ke Bandung adalah bagian dari strategi untuk memutar roda ekonomi.

Bukan untuk membuat karya monumental semata. Lebih dari itu, serapan tenaga kerja yang luar biasa diciptakan saat itu.

Orang hanya melihat monumen dan proyek kasat mata, sehingga mudah dikritik sebagai pemborosan uang negara.

Tapi lupa, bahwa pada kurun itu juga Presiden Soekarno menggagas pembangunan Tol Jagorawi, dan Lingkar Luar Tanjung Priok-Cililitan untuk memperlancar arus barang dan perdagangan dari pelabuhan ke hinterland juga sebaliknya.

Tujuannya untuk ekonomi. Bukan hegemoni politik. Ini jelas bukan proyek “nation building” belaka tapi “state building”.

Jadi hegemoni politik apa yang mau dikomunikasikan? Serta apa untungnya? Saya yakin beliau dengan kabinetnya yang gonta-ganti itu, harus berpikir keras untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan ekonomi.

Jadi istilah "mercusuar” pada zaman Presiden Soekarno ini perlu dikaji melalui komisi sejarah yang juga harus melihat aspek ekonomi dan pembangunan (data primer historis ekonomi).

Bukan cuma intepretasi subyektif yang terus berulang sebagai jargon cuci otak.

Lantas, pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang getol membangun infrastruktur, semua tersentak dengan rencana dan eksekusi pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur.

Lalu muncul lagi istilah “mercusuar Jokowi”. Istilah ini menurut saya kedaluwarsa dan tidak relevan.

Karena dari perspektif "kuno" sekali pun Indonesia ini seharusnya sudah sejak awal 1970-an perlu mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan (growth center).

Tapi tidak dilakukan, karena alasaan keterbatasan dana. Namun ironisnya, Indonesia punya banyak uang karena oil booming pada tahun 1970-an justru pada saat dunia mengalami krisis minyak.

Namun sayang, berkah yang luar biasa itu tidak diakumulasikan kedalam infrastruktur fisik atau accumulation public capital.

Padahal, Indonesia perlu memiliki sentra pertumbuhan baru. Pemerintah tidak bisa menunggu inisiatif swasta. Maka harus diinisiasikan oleh sektor publik.

Apakah cocok saat ekonomi sedang terpuruk karena pandemi Covid-19 saat ini?

Dari satu perspektif, semua kegiatan pemindahan IKN tentu akan menciptakan lapangan pekerjaan di sektor konstruksi, juga elektronik, logistik, transportasi, hiburan dan industri lain yang terkait untuk menghidupkan sentra pertumbuhan baru ini.

Tidak kecil juga skala dampak pertumbuhan ekonominya jika nanti diukur dengan parameter yang jelas.

Apakah ada dampak lingkungannya? Tentu saja! Tapi kita dibekali dengan ilmu dan teknologi yang harusnya dipakai untuk mengoptimalkan dampak tersebut secara lebih lestari.

Satu hal saja, saya teringat dengan pepatah Jepang yang begitu dalam the closer you stand to the lighthouse, the darker it gets, artinya semakin mendekat kita ke mercusuar, semakin gelap. Ironis, karena mercusuar fungsinya justru untuk menerangi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com