Jalur sepeda di jalan-jalan utama seperti koridor Sudirman-Thamrin pun sampai saat ini masih nihil.
Kedua, Anies dianggap mampu menghubungkan antar-moda, mungkin benar. Terutama menghubungan antar-moda BUMD dalam kepemilikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seperti PT TransJakarta, PT MRT Jakarta dan PT LRT Jakarta.
Sementara, untuk integrasi fisik yang bisa disebut berhasil antar-moda BUMD dengan BUMN hanyalah Kereta Rel Listrik (KRL) di Stasiun Tenabang dan Senen. Itu pun minus integrasi pembayaran.
Ketiga, Anies dinilai berhasil merevitalisasi stasiun KRL. Padahal, sampai saat ini masih ada polemik akuisisi kepemilikan saham PT Kereta Api Indonesia (Persero) cq PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) 51 persen oleh PT MRTJ yang belum terjadi.
Ini artinya rencana 72 stasiun yang dikelola tersebut masih belum terlaksana.
Juga disebutkan ada keberhasilan Transit Oriented Development (TOD). Faktanya, sampai saat ini belum ada TOD. Regulasi yang mengaturnya pun belum dimiliki Pemprov DKI.
Konsep TOD adalah pembangunan yang pro-angkutan umum, sepeda, dan pejalan kaki. TOD akan berhasil apabila radius 500 meter dari stasiun tidak disediakan parkir kendaraan (mobil/motor).
Keempat, transportasi umum DKI Jakarta dinilai berhasil. Padahal, faktanya masih jauh dari berhasil, mengingat modal share angkutan umum masih di bawah 20 persen. Sementara bagian besar 80 persen masih menggunakan kendaraan pribadi.
Jakarta tidak akan dapat bekerja sendiri untuk meningkatkan modal share ke angkutan umum karena tergantung dari aglomerasi Bodetabek. Dalam konteks ini telah ada Rencana Induk Transportasi Jabodetabek Badan Pengatur Tarnsportasi Jabodetabek (RITJ-BPTJ) yang belum ihklas untuk digarap.
Kelima, Anies dianggap berhasil melakukan uji coba bus listrik. Padahal, faktanya bus listrik belum digunakan secara regular.
Bagaimana bisa dikatakan berhasil? Keberhasilan penggunaan bus listrik apabila sarana tersebut telah reliable operasionalnya termasuk infrastruktur yang telah siap.
Kesimpulannya, predikat pahlawan transportasi terlalu berlebihan, karena menata transportasi tidak hanya cukup 1-2 tahun, melainkan puluhan tahun.
Kita berdosa apabila melupakan semangat gubernur sebelumnya atau mengabaikan jerih payah para senior pendahulunya, Gubernur Sutiyoso berhasil membangun busway Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta sejak 2003, dan Gubernur Fauzi Bowo membentuk lembaga PT MRT Jakarta tahun 2008.
Lalu Gubernur Joko Widodo membangun MRT Jakarta tahun 2013, penataan stasiun-stasiun, trotoar, dan jalur sepeda sejak 2014.
Demikian halnya Gubernur Basuki Tjahaya Purnama yang terlibat pembahasan sekaligus memantau eksekusinya.