Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Saat Emoji "Thumbs Up" Diakui sebagai Persetujuan Kontrak oleh Pengadilan

Kompas.com - 17/09/2023, 10:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara pengacara Chris, Jean-Pierre Jordaan, memperingatkan bahwa mengakui emoji jempol sebagai bentuk hukum persetujuan kontrak akan “membuka pintu air” untuk segala macam kasus yang meminta pengadilan untuk mendefinisikan arti emoji lain, seperti jabat tangan atau tinju.

Profesor Julian Nyarko, dari Stanford Law School, mengatakan, ujian hukum untuk persetujuan kontrak berpusat pada bagaimana orang yang berakal sehat akan menafsirkan tanda-tanda yang diberikan kedua belah pihak. Ia menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, persetujuan lisan saja sudah cukup.

Belajar dari kasus ini, kita perlu mengingatkan hakim dan penegak hukum untuk tidak mengeneralisasi tafsir atas emoji dan emoticon. Penggunaan fitur ini dalam perbuatan hukum harus ditafsirkan secara cermat sesuai latar belakang dan fakta-fakta yang menyertainya.

Penegak hukum harus mempersempit ruang tafsir dan lebih fokus melihat unsur niat pengirim dan maksud penerima, keadaan sekitar, teks yang menyertainya, serta kebiasaan dan fakta sebelumnya yang menyertai kasus itu.

Hal yang perlu diingat bahwa pemaknaan simbol seringkali tidak universal. Seperti diungkanpan Heather King dalam publikasi pada media American Bar Association (ABA) (1/1/2022), bahwa layaknya tindakan fisik tertentu, makna simbol juga berbeda-beda.

Emoji “jempol ke atas” dianggap menyinggung atau vulgar di banyak negara. Emoji “wajah tersenyum” sering dianggap sebagai ekspresi sarkasme di negara lainnya. Sementara, keduanya sering dianggap sebagai ekspresi positif di sebagian besar negara lain.

Heather King menyatakan, selain rumitnya penafsiran makna emoji di pengadilan, terdapat pula permasalahan platform pesaing seperti antara Apple, Samsung dan lainnya.

Meskipun Konsorsium Unicode menetapkan standar untuk emoji, tetapi masing-masing perusahaan merancang platform mereka sendiri di mana platform unik ini terkadang menimbulkan inkonsistensi dan miskomunikasi karena pengirim dan penerima menggunakan platform digital berbeda.

Heather King juga mencontohkan kasus lain di Ohio, State v. Disabato. Seorang terdakwa dihukum karena pelecehan online setelah mengirimkan pesan teks yang tidak diinginkan, dan beberapa di antaranya menyertakan emoji tikus atau hewan pengerat yang sering digunakan sebagai eufemisme untuk seseorang yang tidak setia.

Lex informatica dan Hukum Transformatif

Secara konservatif hukum biasanya bersumber dari perilaku sosial, realitas kultural dan kebiasaan-kebiasaan manusia dan komunitasnya. Hal-hal ini kemudian dipercaya sebagai sumber pembentukan hukum.

Di negara Common Law, hukum itu diwujudkan melalui putusan pengadilan sebagai yurispridensi. Sedangkan di negara-negara berbasis Eropa Kontinental atau Civil Law diwujudkan dalam bentuk regulasi tertulis berupa perundang-undangan.

Saat ini terdapat perkembangan sangat signifikan. Di mana dalam lingkungan platform digital dan jaringan masyarakat informasi, regulasi bukanlah satu-satunya sumber hukum.

Kemampuan teknologi dan pilihan desain sistem dan fitur-fitur digital seringkali berlaku sebagai kebiasaan yang dianggap sebagai hukum bagi komunitas penggunanya.

Prinsip Lex informatica dikemukakan di antaranya oleh Profesor Joel R Reidenberg dari Fakultas Hukum Fordham University.

Pembuatan dan implementasi kebijakan informasi tertanam dalam desain, dan standar jaringan serta konfigurasi sistem. Bahkan preferensi pengguna dan pilihan teknis, menciptakan aturan kebiasaan yang biasanya diikuti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com