Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akhmad Zaenuddin, S.H, M.H
Advokat

Managing Partner pada Akhmad Zaenuddin & Partners (AZLAW). Sarjana Hukum dari Universitas Bung Karno dan Magister Hukum dari Universitas Gadjah Mada.

Pernah bekerja di LBH Jakarta dan ADAMS & Co, Counsellors at Law. Advokat terdaftar di PERADI dan berpraktik sejak 2014, khususnya Litigasi Komersial.

Pernah membela perusahaan-perusahaan besar, baik nasional maupun multinasional di berbagai bidang hukum di antaranya Perdata, Perbankan, Perlindungan Konsumen, Pertambangan, Ketenagakerjaan, Kepailitan, dan PKPU

HP: 0821-2292-0601
Email: ahmadzae18@gmail.com

Bunga dan Denda Pinjol yang Tinggi Bisa Dipangkas, Simak Ulasan Hukumnya

Kompas.com - 02/08/2021, 06:00 WIB
Akhmad Zaenuddin, S.H, M.H,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

Konsultasi Hukum

Kupas tuntas dan jelas perkara hukum

Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com

Besaran bunga dan denda utang pinjaman online (pinjol) sampai saat ini masih menjadi polemik.

Di satu sisi, banyak pihak yang mengeluhkan tingginya bunga dan denda pinjol sehingga merugikan konsumen.

Di sisi lain, pihak pinjol memiliki argumentasi tingginya bunga dan denda, yakni aspek kemudahan memperoleh pinjaman dan besarnya risiko usaha.

Pinjol diberikan tanpa syarat administrasi yang rumit, tanpa jaminan utang, pencairan dana relatif cepat, dan risiko gagal bayar yang tinggi.

Baca juga: Penagih Utang Pinjaman Online Pakai Intimidasi hingga Ancaman Kekerasan, Ini Jerat Hukumnya

Pada dasarnya, penentuan besaran bunga dan denda pinjol diserahkan pada kesepakatan antara penyelenggara pinjol dan konsumen.

Hal ini di antaranya tersirat pada POJK No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Beleid tersebut menyatakan bahwa perjanjian pinjol harus memuat besaran suku bunga yang disepakati para pihak.

Pada titik tersebut, polemik terjadi. Penentuan besaran bunga dan denda yang diserahkan kepada para pihak, telah memberikan ruang bagi penyelenggara pinjol, selaku pihak yang lebih superior, menentukan besar kecilnya bunga dan denda sesuai kehendaknya.

Sementara bagi pihak konsumen berlaku adigium take it or leave it.

Saat ini telah dibuat formulasi untuk menyikapi polemik tersebut, yakni dengan ditetapkannya besaran bunga pinjol sebesar 0,8 persen per hari oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia.

Namun formulasi tersebut diterbitkan dalam bentuk kode etik asosiasi dan bukan peraturan perundang-undangan yang mengikat secara hukum.

Terlebih, bunga sebesar 0,8 persen pun masih dinilai terlalu tinggi sehingga masih perlu diturunkan.

Untuk itu, pertanyaan menarik yang perlu diutarakan terkait hal tersebut adalah, apakah ada instrumen hukum yang dapat digunakan untuk memasuki ruang kesepakatan antara penyelenggara pinjol dengan konsumen guna menekan tingginya bunga dan denda pinjol?

Penyalahgunaan keadaan

Pada dasarnya sistem pengaturan hukum perjanjian di Indonesia menggunakan sistem terbuka.

Artinya, setiap orang bebas mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di undang-undang.

Ini yang dalam ilmu hukum dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Baca juga: Pinjol Tagih Utang dengan Ancaman Bisa Dituntut Ganti Rugi, Simak Aturannya

Pengaturan hal tersebut di antaranya merujuk Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)/Burgerlijk Wetboek atau yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Termasuk dalam pinjol. Berdasarkan pengaturan tersebut, penyelenggara dan konsumen pinjol diberikan kebebasan untuk menentukan besaran bunga dan denda pinjol.

Namun, untuk diketahui bahwa dalam perkembangannya terdapat pembatasan asas kebebasan berkontrak.

Beberapa ahli hukum, di antaranya Asikin Kesuma Atmadja, berpendapat bahwa hakim berwenang memasuki isi perjanjian apabila diperlukan karena menilai isi dan/atau pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan nilai-nilai di masyarakat.

Asas kebebasan berkontrak termaksud tidak lagi bersifat absolut. Salah satu alasan yang memberikan wewenang hakim meneliti dan menilai perjanjian adalah ketidakseimbangan para pihak.

Tidak adanya keseimbangan menyebabkan salah satu pihak tidak bebas menuangkan kehendaknya dalam perjanjian.

Salah satu indikator untuk melihat adanya ketidakseimbangan, di antaranya dari kekuasaan ekonomi pada salah satu pihak dibanding pihak lainnya.

Kekuasaan tersebut kemudian digunakan untuk mengganggu keseimbangan salah satu pihak lainnya.

Kondisi tersebut menyebabkan tidak ada kehendak yang bebas dari salah satu pihak untuk memberikan persetujuannya.

Ketidakbebasan tersebut menyebabkan cacatnya kehendak para pihak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.

Hal tersebut di atas yang mejadi dasar argumentasi munculnya alasan penyalahgunaan keadaan atau misbruik van omstandighede sebagai alasan untuk meneliti, menilai dan/atau mengubah isi perjanjian oleh hakim.

Penjelasan di atas memiliki relevansi terhadap transaksi pinjol. Pihak penyelenggara dan pemberi pinjaman diposisikan sebagai pihak yang lebih superior karena memiliki kekuatan ekonomi yang lebih besar daripada konsumen.

Sementera konsumen diposisikan sebagai pihak inferior karena lemah secara ekonomi dan dalam posisi yang tidak strategis karena terdesak kebutuhan uang dalam jumlah tertentu.

Merujuk pada seluruh uraian di atas, maka diketahui bahwa secara teoritis terdapat ruang yang berpotensi dijadikan akses hakim menilai dan meneliti isi perjanjian pinjol, termasuk kesepakatan terkait besaran bunga dan denda pinjol tentunya.

Hakim dapat menilai apakah dalam pembuatan dan/atau pelaksanaan perjanjian pinjol terdapat penyalahgunaan dari pihak penyelenggara atau pemberi pinjol.

Jika ditemukan hal tersebut, maka hakim dapat memasuki perjanjian pinjol untuk kemudian menilai apakah isi perjanjian telah sesuai dengan nilai di masyarakat, khususnya nilai keadilan dalam transaksi pinjam meminjam sejulah uang.

Hakim ubah bunga dan denda

Di Indonesia terdapat beberapa putusan pengadilan yang menggunakan dalil penyalahgunaan keadaan untuk memasuki isi perjanjian, guna meneliti dan menilai apakah perjanjian telah memenuhi rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Termasuk sehubungan dengan topik besaran bunga dan bunga pinjaman utang piutang yang dinilai terlalu tinggi dan tidak wajar.

Ada beberapa putusan hakim yang menyesuaikan besaran tersebut untuk kemudian disesuaikan dengan nilai kewajaran.

Hal tersebut salah satunya dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung No. 1076 K/Pdt/1996 tanggal 09 Maret 1996.

Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, terbukti bahwa debitur (tergugat) berhutang kepada kreditur (penggugat) sebesar Rp 350 juta.

Kemudian, dalam perjanjian pun telah disepakati bahwa debitur wajib membayar bunga sebesar 2,5 persen setiap bulan atau 30 persen setahun.

Mahkamah Agung menegaskan bahwa karena bunga telah disepakati dan diperjanjikan, maka hal tersebut mengikat kedua pihak, sehingga bunga tersebut dibenarkan menurut hukum dan debitur wajib membayar bunga yang diperjanjikan.

Namun Mahkamah Agung berpendapat, meski telah diperjanjikan besarnya bunga 2,5 persen per bulan, akan tetapi besarnya bunga perlu disesuaikan dengan bunga yang berlaku di bank pemerintah, yaitu sebesar 18 persen setahun terhitung sejak gugatan didaftarkan sampai tergugat membayar lunas hutangnya atau saat putusan dilaksanakan.

Pendapat yang serupa dapat pula dilihat pada Putusan Mahkamah Agung No. 311 PK/Pdt/2017 tanggal 16 Agustus 2017. Perkara tersebut adalah sengketa antara koperasi simpan pinjam dan debiturnya.

Baca juga: Pinjol Ilegal, Begini Jerat Hukumnya

Dari serangkaian proses persidangan, ditemukan fakta hukum bahwa dalam perjanjian pinjam meminjam uang disepakati besaran bunga 3,5 persen per bulan atau 42 persen setahun dan denda sebesar 5 persen per bulan dari jumlah angsuran.

Fakta persidangan membuktikan debitur melakukan tindakan ingkar janji. Namun mengenai besaran bunga, Mahkamah Agung menilai hal tersebut harus disesuaikan dengan tingkat kewajaran, yakni sebesar 12 persen setahun terhitung sejak gugatan.

Sementara tuntutan denda sebesar 3,5 persen per bulan tidak dikabulkan oleh hakim.

Selain pada putusan di atas, tindakan Mahkamah Agung yang menyesuaikan besaran denda pun dapat dilihat pada Putusan No. 494 K/Pdt/1995 tanggal 12 Desember 1995.

Hakim menemukan fakta bahwa di perjanjian telah disepakati besarnya denda keterlambatan membayar adalah 10 persen setiap bulan dari sisa hutang pokok.

Namun meskipun hal itu diperjanjikan, menurut Mahkamah Agung, denda sebesar itu dipandang tidak layak karena bertentangan dengan kepatutan dan rasa keadilan masyarakat.

Mahkamah Agung berpendapat adalah patut dan adil apabila denda keterlambatan membayar tersebut disesuaikan dan ditetapkan sebesar 3 persen setiap bulan terhitung sejak tanggal gugatan diajukan sampai dengan sisa hutang pokok dibayar lunas.

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam praktik peradilan, hakim dapat memasuki dan meneliti isi perjanjian untuk menentukan apakah perjanjian tersebut telah memenuhi rasa keadilan dan/atau nilai yang ada di masyarakat.

Sehubungan dengan besaran bunga dan denda pinjaman yang tidak wajar, hakim diberikan wewenang untuk menyesuaian besarannya sesuai rasa keadilan dan nilai kewajaran.

Tidak terkecuali dalam perjanjian pinjol. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdapat ruang gerak bagi hakim untuk memasuki perjanjian antara penyelenggara atau pemberi pinjol dengan konsumen, termasuk menilai dan meneliti apakah besaran bunga dan denda pinjol telah memenuhi rasa keadilan dan nilai kewajara.

Tidak menutup kemungkinan pula bahwa dari pemeriksaan yang dilakukan, hakim akan menyesuaikan besaran bunga dan denda yang nilai tidak wajar dan/atau tidak memenuhi rasa keadilan yang ditetapkan pemberi pinjol dan disepakati dalam perjanjian.

Untuk itu, sudah sepatutnya apabila setiap pihak yang berkepentingan dan/atau terlibat dalam transaksi pinjol mempertimbangkan rasa keadilan dan nilai kewajaran dalam menetapkan besaran bunga.

Hal ini karena ketidakwajaran dan ketidakadilan yang tertuang atau tersirat di dalam perjanjian akan menjadi akses masuk bagi hakim untuk menilai hal tersebut dan menyesuaikan dengan nilai hukum yang berlaku.

Anda punya pertanyaan terkait permasalah hukum? Ajukan pertanyaan Anda di laman ini: Form Konsultasi Hukum

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com