Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kemasan Plastik Mengandung BPA Kembali Disorot, Regulasi Diperlukan

JAKARTA, KOMPAS.com - Plastik kemasan pangan yang mengandung Bisphenol-A (BPA) kembali
menjadi sorotan.

Bisphenol-A atau BPA adalah kandungan berbahaya yang memiliki risiko jangka panjang yang tidak boleh digunakan dalam kemasan pangan (makanan dan minuman), terutama yang dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui, serta balita.

Menurut Nia Umar, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) dan Koordinator Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), BPA menjadi problematis karena ada di mana-mana dan bisa masuk dengan mudah dalam rantai konsumsi.

Menurut dia, BPA dengan mudah masuk ke dalam rantai makanan dan dapat ditemukan dalam urine, darah, termasuk darah ibu hamil, tali pusat, dan ASI.

“BPA memiliki risiko yang sangat besar terhadap ibu hamil. BPA mengganggu kerja endokrin dan meniru
estrogen,” ungkap Nia dalam diskusi virtual bertajuk Mendesain Regulasi Bisphenol-A (BPA) yang Tepat, Rabu (13/10/2021).

“BPA adalah polusi yang tidak terlihat dan tidak tercium, namun bisa masuk kemana-mana dengan
berbagai cara. Penggunaannya yang terlalu masif dan tidak disadari akan membuat banyak orang terkena penyakit akibat paparan BPA,” tambahnya.

Nia berharap pemerintah bisa tegas dalam mengatur kemasan yang mengandung BPA. Dia memandang, harus ada aturan yang tegas dan kampanye resmi yang ditayangkan di semua media yang berisi edukasi tentang BPA.

"Dan BPOM perlu mengkaji ulang regulasinya,” ungkap Nia.

Sementara itu, Irfan Dzakir, dokter spesialis anak, anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menyampaikan bahwa toksisitas BPA telah menjadi perhatian, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika. Toksisitas BPA menimbulkan berbagai penyakit.

“Efeknya sangat luas di berbagai kelompok. Sudah banyak studi yang membuktikan hal tersebut, dan untuk mencegahnya dibutuhkan regulasi preventif yang menjauhkan masyarakat dari bahaya BPA,” jelas Irfan.

“BPA terdapat di seluruh bagian tubuh dan sudah banyak studi membuktikan bahwa bahaya BPA
terkait dengan gangguan hormonal, kanker, penyakit saraf dan obesitas,” ungkap dia.

“Ada hubungan yang kuat antara paparan BPA dan gangguan perilaku manusia, terutama pada anak-anak. BPA ini menyerupai estrogen dalam tubuh, sehingga mengganggu perkembangan organ seksual pada anak-anak,” katanya.

Ia menambahkan, upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari penggunaan produk mengandung BPA dan memberikan ASI secara langsung, mengurangi konsumsi makanan pada kemasan plastik, dan tidak memanaskan makanan dalam kemasan plastik di microwave.

Pun Irfan merasa perlu adanya evaluasi dan revisi dari batas aman yang ada saat ini.

Dari perspektif perlindungan anak, Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan, anak-anak memiliki hak atas kesehatan dan hak atas hidup yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Arist juga menyatakan, pemerintah memegang amanah Undang Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014.

“Hak ini adalah hak yang sangat fundamental. BPOM sebagai wakil Pemerintah memilki kewenangan untuk melindungi masyarakat. Kalau kita ingin mendesain regulasi BPA yang tepat, maka kita harus kembalikan ke pemerintah," sebut Arist.

“Tidak ada toleransi BPA terhadap hak kesehatan anak, ibu hamil dan bayi. Komnas Anak sudah melakukan berbagai kampanye peduli kesehatan di ibu hamil dan PAUD sehingga nanti kalau pemerintah masih belum membuat regulasi BPA yang tepat, setidaknya para ibu dan anak-anak sudah bisa menghindari kemasan yang mengandung BPA,” ungkap Arist.

https://www.kompas.com/homey/read/2021/10/13/195658776/kemasan-plastik-mengandung-bpa-kembali-disorot-regulasi-diperlukan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke