Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Netanyahu is Back

Kompas.com - 01/01/2023, 09:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BENJAMIN Netanyahu dan sekutu sayap kanannya memenangkan total 64 kursi dari 120 kursi parlemen Israel pada pemilihan 3 November 2022 lalu.

Partai Likud yang dipimpin Benjamin Netanyahu yang dikenal juga dengan sebutan Bibi itu memenangkan 32 kursi, sementara partai Ultra-Ortodoks mendapatkan 18 kursi, dan aliansi sayap kanan lainnya meraih 14 kursi.

Di sisi lain, Yair Lapid Ketua Partai Yesh Atid dengan sekutunya hanya mampu meraih 51 kursi, yang memosisikan mereka kembali ke jalur opisisi.

Jadi Bibi merupakan perdana menteri yang paling lama menjabat di tanah Abrahamic itu kembali menduduki jabatannya sebagai pemimpin yang kali ini dicap oleh banyak pihak sebagai pemerintahan paling kanan dalam 74 tahun sejarah berdirinya Israel.

Meskipun respons dunia internasional kurang terlalu positif, tapi secara umum telah menyatakan bersedia bekerja sama dengan pemerintahan baru yang dibentuk oleh Benjamin Netanyahu karena buah dari pemilihan yang berlangsung secara demokratis.

Namun demikian, baik Israel maupun Amerika Serikat dan Uni Eropa, akan semakin kesulitan untuk menemukan kata sepakat dalam dua isu kunci terkait dengan Israel, yakni isu Palestina dan Iran.

Di satu sisi, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Joe Biden dan Uni Eropa masih berkeyakinan bahwa "two states solution" adalah jalan terbaik bagi Israel dalam meraih titik keseimbangan permanen dengan Palestina.

Untuk itu, arah dan spirit kebijakan strategis Amerika Serikat maupun Uni Eropa akan lebih banyak memberi porsi kepada pendekatan diplomasi dan negosiasi yang akan membuka peluang pendirian negara Palestina yang diharapkan kelak akan berdampingan dengan negara Israel.

Sementara itu, arah dan spirit kebijakan strategis Benjamin Netahanyu adalah sebaliknya. Kesepakatan "Abraham Accord" yang berhasil ditorehkan di era Benjamin Netanyahu sebelumnya adalah bukti nyata atas arah kebijakan Netanyahu itu.

Meskipun kesepakatan tersebut tidak secara eksplisit mengeliminasi eksistensi Palestina, normalisasi hubungan diplomatis antara Israel dan beberapa negara muslim Arab dan Afrika secara de facto lebih mengokohkan pengakuan dunia internasional atas kedaulatan negara Israel di satu sisi dan memperkecil kemungkinan terealisasinya "two states solution" di sisi lain.

Namun, hal tersebut pada akhirnya bisa diwujudkan oleh Benjamin Netanyahu yang pada masa lalu pernah tinggal di Philadelphia Amerika Serikat itu, karena adanya dukungan penuh kala itu dari Presiden Donald Trump dan pemerintahan yang dikuasai Partai Republik di Amerika Serikat.

Kini situasinya sama sekali tidak sama. Presiden Amerika Serikat saat ini, Joe Biden, yang pernah selama delapan tahun sebagai wakilnya Presiden Barack Obama yang kebijakannya hampir selalu berseberangan dengan Benjamin Netanyahu, sedang "in charge" di Gedung Putih. Artinya, gagasan “two states solution" juga sedang "on the table" di Washington.

Begitu juga dengan arah kebijakan strategis Benjamin Netanyahu terhadap Iran. Perpaduan antara narasi frontal, konfrontatif, dan pendekatan nondiplomasi dengan aksi-aksi koboi ala intelijen Israel untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir akan mewarnai relasi kedua negara selama Benjamin Netanyahu berkuasa.

Sebenarnya pilihan sikap itu tidak terlalu berbeda dengan kepentingan dunia Barat (Amerika Serikat dan Uni Eropa), yang juga tidak menginginkan Iran memiliki senjata nuklir. Yang membedakannya adalah faktor pendekatannya.

Netanyahu akan menutup opsi diplomasi dengan Iran, sementara Uni Eropa dan Amerika Serikat masih percaya bahwa kesepakatan bisa diraih melalui jalur diplomasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com