JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia membutuhkan pembiayaan yang signifikan untuk mencapai target nol emisi pada 2050 sesuai Persetujuan Paris.
Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui laporan terbarunya, Indonesia's Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023 mengkaji bahwa selain mengoptimalisasi pembiayaan publik, Pemerintah Indonesia juga perlu segera memobilisasi investasi non-pemerintah dengan menetapkan kebijakan, regulasi, dan ekosistem investasi yang menarik.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam peluncuran ISFO 2023 pada Senin (17/10/2022) mengungkapkan, Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya yang transformatif dan masif untuk melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh pada sistem energi dengan menghimpun dana dengan total sekitar 1,2 triliun dollar AS pada 2050.
Baca juga: Cuaca Ekstrem Ancaman Besar Keamanan Energi Global, Layaknya Perang Ukraina
Berdasarkan kajian IESR dan Universitas Maryland, biaya untuk memensiunkan 9,2 gigawatt pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada periode 2022-2030 membutuhkan sekitar 4,6 miliar dollar AS.
Selain itu, pensiun dini semua PLTU pada 2045 dengan usia rata-rata 20 tahun memerlukan 28 miliar dollar AS untuk kompensasi aset terbengkalai dan biaya decommissioning (penutupan) pembangkit.
Menurutnya, upaya mengakhiri operasional PLTU harus dibarengi dengan peningkatan penambahan pembangkit energi terbarukan, penguatan jaringan transmisi dan distribusi, serta efisiensi energi secara besar-besaran.
Sementara, berdasarkan temuan ISFO 2023, porsi anggaran pemerintah hanya akan mampu mengalokasikan 0,83 persen dari total kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025.
Itu bila mengacu pada rata-rata alokasi anggaran mitigasi perubahan iklim Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM pada 2018 hingga 2020 sebesar 67 juta dollar AS per tahun.
Baca juga: Serangan Rudal Rusia Hantam 30 Persen Infrastruktur Energi Ukraina
Salah satu Penulis ISFO 2023, Farah Vianda, mengungkapkan tren yang sama juga berlangsung ke tingkat provinsi, sebagaimana rilis yang diterima Kompas.com.
Ia mencontohkan Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang paling banyak mendukung pengembangan energi terbarukan, namun keterbatasan fiskal membuat Jawa Tengah hanya mengalokasikan lebih rendah dari 0,1 persen dari total APBD yang tersedia.
“Hal ini menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk mencari pembiayaan di luar APBD. Upaya yang sama juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yakni dengan memperluas sumber pendanaan untuk menarik investasi di sektor energi terbarukan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan sejauh ini alokasi APBN masih terkonsentrasi untuk mendukung aktivitas energi fosil.
Di antaranya dengan membelanjakan 5 persen dari APBN sepanjang 2021 untuk kebutuhan subsidi energi fosil dan 20,8 persen subsidi dari APBN apabila proyeksi Kementerian Keuangan terkait kebutuhan subsidi energi sebesar Rp 649 triliun pada 2022 terealisasikan.
Baca juga: Harga Energi Melonjak, Jerman Terancam Krisis Tisu Toilet
Dia menambahkan, ketergantungan Indonesia terhadap batu bara akan menjadi salah satu tantangan dalam menerapkan instrumen keuangan campuran mekanisme transisi energi.
“Saat ini Indonesia sedang mengalami kelebihan pasokan listrik yang membuat PLN enggan membangun pembangkit energi terbarukan. Sementara di sisi lain, investor dalam platform ETM ini justru ingin mendorong pengembangan energi terbarukan,” jelas Farah.