Namun, banyak ahli mengatakan bahwa penyebab krisis Sri Lanka sebenarnya adalah salah urus ekonomi.
Pada akhir perang saudara 2009, Sri Lanka memilih lebih fokus menyediakan barang untuk pasar domestik daripada mencoba memasoknya ke luar negeri. Jadi, pendapatan dari ekspor tetap rendah, sedangkan tagihan impor terus bertambah.
Sri Lanka sekarang mengimpor 3 miliar dollar AS (Rp 44,87 triliun) lebih banyak daripada ekspornya setiap tahun. Itulah sebabnya Sri Lanka bangkrut karena kehabisan mata uang asing.
Baca juga:
Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing 7,6 miliar dollar AS (Rp 113,67 triliun).
Selanjutnya, pada Maret 2020 jumlahnya turun menjadi 1,93 miliar dollar AS (Rp 28,86 triliun) dan baru-baru ini pemerintah mengatakan hanya tersisa 50 juta dollar AS (Rp 747,8 miliar).
Pemerintah Sri Lanka juga memiliki utang besar dengan negara-negara lain termasuk China, untuk mendanai proyek infrastruktur yang menurut para kritikus sebenarnya tidak perlu.
Sebagian besar amarah rakyat atas krisis Sri Lanka hari ini diarahkan pada Presiden Gotabaya Rajapaksa dan saudaranya, Mahinda, yang ditunjuknya sebagai perdana menteri sebelum diberhentikan pada Mei.
Presiden Gotabaya Rajapaksa dikritik karena pemotongan pajak besar yang dia terapkan pada 2019. Menteri Keuangan Ali Sabry berujar, negara kehilangan pendapatan pemerintah lebih dari 1,4 miliar dollar AS (Rp 20,94 triliun) selama setahun.
Baca juga:
Ketika kelangkaan mata uang asing Sri Lanka menjadi masalah serius pada awal 2021, pemerintah mencoba mengatasinya dengan melarang impor pupuk kimia. Sebagai gantinya, Sri Lanka meminta para petani menggunakan pupuk organik yang bersumber secara lokal.
Namun, kebijakan ini menyebabkan gagal panen yang meluas. Sri Lanka harus menambah stok makanannya dari luar negeri yang membuat kekurangan mata uang asingnya semakin parah.
Laporan IMF pada Maret 2022 menyebutkan bahwa larangan pupuk (pada November 2021) juga merugikan ekspor teh dan karet yang menyebabkan potensi besar kerugian.
Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengatakan, pemerintah sekarang sangat kekurangan dana sehingga akan mencetak uang untuk membayar gaji karyawan.
Dia memperingatkan, kebijakan ini akan menyebabkan kenaikan harga lebih lanjut dengan inflasi Sri Lanka naik menjadi 40 persen.
Wickremesinghe lebih lanjut mengatakan, Sri Lanka Airlines milik negara dapat diprivatisasi.
Baca juga: Rusia Gagal Bayar Utang Luar Negeri, Bangkrut Juga seperti Sri Lanka?