KOMPAS.com - India teguh pada keputusannya untuk melarang ekspor gandum, meski kebijakan itu dikritik lantaran berpotensi memperburuk suplai pangan global di tengah invasi Rusia ke Ukraina.
"Jika semua pihak memberlakukan pembatasan ekspor, maka itu akan memperburuk krisis," kara Menteri Pangan dan Pertanian Jerman Cem Ozdemir, menanggapi kebijakan India yang diumumkan pada Mei lalu.
Baca juga: Laut Hitam Terancam Jadi Zona Panas Baru dalam Perang Rusia-Ukraina Beberapa Minggu ke Depan
Di Indonesia, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada Mei lalu mengatakan akan mengkaji dampak dari larangan ekspor India tersebut. Sebab, sepertiga kebutuhan dalam negeri Indonesia berasal dari India.
"Mudah-mudahan ini tidak terlalu lama, semoga perdagangan internasional bisa berjalan dengan baik," kata Lutfi, dikutip dari Kontan.
India memang bukan pemasok gandum terbesar ke Indonesia. Tetapi menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor biji gandum tanpa cangkang dari India mencapai sebesar 184,6 juta ton pada 2021 dengan nilai sebesar 60 juta dollar AS (Rp 870 miliar).
Tetapi Menteri Perdagangan India Piyush Goyal mengklaim kebijakan negaranya tidak akan memengaruhi pasar global, sebab India bukan eksportir utama gandum.
Lalu bagaimana larangan ekspor gandum India telah berdampak sejauh ini?
Baca juga: Krisis Pangan Global Semakin Parah, Sekjen PBB Berusaha Buka Keran Gandum Ukraina
India mengumumkan larangan ekspor gandum pada 13 Mei, setelah gelombang panas di negara itu memengaruhi panen gandum dan membuat harganya di dalam negeri melonjak.
Meskipun India bukan eksportir utama gandum, kebijakan itu cukup meresahkan pasar global. Indeks acuan harga gandum Chicago naik hampir 6 persen.
Harga beberapa jenis gandum naik selama beberapa hari dan mencapai puncaknya pada 17-18 Mei.
Padahal harga gandum telah meningkat sepanjang Maret hingga April seperti halnya harga bahan-bahan pangan lainnya, sebagai imbas serangan Rusia ke Ukraina.
Perang membuat jutaan ton gandum tidak bisa diekspor dari Ukraina, yang merupakan salah satu pengekspor gandum terbesar di dunia.
Kelly Goughaey dari kelompok riset data pertanian Gro Intelligence mengatakan bahwa larangan ekspor oleh India menyebabkan kenaikan harga lebih lanjut, karena "pembeli global bergantung pada pasokan dari India, setelah ekspor dari kawasan Laut Hitam anjlok".
Baca juga: Puluhan Miliarder Baru Muncul dari Sektor Pangan Dunia Hanya dalam 24 Bulan, Apa Penyebabnya?
India merupakan produsen gandum terbesar kedua di dunia, namun porsi ekspornya kurang dari 1 persen perdagangan gandum global.
Negara itu menyetok banyak gandum hasil produksinya untuk menyediakan makanan bersubsidi bagi masyarakat miskin.
Namun sebelum mengumumkan larangan itu, India sebetulnya berencana meningkatkan ekspor gandum hingga 10 juta ton pada tahun ini. Target itu jauh meningkat dibanding dengan ekspor gandum India yang berkisar 2 juta ton pada tahun lalu.
India menawarkan pasokan ke pasar baru di Asia dan Afrika. Bahkan setelah memberlakukan larangan itu, sejumlah negara mengaku berkomunikasi dengan India demi menjaga agar ekspor tetap berjalan.
India pun menyatakan sejumlah negara masih akan menerima ekspor gandum, dan mereka akan "terus membantu negara tetangga di saat membutuhkan".
Pasar ekspor gandum utama India adalah Bangladesh, Nepal, Sri Lanka. serta Uni Emirat Arab.
Baca juga: Kekurangan Pangan Memperburuk Kesengsaraan Warga Sri Lanka
Menurut data Observatory of Economic Complexity (OEC), Sri Lanka dan Uni Emirat Arab mengimpor lebih dari 50 persen gandum mereka dari India pada 2019-2020. Nepal bahkan mengimpor 90 persen gandumnya dari India.
Belum jelas apakah negara-negara itu masih akan mendapatkan jatah ekspor gandum dari India berdasarkan kontrak yang telah ada, atau akan mengacu pada kesepakatan baru di masa yang akan datang.
Meski demikian, Mesir mengatakan bahwa pembelian gandum India akan terus berlanjut.
Mesir merupakan salah satu pengimpor gandum terbesar secara global.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah meminta India mempertimbangkan kembali larangan ekspor.
Menurut IMF, larangan itu dapat berdampak signifikan di tengah upaya meringankan krisis gandum terhadap negara-negara yang paling terdampak perang di Ukraina.
Terlepas dari perang di Ukraina, cuaca telah berdampak pada sejumlah negara yang menjadi eksportir gandum.
"Kekeringan, banjir, dan gelombang panas mengancam pertanian di sejumlah produsen utama gandum lainnya (AS, Kanada, dan Perancis)," kata Kelly Goughary dari Gro Intelligence.
Produksi gandum global pada periode 2022-2023 akan mencapai titik terendah dalam empat tahun terakhir.
Stok gandum juga diperkirakan sampai pada titik terendah selama enam tahun terakhir, menurut laporan pemerintah Amerika Serikat.
Gro Intelligence juga menyoroti bahwa harga pupuk global telah meningkat tiga kali lipat dalam setahun terakhir, menyebabkan hasil panen berkurang "signifikan" pada tahun ini.
Bahkan lembaga itu memperkirakan stok gandum global dapat menurun hingga titik terendah sejak krisis keuangan global 2008.
Baca juga: Pemimpin Afrika ke Putin: Satu Benua Ikut Jadi Korban karena Perang di Ukraina
China —sebagai produsen gandum terbesar dunia untuk kebutuhan populasinya yang besar— pun mengatakan bahwa pada musim dingin ini hasil panen mereka akan mencapai titik terburuk dalam sejarah karena curah hujan tinggi sepanjang 2021.
Meski demikian, belum ada kepastian yang menggambarkan situasi panen yang sesungguhnya, apakah betul-betul terpengaruh secara parah atau tidak.
Namun apabila terpengaruh, China mungkin akan mencari pasokan gandum dari pasar global, sehingga akan memperketat suplai yang berujung pada kenaikan harga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.