Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

India Larang Ekspor Gandum, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia dan Global?

Kompas.com - 06/06/2022, 21:53 WIB
BBC INDONESIA,
Bernadette Aderi Puspaningrum

Tim Redaksi

KOMPAS.com - India teguh pada keputusannya untuk melarang ekspor gandum, meski kebijakan itu dikritik lantaran berpotensi memperburuk suplai pangan global di tengah invasi Rusia ke Ukraina.

"Jika semua pihak memberlakukan pembatasan ekspor, maka itu akan memperburuk krisis," kara Menteri Pangan dan Pertanian Jerman Cem Ozdemir, menanggapi kebijakan India yang diumumkan pada Mei lalu.

Baca juga: Laut Hitam Terancam Jadi Zona Panas Baru dalam Perang Rusia-Ukraina Beberapa Minggu ke Depan

Di Indonesia, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada Mei lalu mengatakan akan mengkaji dampak dari larangan ekspor India tersebut. Sebab, sepertiga kebutuhan dalam negeri Indonesia berasal dari India.

"Mudah-mudahan ini tidak terlalu lama, semoga perdagangan internasional bisa berjalan dengan baik," kata Lutfi, dikutip dari Kontan.

India memang bukan pemasok gandum terbesar ke Indonesia. Tetapi menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor biji gandum tanpa cangkang dari India mencapai sebesar 184,6 juta ton pada 2021 dengan nilai sebesar 60 juta dollar AS (Rp 870 miliar).

Tetapi Menteri Perdagangan India Piyush Goyal mengklaim kebijakan negaranya tidak akan memengaruhi pasar global, sebab India bukan eksportir utama gandum.

Lalu bagaimana larangan ekspor gandum India telah berdampak sejauh ini?

Baca juga: Krisis Pangan Global Semakin Parah, Sekjen PBB Berusaha Buka Keran Gandum Ukraina

Harga gandum global naik

India mengumumkan larangan ekspor gandum pada 13 Mei, setelah gelombang panas di negara itu memengaruhi panen gandum dan membuat harganya di dalam negeri melonjak.

Meskipun India bukan eksportir utama gandum, kebijakan itu cukup meresahkan pasar global. Indeks acuan harga gandum Chicago naik hampir 6 persen.

Harga beberapa jenis gandum naik selama beberapa hari dan mencapai puncaknya pada 17-18 Mei.

Padahal harga gandum telah meningkat sepanjang Maret hingga April seperti halnya harga bahan-bahan pangan lainnya, sebagai imbas serangan Rusia ke Ukraina.

Perang membuat jutaan ton gandum tidak bisa diekspor dari Ukraina, yang merupakan salah satu pengekspor gandum terbesar di dunia.

Kelly Goughaey dari kelompok riset data pertanian Gro Intelligence mengatakan bahwa larangan ekspor oleh India menyebabkan kenaikan harga lebih lanjut, karena "pembeli global bergantung pada pasokan dari India, setelah ekspor dari kawasan Laut Hitam anjlok".

Baca juga: Puluhan Miliarder Baru Muncul dari Sektor Pangan Dunia Hanya dalam 24 Bulan, Apa Penyebabnya?

Siapa saja yang terdampak?

India merupakan produsen gandum terbesar kedua di dunia, namun porsi ekspornya kurang dari 1 persen perdagangan gandum global.

Negara itu menyetok banyak gandum hasil produksinya untuk menyediakan makanan bersubsidi bagi masyarakat miskin.

Namun sebelum mengumumkan larangan itu, India sebetulnya berencana meningkatkan ekspor gandum hingga 10 juta ton pada tahun ini. Target itu jauh meningkat dibanding dengan ekspor gandum India yang berkisar 2 juta ton pada tahun lalu.

India menawarkan pasokan ke pasar baru di Asia dan Afrika. Bahkan setelah memberlakukan larangan itu, sejumlah negara mengaku berkomunikasi dengan India demi menjaga agar ekspor tetap berjalan.

India pun menyatakan sejumlah negara masih akan menerima ekspor gandum, dan mereka akan "terus membantu negara tetangga di saat membutuhkan".

Pasar ekspor gandum utama India adalah Bangladesh, Nepal, Sri Lanka. serta Uni Emirat Arab.

Baca juga: Kekurangan Pangan Memperburuk Kesengsaraan Warga Sri Lanka

Menurut data Observatory of Economic Complexity (OEC), Sri Lanka dan Uni Emirat Arab mengimpor lebih dari 50 persen gandum mereka dari India pada 2019-2020. Nepal bahkan mengimpor 90 persen gandumnya dari India.

Belum jelas apakah negara-negara itu masih akan mendapatkan jatah ekspor gandum dari India berdasarkan kontrak yang telah ada, atau akan mengacu pada kesepakatan baru di masa yang akan datang.

Meski demikian, Mesir mengatakan bahwa pembelian gandum India akan terus berlanjut.

Mesir merupakan salah satu pengimpor gandum terbesar secara global.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah meminta India mempertimbangkan kembali larangan ekspor.

Menurut IMF, larangan itu dapat berdampak signifikan di tengah upaya meringankan krisis gandum terhadap negara-negara yang paling terdampak perang di Ukraina.

Baca juga: Rangkuman Hari Ke-100 Serangan Rusia ke Ukraina, Zelensky Yakin Menang, Ketua Uni Afrika Keluhkan Kekurangan Pangan ke Putin

Cuaca buruk dan harga pupuk yang naik

Terlepas dari perang di Ukraina, cuaca telah berdampak pada sejumlah negara yang menjadi eksportir gandum.

"Kekeringan, banjir, dan gelombang panas mengancam pertanian di sejumlah produsen utama gandum lainnya (AS, Kanada, dan Perancis)," kata Kelly Goughary dari Gro Intelligence.

Produksi gandum global pada periode 2022-2023 akan mencapai titik terendah dalam empat tahun terakhir.

Stok gandum juga diperkirakan sampai pada titik terendah selama enam tahun terakhir, menurut laporan pemerintah Amerika Serikat.

Gro Intelligence juga menyoroti bahwa harga pupuk global telah meningkat tiga kali lipat dalam setahun terakhir, menyebabkan hasil panen berkurang "signifikan" pada tahun ini.

Bahkan lembaga itu memperkirakan stok gandum global dapat menurun hingga titik terendah sejak krisis keuangan global 2008.

Baca juga: Pemimpin Afrika ke Putin: Satu Benua Ikut Jadi Korban karena Perang di Ukraina

China —sebagai produsen gandum terbesar dunia untuk kebutuhan populasinya yang besar— pun mengatakan bahwa pada musim dingin ini hasil panen mereka akan mencapai titik terburuk dalam sejarah karena curah hujan tinggi sepanjang 2021.

Meski demikian, belum ada kepastian yang menggambarkan situasi panen yang sesungguhnya, apakah betul-betul terpengaruh secara parah atau tidak.

Namun apabila terpengaruh, China mungkin akan mencari pasokan gandum dari pasar global, sehingga akan memperketat suplai yang berujung pada kenaikan harga.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baku Tembak Meningkat di Rafah, 82 Warga Palestina Terbunuh 24 Jam Terakhir

Baku Tembak Meningkat di Rafah, 82 Warga Palestina Terbunuh 24 Jam Terakhir

Global
Penyebab Gelombang Panas di Filipina dan Negara Asia

Penyebab Gelombang Panas di Filipina dan Negara Asia

Global
Komandan Hezbollah Tewas dalam Serangan Israel di Lebanon

Komandan Hezbollah Tewas dalam Serangan Israel di Lebanon

Global
Mengenal Peristiwa Nakba, Hilangnya Tanah Air Palestina

Mengenal Peristiwa Nakba, Hilangnya Tanah Air Palestina

Internasional
AS Peringatkan Georgia: Jangan Jadi Musuh Barat, Jangan Ikuti Rusia

AS Peringatkan Georgia: Jangan Jadi Musuh Barat, Jangan Ikuti Rusia

Global
Apa Itu UU ‘Agen Asing’ Georgia dan Mengapa Eropa Sangat Khawatir?

Apa Itu UU ‘Agen Asing’ Georgia dan Mengapa Eropa Sangat Khawatir?

Internasional
Anarki Laut China Selatan dan Urgensi Strategi 'Zero Conflict'

Anarki Laut China Selatan dan Urgensi Strategi "Zero Conflict"

Global
Italia Buru 142 Tersangka Anggota Mafia 'Ndrangheta

Italia Buru 142 Tersangka Anggota Mafia 'Ndrangheta

Global
Rangkuman Hari Ke-811 Serangan Rusia ke Ukraina: 280 Warga Sri Lanka Ikut Perang | Menhan Baru Rusia Ungkap Prioritasnya

Rangkuman Hari Ke-811 Serangan Rusia ke Ukraina: 280 Warga Sri Lanka Ikut Perang | Menhan Baru Rusia Ungkap Prioritasnya

Global
AS: Boeing Bisa Dituntut atas Jatuhnya Lion Air dan Ethiopian Airlines

AS: Boeing Bisa Dituntut atas Jatuhnya Lion Air dan Ethiopian Airlines

Global
Mengapa Presiden Putin Ganti Menteri Pertahanannya?

Mengapa Presiden Putin Ganti Menteri Pertahanannya?

Internasional
Konflik Gaza Dominasi Kampanye Pilpres AS, Isu Ukraina Memudar

Konflik Gaza Dominasi Kampanye Pilpres AS, Isu Ukraina Memudar

Global
Taiwan Deteksi 45 Pesawat China Terbang Dekati Wilayahnya, Terbanyak Sejauh Ini

Taiwan Deteksi 45 Pesawat China Terbang Dekati Wilayahnya, Terbanyak Sejauh Ini

Global
AS Siap Kirim Senjata Lagi ke Israel, Kali Ini Senilai Rp 16,1 Triliun

AS Siap Kirim Senjata Lagi ke Israel, Kali Ini Senilai Rp 16,1 Triliun

Global
Dituding Israel Tak Izinkan Bantuan Masuk ke Gaza, Mesir: Kalian Putar Balikkan Fakta 

Dituding Israel Tak Izinkan Bantuan Masuk ke Gaza, Mesir: Kalian Putar Balikkan Fakta 

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com