Betapa tidak, ada begitu banyak soal yang melilit kehidupan kita, dan sebagian besarnya tak membuat kita tumbuh. Tumbuh jauh ke dalam diri.
Sejauh apa pun kau pergi, hidup kan tetap mengajakmu pulang ke haribaan diri sejati. Kerana memang begitulah adanya.
Titik keberangkatan kita adalah, tujuan yang tertinggal di depan, dalam kehampaan nan sempurna.
Kita hadir di sini, sebentar saja. Lantas pergi kembali untuk selamanya. Selaik tamu yang tak boleh duduk lama di hadapan tuan rumah.
Sebegini rupa alam raya diciptakan. Memendam rahasia tak terbahasakan. Sebagaimana kita telah dihadirkan, dalam keabadian semua disemayamkan.
Namun apa lacur, dunia modern selalu membuat kita sibuk mengurusi banyak hal di luar sana. Seolah hal itu merupakan bagian penting dari kehidupan yang sedang kita jalani.
Meski pada kenyataannya, jauh panggang dari api. Dalam beberapa perkara, memang takkan ada sambungannya antara yang terjadi di Ukraina sana, dengan yang terjadi di kampung kami saat ini.
Namun jika menggunakan piranti rasa, niscaya kita bisa merasakan betapa tersiksanya para pengungsi yang menjadi korban adu gengsi dua kepala negara.
Hati semua manusia, sejak zaman dulu kala hingga suatu saat nanti, laksana jendela semesta. Kita dapat melihat dengan saksama ke dalam relungnya, melalui kebeningan hati sendiri.
Apa yang kita rasakan sebagai penderitaan, begitu juga halnya dengan yang dirasakan oleh orang lain.
Kita tak perlu berdebat untuk meyakininya. Jikalau piranti rasa yang digunakan, maka kita semua bersepakat bahwa pahit itu ada, meski nirwujud.
Pahit dan manis, misalnya, memang bisa didefinisikan oleh kata, tapi tak cukup hanya berhenti menjadi buah tutur semata.
Saat kau sedih, apakah itu kesedihan yang sama, dengan yang sebelumnya? Bila kau kecewa, samakah itu dengan kecewa yang lalu?
Kalau kau senang, mungkinkah itu senang yang sama, dengan yang silam? Ketika semua rasa bermunculan silih berganti dalam dirimu, dari mana kedatangannya, dan ke mana pula perginya?
Jadi sebenarnya kita ini cuma wahana pesanggrahan tabularasa, yang datang-pergi sesukanya saja. Tak ubahnya kita yang "menyembul" dari ketiadaan, mengada dalam keniskalaan, kembali lagi meniada—selamanya...
Mari kita telaah apa yang dikatakan sosok bijak bestari dari Tiongkok, Lao Tze (600-531 SM), yang pernah menerangkan kepada para muridnya, bahwa kebaikan dalam perkataan menciptakan keyakinan. Kebaikan dalam pikiran membuahkan keyakinan. Kebaikan dalam perbuatan menciptakan kasih sayang. Meski bila diselami lebih dalam, seorang anak manusia bisa baik dalam satu hal, tapi buruk dalam banyak hal lain. Sebaliknya, ia boleh jadi buruk dalam satu perkara, namun baik dalam lain perkara.
Mengenali kebaikan lalu melaksanakannya, serta mempelajari keburukan untuk menjauhinya, itu benar.
Tapi mengakrabi keburukan untuk dikerjakan, dan mendalami kebaikan lantas meninggalkannya, jelas salah.
Suatu perbuatan baik bisa menjadi kebaikan, bukan karena dilakukan untuk siapa, demi mendapatkan apa, dan karena alasan tertentu—melainkan memang harus dilakukan sesuai kadar ketentuannya.
Islam menggarisbawahi hal ini dengan jelas, bahwa perbuatan kebaikan hanya berbuah kebaikan lain, jikalau ditujukan untuk mendapatkan Ridha Allah yang Maha Mulia.
Dalam ajar pikukuh bagi Manusia Sunda, kita juga bisa menemukan khazanah yang tak jauh berbeda, berbunyi seperti ini: "Nulung kana butuh, nalang kana susah. Ngahudang kanu sare, nepak kanu poho. Nyaangan kanu poekan, nganteur kanu keu'eung (Menolong yang membutuhkan, membantu yang kesusahan. Membangunkan yang lengah, mengingatkan pada yang lupa. Menerangi yang sedang kegelapan, mengantar pada yang merasa gentar)."
Bumi berputar di porosnya. Lalu berevolusi mengelilingi matahari. Maka seluruh penghuninya pun ikut terlibat dalam tarian kosmik itu.
Mau atau tidak, sukarela pun terpaksa. Kita semua sedang mengedari pusat kesadaran semesta.
Tak ada yang lebih baik dan unggul di antara ciptaan-Nya. Sebab manusia paling berpengaruh di muka bumi pun, tetap butuh makan bila diserang lapar.
Pertanyaannya, siapakah oknum yang memunculkan lapar itu? Siapa gerangan yang menitipkan kantuk pada mata?
Siapa pula yang membangunkan tubuh yang tertidur. Lantas siapa yang terlibat dalam setiap mimpi?
Sejatinya, siapakah kau yang mendaku manusia itu? Saban waktu kita mengalami kebaharuan. Tak ada masa lalu. Tiada yang kan datang. Semua hanya ilusi semata—-dalam keabadian.