Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Tragedi Manusia Era Antroposen

Kompas.com - 28/03/2022, 16:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERANG antara Rusia vs Ukraina, tak ubahnya persengketaan akut antara kehendak Tuhan dan keinginan kita yang tiada sudah.

Kita tak pernah benar-benar paham apa yang sesungguhnya Dia kehendaki, dan kita selalu saja mencari pertolongan dari nafsu, angkara, tulah, serta pepesan kosong.

Ketika kehidupan yang damai berubah jadi babak bundas, barulah kita mengangkat tangan pada-Nya. Memohon ampun. Berharap diberi belas kasihan.

Perang dalam peradaban manusia, tentu bukan hal baru. Sudah berulangkali perang dahsyat berkecamuk di muka bumi ini, yang sebagian besarnya didominasi keserakahan.

Sedikit saja di antaranya yang mengusung misi pembebasan dari cengkeraman kelaliman, dan menghindari pertumpahan darah paling maksimal.

Toyotomi Hideyoshi (1536-1598) adalah contoh terbaik dalam topik kita. Pengganti Oda Nobunaga ini, berhasil menyatukan Jepang pada 1590 dengan mendirikan markas besarnya di Osaka—nyaris tanpa perang tanding.

Kendati ia seringkali membawa ribuan pasukannya untuk mendatangi wilayah musuh. Namun dengan berbekal strategi militer yang jenius, dan diplomasi kelas unggulan, ia tampil sebagai pemenang perang.

Ada beberapa tokoh lain yang kemungkinan menganut prinsip serupa dengan Toyotomi. Salahuddin al Ayyubi satu di antaranya.

Ia yang tengah mengepung Yerussalem dalam Perang Salib III, menganjurkan agar Richard si Hati Singa, mundur teratur lantaran kondisi kesehatannya yang memburuk.

Salahuddin mengatakan itu, langsung ke tenda kebesaran Richard, sekaligus membawa tabib terbaiknya untuk mengobati sakit yang diderita oleh calon lawannya, yang terkenal gagah berani itu.

Apa yang sesunguhnya dihasilkan dari peperangan?

Apalagi selain kematian, kehancuran, kesengsaraan, kemiskinan, persaudaraan antarmanusia yang tercabik-cabik, dan yang paling membahayakan adalah, dendam kesumat yang menuntut balas.

Sayangnya, berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh peradaban kita hari ini, tidak cukup kuat untuk meredam nafsu berperang secara brutal.

Manusia memang mudah bangkit dari kehilangan material, namun ia akan dengan sangat mudah ambruk, jika kenyataan yang dihadapinya teramat pahit.

Perang yang masih merajalela pada Zaman Antroposen ini, kian menambah derita manusia yang harus berjibaku dengan krisis lingkungan akut di semua penjuru bumi.

Saban hari pikiran kita dibombardir oleh informasi yang berseliweran tak tentu arah.

Limbah peradaban tak hanya merusak pikiran dan perasaan, namun telah mengendap ke dalam darah, berupa sampah mikroplastik, karena laut yang kotor.

Udara yang kita hirup pun, sarat karbon dan asam yang melampaui ambang batas normal.

Kata Ibn Bajjah (Avempace) yang pernah jadi penduduk bumi seribu tahun silam, "Jika seseorang mencari kesempurnaan lewat kekayaan, maka ia adalah pemimpi. Jika mencari kesempurnaan lewat kesehatan, maka ia adalah budak bagi sifatnya sendiri. Namun jika mencari kesempurnaan lewat rasionalitas dalam menggali nilai-nilai kemanusiaan, maka ia adalah manusia sejati.”

Inilah seharusnya corak Manusia Antroposen yang mestinya mencuat, bukan malah sebaliknya.

Manusia adalah makhluk pencari-penggali makna. Ia sangat mudah jatuh lantas putus asa jika gagal memahami kehidupannya sendiri.

Ia merasa takjub dengan keberadaannya di semesta raya ini, dan teramat ingin mengetahui alasannya.

Ia mudah terguncang oleh bencana alam, kekejaman sesama, dan sadar secara penuh akan kelemahan fisik dan kejiwaannya.

Ia sulit menanggungkan masa depan kepunahannya yang nyaris tak terelakkan. Namun ia juga siap menghadapi segala risiko keberadaan itu—yang tak pernah ia minta sebelum dan sesudah ia dilahirkan.

Sebenarnya, ada dua hal mudah yang bisa menyelamatkan kemanusiaan, tapi sulit diwujudkan.

Satu, menerima ketidaktahuan orang lain tentangmu, dan biarlah mereka mengetahui ketidaktahuanmu.

Dua, berikanlah apa yang ada padamu, dan jangan mengharap apa yang ada pada mereka.

Mungkin ungkapan tersebut terasa sumir bagi banyak orang yang hidup pada zaman modern ini.

Betapa tidak, ada begitu banyak soal yang melilit kehidupan kita, dan sebagian besarnya tak membuat kita tumbuh. Tumbuh jauh ke dalam diri.

Sejauh apa pun kau pergi, hidup kan tetap mengajakmu pulang ke haribaan diri sejati. Kerana memang begitulah adanya.

Titik keberangkatan kita adalah, tujuan yang tertinggal di depan, dalam kehampaan nan sempurna.

Kita hadir di sini, sebentar saja. Lantas pergi kembali untuk selamanya. Selaik tamu yang tak boleh duduk lama di hadapan tuan rumah.

Sebegini rupa alam raya diciptakan. Memendam rahasia tak terbahasakan. Sebagaimana kita telah dihadirkan, dalam keabadian semua disemayamkan.

Namun apa lacur, dunia modern selalu membuat kita sibuk mengurusi banyak hal di luar sana. Seolah hal itu merupakan bagian penting dari kehidupan yang sedang kita jalani.

Meski pada kenyataannya, jauh panggang dari api. Dalam beberapa perkara, memang takkan ada sambungannya antara yang terjadi di Ukraina sana, dengan yang terjadi di kampung kami saat ini.

Namun jika menggunakan piranti rasa, niscaya kita bisa merasakan betapa tersiksanya para pengungsi yang menjadi korban adu gengsi dua kepala negara.

Hati semua manusia, sejak zaman dulu kala hingga suatu saat nanti, laksana jendela semesta. Kita dapat melihat dengan saksama ke dalam relungnya, melalui kebeningan hati sendiri.

Apa yang kita rasakan sebagai penderitaan, begitu juga halnya dengan yang dirasakan oleh orang lain.

Kita tak perlu berdebat untuk meyakininya. Jikalau piranti rasa yang digunakan, maka kita semua bersepakat bahwa pahit itu ada, meski nirwujud.

Pahit dan manis, misalnya, memang bisa didefinisikan oleh kata, tapi tak cukup hanya berhenti menjadi buah tutur semata.

Saat kau sedih, apakah itu kesedihan yang sama, dengan yang sebelumnya? Bila kau kecewa, samakah itu dengan kecewa yang lalu?

Kalau kau senang, mungkinkah itu senang yang sama, dengan yang silam? Ketika semua rasa bermunculan silih berganti dalam dirimu, dari mana kedatangannya, dan ke mana pula perginya?

Jadi sebenarnya kita ini cuma wahana pesanggrahan tabularasa, yang datang-pergi sesukanya saja. Tak ubahnya kita yang "menyembul" dari ketiadaan, mengada dalam keniskalaan, kembali lagi meniada—selamanya...

Mari kita telaah apa yang dikatakan sosok bijak bestari dari Tiongkok, Lao Tze (600-531 SM), yang pernah menerangkan kepada para muridnya, bahwa kebaikan dalam perkataan menciptakan keyakinan. Kebaikan dalam pikiran membuahkan keyakinan. Kebaikan dalam perbuatan menciptakan kasih sayang. Meski bila diselami lebih dalam, seorang anak manusia bisa baik dalam satu hal, tapi buruk dalam banyak hal lain. Sebaliknya, ia boleh jadi buruk dalam satu perkara, namun baik dalam lain perkara.

Mengenali kebaikan lalu melaksanakannya, serta mempelajari keburukan untuk menjauhinya, itu benar.

Tapi mengakrabi keburukan untuk dikerjakan, dan mendalami kebaikan lantas meninggalkannya, jelas salah.

Suatu perbuatan baik bisa menjadi kebaikan, bukan karena dilakukan untuk siapa, demi mendapatkan apa, dan karena alasan tertentu—melainkan memang harus dilakukan sesuai kadar ketentuannya.

Islam menggarisbawahi hal ini dengan jelas, bahwa perbuatan kebaikan hanya berbuah kebaikan lain, jikalau ditujukan untuk mendapatkan Ridha Allah yang Maha Mulia.

Dalam ajar pikukuh bagi Manusia Sunda, kita juga bisa menemukan khazanah yang tak jauh berbeda, berbunyi seperti ini: "Nulung kana butuh, nalang kana susah. Ngahudang kanu sare, nepak kanu poho. Nyaangan kanu poekan, nganteur kanu keu'eung (Menolong yang membutuhkan, membantu yang kesusahan. Membangunkan yang lengah, mengingatkan pada yang lupa. Menerangi yang sedang kegelapan, mengantar pada yang merasa gentar)."

Kesadaran Ilahiyah

Seorang ibu di Kyiv, ibu kota Ukraina, diselamatkan karena apartemennya digempur.REUTERS via BBC INDONESIA Seorang ibu di Kyiv, ibu kota Ukraina, diselamatkan karena apartemennya digempur.

Bumi berputar di porosnya. Lalu berevolusi mengelilingi matahari. Maka seluruh penghuninya pun ikut terlibat dalam tarian kosmik itu.

Mau atau tidak, sukarela pun terpaksa. Kita semua sedang mengedari pusat kesadaran semesta.

Tak ada yang lebih baik dan unggul di antara ciptaan-Nya. Sebab manusia paling berpengaruh di muka bumi pun, tetap butuh makan bila diserang lapar.

Pertanyaannya, siapakah oknum yang memunculkan lapar itu? Siapa gerangan yang menitipkan kantuk pada mata?

Siapa pula yang membangunkan tubuh yang tertidur. Lantas siapa yang terlibat dalam setiap mimpi?

Sejatinya, siapakah kau yang mendaku manusia itu? Saban waktu kita mengalami kebaharuan. Tak ada masa lalu. Tiada yang kan datang. Semua hanya ilusi semata—-dalam keabadian.

Saat masih mengambang di alam buaian (maskumambang), kita tak tahu apa-apa, tak ada apa-apa, apa-apa tidak ada, bahkan kita tak tahu sedang mengada, yang ada hanya sunyaruri. Inilah yang dinamakan Kesadaran Ilahiyah. Puncak dari yang tertinggi.

Mengatasi segala sesuatu, dengan memahami segala sesuatu sebagai bagian tak terpisah dari diri sendiri.

Karena kita semua di semesta ini, adalah partikel Tuhan (higgs boson).

Secara hukum kosmik, percaya sembarang percaya itu adalah akar dari bertumpuknya ilusi dalam hidup, dan itulah penyebab dosa yang nyata.

Sebaliknya, sikap jujur dalam pencarian kebenaran, yang diiringi keberanian menguji segala hal demi menyingkap kesejatian, justru merupakan kebajikan yang nyata dan merupakan pangkal keselamatan.

Menjalani hidup sesuai kebenaran yang dirumuskan berdasarkan pengalaman otentik diri pribadi, jelas bukan tindakan berdosa.

Pada awal hingga akhirnya, kita memang takkan pernah tahu apa pun—kecuali hanya menduga belaka dengan segala peng(alam)an diri purbani yang kesepian digerus waktu.

Pengetahuan yang kita miliki, tak cukup memadai untuk mengerti bagaimana kehidupan ini tergelar seperti sekarang.

Tapi kita punya cukup modal untuk menyadari kehadiran di atas panggung raya kehidupan.

Definisi hidup adalah, kita benar-benar dipenjara oleh takdir, tanpa tahu apa-apa, sejak awal hingga akhirnya.

Kita bahkan tak bisa menolak diplot oleh-Nya lahir dari rahim ibu yang mana, menjadi siapa, dan bagaimana juntrungannya kemudian.

Semua itu tetap jadi misteri dalam keagungan penciptaan yang tak terhingga. Jadi dan terus menjadi.

Ada begitu banyak air di sungai dan samudera, namun kita hanya melihat permukaannya saja.

Ada sekian kepadatan udara dalam ruang tak tepermanai, tapi kita hanya bisa mengenali itu dari tarikan-hembusan nafas.

Lantas ada tujuh milyar manusia yang tinggal di bumi, dan kita perlu mengenali satu saja di antaranya: diri sendiri-dengan segala guratan takdir-Nya, yang misterius, mencengangkan, mengagumkan.

Diri yang sejati bukan nama. Dia bisa dimengerti tapi bukan pengertian. Tak bisa diindra tapi mengindra.

Musykil diketahui namun bisa mengetahui. Nirkasat namun tampak. Tiada bisa dirasa, tapi merasakan segala kejadian. Demikianlah...

Keindahan hidup, sesungguhnya terejawantah dalam setiap rincian momen yang saling menyusun jadi kejadian, peristiwa, dan sejarah. Setiap kita saling mengaitkan diri dengan irisan ruang-waktu yang misterius.

Dari situlah kenangan mengada. Buah manis keadaan yang nyata kita sadari kehadirannya di dalam diri. Kimia cinta itulah yang lazim kita sebut: bahagia.

Sebagai penentu kelangsungan hidup global sejak era Holosen berakhir selama 11.700 tahun, kita bertanggungjawab penuh atas kelangsungan spesies manusia dan makhluk lain di bumi ini.

Jika kita tak segera mengubah pola pikir, tindak-tanduk, laku lampah, tingkah polah, dalam hidup keseharian, zaman yang kita lintasi ini hanya akan mengantarkan kita pada kepunahan massal yang menyedihkan.

Homo Sapiens, segera menyusul saudara tuanya, Neandhertal, yang telah lengser dari panggung sejarah.

Maka hiduplah selaik pantai berangin semilir. Setenang gunung bertapa memeram waktu. Serupa tanah yang terus menumbuhkan cinta.

Setelah Kehadiran-Nya kausadari, barulah setelah itu, akal-pikiranmu menjelma budi dharma. Hati-perasaan mengejawantah kebajikan. Jiwa bersama Ruh-Nya, seiring jalan.

Sangkan paraning dumadhi. Semoga damailah diri setiap insan. Damai pula bumi pertiwi ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com