Dalam pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia tidak menginginkan menjadi objek persaingan dari negara-negara besar yang bertarung karena perbedaan ideologi atau perbedaan kepentingan lainnya.
Karena itu, Indonesia mendorong agar perdamaian di Ukraina segera dipulihkan. Dan, resolusi MU PBB adalah salah upaya untuk memulihkan perdamaian, untuk mencari solusi damai melalui dialog dan diplomasi.
Sikap Indonesia ini menunjukkan bahwa keputusan untuk mendukung resolusi bukan karena “membebek” atau “mengekor” atau “mengikuti” negara lain, melainkan karena berpegang teguh pada prinsip seperti yang dahulu dikatakan Bung Hatta.
Padahal, hubungan keamanan antara Rusia dan Indonesia, misalnya, meningkat terus menerus sejak Perang Dingin.
Setelah Amerika Serikat memberlakukan embargo senjata terhadap negara itu pada tahun 1991, Rusia mengambil kesempatan untuk membangun kembali hubungan keamanannya dengan Indonesia, awalnya melalui penjualan senjata dan kemudian dengan memperluas hubungan ke daerah lain (Dmitry Gorenburg and Paul Schwartz, 2019).
Bahkan, pada tahun 2015, Moskwa dan Jakarta menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan baru, yang mencakup “transfer teknologi; produksi bersama; pendidikan, pelatihan, dan pertukaran perwira mahasiswa, serta pembentukan dinas pemeliharaan alat utama sistem pertahanan di Indonesia.”
Angkatan Udara Indonesia membeli pesawat Sukhoi Rusia dalam jumlah besar sejak tahun 2003, ketika menerima empat pesawat Su-27/Su-30 pertamanya (masing-masing dua).
Enam pesawat Sukhoi Su-30MK tambahan dibeli pada tahun 2009, dan enam lainnya pada tahun 2012.
Ini adalah sistem generasi keempat yang mumpuni, dilengkapi dengan sistem udara-ke-udara canggih dan, dalam kasus Su-30, sistem rudal udara-ke-permukaan.
Semua itu tidak menghambat tekad Indonesia untuk “…ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi…”
Sebab, perdamaian tidak dapat diraih jika terjadi perang. Dengan berpartisipasi dalam menjaga perdamaian, Indonesia memprioritaskan penyelamatan jiwa manusia dan jalan aman bagi mereka yang terdampak konflik.
Sikap Indonesia inilah, yang membedakan, misalnya, dengan India dan juga China. Kedua negara besar memilih abstain!
Sangat menarik bahwa China dan India masuk dalam satu barisan dari 35 negara yang abstain.
Bahkan, empat negara di kawasan Asia Selatan—Bangladesh, India, Pakistan, dan Sri Lanka—semuanya abstain.
Dengan memilih abstain, China sebagai salah satu pemegang hak veto di DK PBB, misalnya, menghindari mengambil sikap yang jelas terhadap tindakan militer oleh mitra diplomatik dekatnya.
Meskipun Beijing sering melakukan advokasi untuk menegakkan hak kedaulatan yang dijamin oleh piagam PBB.
India “konsisten” memilih sikap abstain dalam resolusi berkait dengan masalah Ukraina. Sikap abstain India dimulai sejak Dewan HAM PBB (UNHCR) voting untuk segera membentuk komisi internasional independen untuk menyelediki akibat agresi Rusia.
Di DK PBB pun, saat voting untuk membahas masalah Ukraina, India memilih abstain. India abstain dalam voting dua resolusi tentang Ukraina di DK PBB dan satu kali abstain dalam voting di MU PBB.
Secara resmi New Delhi menjelaskan sikapnya dengan mengatakan, bukan resolusi yang bisa menyelesaikan krisis di Ukraina, tetapi dialog.
Dialog adalah satu-satunya jawaban untuk mengatasi perbedaan dan sengketa. Maka India memilih menggunakan kata “restraint,” (pengendalian) “de-escalation,” (de-eskalasi) dan “diplomatic dialogue” (dialog diplomatik).
Yang menarik, India menegaskan bahwa tatanan global berlabuh pada hukum internasional, Piagam PBB dan menghormati integritas teritorial dan kedaulatan semua negara.