SETELAH Rusia menginvasi Crimea, Kanselir Jerman Angela Merkel berkomentar bahwa Putin adalah pemimpin abad ke 19 yang hidup dan bekuasa di abad ke 21.
Terkait bagaimana Putin memandang negara-negara bekas anggota Uni Soviet, Angela Merkel memang tidak salah. Misalnya soal Ukraina.
Di mata Putin, Ukraina adalah bagian dari Rusia dan semestinya tetap sebagai bagian dari Rusia hingga hari ini.
Memang, sejak Era Tsar hingga bubarnya Uni Soviet, Ukraina menjadi bagian penting dalam sejarah Rusia.
Namun ketika Uni Soviet bubar tahun 1991, di bawah tekanan Boris Yeltsin, yang secara heroik berhasil menyelamatkan Mikhail Gorbachev dari kudeta, Ukraina dan Belarusia disepakati untuk berdiri sendiri.
Di era kepemimpinan Boris Yeltsin, Rusia tetap berusaha memainkan peran minimalnya di Kyiv, meskipun tidak selalu dominan.
Bukan berarti Boris Yeltsin kurang "aware" dengan ekspansi NATO dan EU. Yeltsin justru berang melihat bekas negara-negara anggota Uni Soviet satu per satu menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tersebut.
Tak dipungkiri, bergabungnya negara-negara Eropa Timur ke dalam NATO, diikuti oleh tiga negara Baltik setelah itu, menjadi salah satu sebab mengapa Yeltsin bersedia melepas kekuasaannya kepada Vladimir Putin.
Hal itu diasumsikan memiliki kans untuk menaikkan kembali bendera Rusia di kancah internasional, selain faktor Putin yang sebelumnya telah menyelamatkan keluarga Yeltsin dari tuntutan jaksa agung Rusia atas dugaan kasus korupsi.
Setelah Putin berkuasa, alarm mulai berbunyi di Kremlin saat Orange Revolution di Ukraina pada tahun 2004 yang kemudian mendudukkan Viktor Andriyovych Yushchenko sebagai presiden di pemilihan tahun 2005 dengan mengalahkan Viktor Yanukovych, calon
yang didukung penuh oleh Kremlin.
Yushchenko cenderung sangat pro Barat. Ambisinya adalah memperbaiki performa ekonomi Ukraina dengan membawanya berkiblat ke belahan Eropa (Uni Eropa), termasuk mendorong Ukraina untuk segera menjadi anggota baru pakta pertahanan NATO.
Alarm Kremlin juga berdering lagi tahun 2008 ketika Bush Yunior memberi sinyal jelas bahwa Ukraina dan Georgia berpeluang menjadi anggota NATO.
Bagi Putin, ekspansi NATO sudah lebih dari cukup dan tak bisa dibiarkan terus merangsek ke halaman belakang Rusia seperti di era kekuasaan Yeltsin.
Karena itu, Putin langsung memberikan reaksi keras dengan menyatakan dukungan pada kelompok pemberontak Ossetia dan Abkhazia Selatan. Strategi destabilisasi dimulai untuk melawan ekspansi Barat.
Ketika Tbilisi mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan Abkhazia Selatan, Moskow tanpa basa-basi mengirim pasukannya untuk menduduki Ibu Kota negara Georgia itu, lalu merangsek sekitar 30 km jelang ibu kota Georgia.