Tapi baru 15 menit, dia sudah dipersilakan untuk menyelesaikan pelajaran. Jadi dia berpikir, mungkin mereka tidak suka. Saat wawancara, hanya dua atau tiga pertanyaan yang diajukan relevan dengan urusan mengajar.
“Pertanyaan lainnya: Sudah keliling Konstanz belum? Sudah ke pasar natal belum? Ini orang kalau sudah tidak berminat, ya sudah, suruh saja keluar. Supaya saya bisa jalan-jalan di pasar natal!“ Begitu pikirnya ketika itu.
Tapi ternyata dua hari kemudian dia dihubungi. Tepatnya pagi itu dia dibangunkan oleh dering telepon dari Konstanz. Ternyata setelah menit kesepuluh mengajar, para penguji sepakat bahwa dia terpilih untuk mengisi lowongan itu.
“Anda dapat pekerjaan ini. Anda bersedia?“ Berhubung masih setengah tidur, dia tidak sempat berpikir, jadi setuju saja. Sehari kemudian surat penerimaan sampai. “Wah ternyata benar. Kemarin itu bukan mimpi.“
Begitu kata Andi Nurhaina ketika mengingat lagi pengalamannya. Jadi dia beralih dari mengajar bahasa Jeman menjadi pengajar Bahasa Indonesia. Itu perubahan dan tantangan besar bagi Andi Nurhaina.
Baca juga: Cerita WNI Kuliah S2 Teknik Fisika di Jerman: Pintar Aja Enggak Cukup
Ketika ditanya, lebih susah mana, mengajar bahasa Jerman atau Bahasa Indonesia, dia mengatakan, seharusnya bahasa Jerman. Tapi kenyataannya tidak demikian, melainkan sebaliknya.
“Karena kita belajar bahasa Jerman dari nol sampai ke tingkat lanjut,“ papar Andi Nurhaina dan menambahkan, “Jadi kita bisa menempatkan diri di posisi orang yang baru mulai belajar.“
Hal lain yang membuat mengajar bahasa Jerman mudah adalah, sumber untuk mengajar sangat banyak dan sudah mutakhir. Jumlah buku yang bisa dipakai juga puluhan. Sedangkan bahan untuk mengajar Bahasa Indonesia bagi penutur asing tidak banyak.
Namun demikian, Andi Nurhaina melihat perkembangan pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) yang cukup pesat pada 10 tahun terakhir.
Di Jerman sendiri telah terbentuk APPBIPA (Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA) cabang Jerman yang berusaha mengakomodasi kebutuhan para pengajar BIPA di Jerman dan di negara berbahasa Jerman lainnya, yaitu Swiss dan Austria.
Di samping itu Badan Bahasa juga memfasilitasi dengan pengadaan bahan ajar daring yang dapat diakses di mana-mana.
Selain aspek bahan ajar tentu ada tantangan lain. “Mengajar mahasiswa Indonesia dengan mengajar mahasiswa Jerman tentu sangat berbeda,“ tutur Andi Nurhaina.
Mahasiswa Indonesia bisa dibilang penurut. “Disuruh apa saja mau,“ katanya. Tapi menghadapi mahasiswa Jerman berbeda tantangannya.
“Mereka kritis. Banyak bertanya. Kalau kita terlalu sensitif mungkin akan merasa, ngeri-ngeri sedap juga mengajar orang Jerman.“ Mereka sering bertanya, mengapa begini, mengapa begitu, kata Andi Nurhaina lebih jauh lagi.
Baca juga: Kisah Andra, WNI Bertato dan Bertindik yang Jadi Guru TK di Jerman
Selain itu, mahasiswa Jerman sering menanyakan kaidah. “Tapi saya tidak mau langsung memberikan kaidah. Karena kita belajar bahasa untuk berkomunikasi. Kalau sudah punya cukup banyak kosakata, baru kita lihat kaidahnya.“ Yaitu untuk menghindari supaya mereka tidak mencoba menggunakan kaidah pada tempat yang salah, demikian tutur Andi Nurhaina lebih lanjut.
Dalam mengajarkan bahasa Indonesia, dia juga berusaha mengajak mahasiswa Jerman untuk bernyanyi. Dalam hal itu, tentu mahasiswa Indonesia juga lebih antusias, kata Andi Nurhaina. Tapi dia tidak peduli, dan tetap terus berusaha memotivasi mahasiswanya untuk bernyanyi.
“Saya senang bernyanyi, dan saya juga ingin agar mereka merasakan kesenangan saat bernyanyi.“ Untungnya sering berhasil! Andi Nurhaina bertutur bagaimana dia merasa sangat senang, jika mahasiswanya yang awalnya sangat serius akhirnya bersedia bernyanyi.
Akibat pandemi, tentu saja sekarang proses belajar-mengajar berjalan online dan ini adalah tantangan besar, terutama dari segi komunikasi dengan para mahasiswa. Selain itu, komunikasi antar mahasiswa juga mengalami kendala besar.
“Saya kasihan sekali dengan para mahasiswa. Terutama dengan yang memulai studi di masa pandemi. Mereka tidak pernah melihat kampus dari dalam.”