Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Sabu dan Heroin Jadi Solusi Kelaparan di Afghanistan

Kompas.com - 15/12/2021, 16:15 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KABUL, KOMPAS.com - Tersimpan dalam kantong plastik di sebuah ruangan kecil di pedesaan Afghanistan selatan, setumpuk kristal putih tampak berkilau.

Benda yang menyerupai kristal putih itu adalah metamfetamin alias sabu "kualitas ekspor". Zat yang tergolong narkotika itu akan diperdagangkan ke berbagai negara, termasuk yang terbentang jauh dari Afghanistan seperti Australia.

Sesampainya di Australia, sabu seberat 100 kilogram akan dihargai dengan nominal sebesar 2,6 juta dollar AS (sekitar Rp 37,2 miliar).

Baca juga: Opium Produksi Taliban, Seberapa Besar dan Bagaimana Jejaknya?

Di luar tempat penyimpanan itu, asap terlihat mengepul dari dua tong. Sabu tengah diracik dalam wadah tersebut.

Narkotika adalah bisnis besar di Afghanistan. Di bawah kekuasaan Taliban, perdagangan narkotika berkembang pesat.

Negara ini sejak lama dikaitkan dengan heroin, tapi dalam beberapa tahun terakhir, Afghanistan juga dikenal sebagai produsen besar sabu--obat adiktif berbahaya lainnya.

Seorang sumber yang terlibat dalam perdagangan narkotika di Afghanistan berkata, sekitar 3.000 kilogram sabu sekarang diproduksi di lebih dari 500 "pabrik darurat" setiap hari.

Tempat produksi itu berada di sebuah distrik terpencil di barat daya Afghanistan. Distrik itu dikenal sebagai wilayah penghasil narkotika.

Baca juga: Menelusuri Sumber Dana Taliban: Dari Tambang sampai Opium

Munculnya produksi sabu dipicu temuan bahwa ephedra dapat digunakan untuk membuat salah satu bahan utama obat ini, yaitu efedrin.

Ephedra sendiri merupakan ramuan liar yang dikenal warga lokal sebagai oman.

Sebuah tempat jual-beli yang terletak jauh di dalam gurun berfungsi sebagai pusat perdagangan sabu Afghanistan.

Sumber itu berkata, terdapat gundukan besar sabu yang dijual di pasar itu. Dia tidak pernah melihat penjualan dalam skala sebesar itu sebelumnya.

Taliban sebelum ini diketahui mengenakan pajak atas ephedra. Namun baru-baru ini, mereka melarang orang-orang menanamnya. Regulasi itu tidak dipublikasikan secara luas.

Baca juga: Perang Opium yang Memaksa China Memasuki Era Modern

Taliban masih mengizinkan pabrik sabu beroperasi.BBC INDONESIA Taliban masih mengizinkan pabrik sabu beroperasi.

Meski begitu, saat ini Taliban masih mengizinkan pabrik sabu untuk beroperasi. Seorang warga Afghanistan yang terlibat dalam perdagangan narkotik ini berkata kepada BBC dengan senyum lebar bahwa larangan ephedra hanya menyebabkan harga grosir sabu berlipat ganda dalam semalam.

Pada saat yang sama, kata dia, masih terdapat gudang yang penuh dengan persediaan bahan baku untuk produksi sabu pada masa depan.

David Mansfield adalah pakar perdagangan narkotik Afghanistan terkemuka. Dia melacak pertumbuhan produksi sabu dengan melacak citra satelit untuk mengidentifikasi pabrik yang terlibat dalam proses tersebut.

Mansfield mengatakan, larangan ephedra muncul pada saat panen produksi sabu telah dikumpulkan.

"Jadi dampak sebenarnya tidak akan terasa sampai Juli tahun depan pada jadwal panen ephedra berikutnya," ujar Mansfield.

Baca juga: Taliban: Pemerintahan Afghanistan yang Lemah Tak Akan Menguntungkan Siapa Pun

Mansfield yakin jumlah sabu yang diproduksi di Afghanistan bisa melebihi pembuatan heroin di negara itu.

Hasil panen ladang opium Afganistan diperkirakan memasok 80 persen kebutuhan dunia. Hasil dari ladang di negara itu tampaknya juga sedang melonjak.

Dalam beberapa pekan terakhir, para petani di seluruh Afghanistan sibuk mempersiapkan ladang mereka dan menanam benih opium.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Dokter Palestina Meninggal Usai Ditahan 4 Bulan di Penjara Israel

Dokter Palestina Meninggal Usai Ditahan 4 Bulan di Penjara Israel

Global
88 Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat Desak Biden Pertimbangkan Setop Jual Senjata ke Israel

88 Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat Desak Biden Pertimbangkan Setop Jual Senjata ke Israel

Global
Banjir Brasil, 39 Tewas dan 74 Orang Hilang

Banjir Brasil, 39 Tewas dan 74 Orang Hilang

Global
Turkiye Setop Perdagangan dengan Israel sampai Gencatan Senjata Permanen di Gaza

Turkiye Setop Perdagangan dengan Israel sampai Gencatan Senjata Permanen di Gaza

Global
Dirjen WHO: Rafah Diserang, Pertumpahan Darah Terjadi Lagi

Dirjen WHO: Rafah Diserang, Pertumpahan Darah Terjadi Lagi

Global
Cerita Dokter AS yang Tak Bisa Lupakan Kengerian di Gaza

Cerita Dokter AS yang Tak Bisa Lupakan Kengerian di Gaza

Global
Asal-usul Yakuza dan Bagaimana Nasibnya Kini?

Asal-usul Yakuza dan Bagaimana Nasibnya Kini?

Global
Hujan Lebat di Brasil Selatan Berakibat 39 Orang Tewas dan 68 Orang Masih Hilang

Hujan Lebat di Brasil Selatan Berakibat 39 Orang Tewas dan 68 Orang Masih Hilang

Global
Rangkuman Hari Ke-800 Serangan Rusia ke Ukraina: '150.000 Tentara Rusia Tewas' | Kremlin Kecam Komentar Macron

Rangkuman Hari Ke-800 Serangan Rusia ke Ukraina: "150.000 Tentara Rusia Tewas" | Kremlin Kecam Komentar Macron

Global
Hamas Sebut Delegasinya Akan ke Kairo Sabtu Ini untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Hamas Sebut Delegasinya Akan ke Kairo Sabtu Ini untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Global
[POPULER GLOBAL] Pelapor Kasus Boeing Tewas | Pria India Nikahi Ibu Mertua 

[POPULER GLOBAL] Pelapor Kasus Boeing Tewas | Pria India Nikahi Ibu Mertua 

Global
Saat Warga Swiss Kian Antusias Belajar Bahasa Indonesia...

Saat Warga Swiss Kian Antusias Belajar Bahasa Indonesia...

Global
Lulus Sarjana Keuangan dan Dapat Penghargaan, Zuraini Tak Malu Jadi Pencuci Piring di Tempat Makan

Lulus Sarjana Keuangan dan Dapat Penghargaan, Zuraini Tak Malu Jadi Pencuci Piring di Tempat Makan

Global
Bendungan di Filipina Mengering, Reruntuhan Kota Berusia 300 Tahun 'Menampakkan Diri'

Bendungan di Filipina Mengering, Reruntuhan Kota Berusia 300 Tahun "Menampakkan Diri"

Global
Pria India Ini Jatuh Cinta kepada Ibu Mertuanya, Tak Disangka Ayah Mertuanya Beri Restu Menikah

Pria India Ini Jatuh Cinta kepada Ibu Mertuanya, Tak Disangka Ayah Mertuanya Beri Restu Menikah

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com