Diplomasi diyakini telah dipraktikkan dalam peradaban manusia kuno melalui prasasti yang ditemukan oleh sejarawan.
Pengetahuan terbesar tentang diplomasi awal berasal dari budaya Timur Tengah, Mediterania, China, dan India.
Sejarawan menemukan catatan perjanjian antara negara-kota Mesopotamia berasal dari sekitar 2850 SM, yang artinya berabad-abad lalu peradaban di sana telah mempraktikan diplomasi.
Sementara itu, bahasa Akkadia (Babilonia) menjadi bahasa diplomatik pertama, yang berfungsi sebagai bahasa internasional Timur Tengah sampai digantikan oleh bahasa Aram.
Bahasa Akkadia adalah bahasa Semit yang digunakan di Mesopotamia kuno, khususnya oleh bangsa Asyur dan Babilonia.
Bahasa Aram adalah bahasa Semitik dengan sejarah selama 3.000 tahun, digunakan oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang.
Bahasa Aram ini pernah menjadi bahasa pemerintahan berbagai kekaisaran serta bahasa untuk kegiatan upacara kegamaan.
Sebuah korespondensi diplomatik dari abad ke-14 SM antara pengadilan Mesir dan seorang raja Het (Hittite) ditemukan pada tablet berhuruf paku dalam bahasa Akkadia.
Perjanjian tertua yang teks lengkapnya bertahan dari sekitar 1280 SM, adalah hasil diplomasi antara Ramses II dari Mesir dan para pemimpin Het.
Ada bukti signifikan tentang diplomasi bangsa Asyur pada abad ke-7, dan terutama dari dalam Alkitab, tentang hubungan suku-suku Yahudi dan dengan bangsa lain.
Baca juga: Kim Jong Un Tawarkan Perdamaian dengan Korea Selatan, tetapi Sindir Tipuan Diplomasi AS
Catatan pertama diplomasi Cina dan India berasal dari milenium pertama SM.
Zhuangzi adalah tokoh China yang dianggap sebagai diplomat dari awal abad ke-3 SM.
Tradisi kesepakatan diplomatik di China kuno berlanjut antara negara-negara kerajaan yang bertikai yang diakhiri dengan penyatuan negara di bawah kaisar Qin Shi Huang pada 221 SM, dan konsolidasi persatuan di bawah dinasti Han pada 206 SM.
India kuno juga memiliki sejarah panjang tentang tradisi diplomasi yang sama canggihnya dengan China, tetapi sangat berbeda.
Tradisi diplomasi India kuno disistematisasikan dan dijelaskan dalam Arthashastra, salah satu buku tertua dalam sastra Sanskerta tentang ilmu politik dan pemerintahan yang ditulis oleh Kautilya, seorang negarawan yang cerdas.
Sistem negara yang sangat realistis yang dikodifikasikan dalam Arthashastra menyebutkan bahwa pada zaman itu India kuno memiliki 3 kategori diplomat.
Pertama, penguasa penuh, utusan yang dipercayakan dengan satu masalah atau misi, dan merupakan utusan kerajaan.
Kedua, sejenis agen konsuler (mirip dengan proxenos Yunani), yang ditugaskan untuk mengelola hubungan dan transaksi komersial.
Ketiga, dua jenis mata-mata. Mereka yang bertanggung jawab atas pengumpulan informasi, dan mereka yang dipercayakan dengan subversi serta bentuk-bentuk tindakan rahasia lainnya.
Arthashastra juga berisi aturan terperinci tentang kekebalan dan hak istimewa diplomatik, pelantikan dan penghentian misi diplomatik, serta pemilihan dan tugas dari seorang diplomat/utusan.
Arthashastra lebih lanjut menyebutkan bahwa tidak ada utusan yang boleh dilukai, dan, bahkan jika mereka menyampaikan pesan “tidak menyenangkan”, mereka tidak boleh ditahan.
India memiliki hubungan politik yang sangat sedikit dalam urusan wilayah lain di dunia sampai Alexander Agung menaklukkan wilayah utaranya pada 326 SM.
Kekaisaran Maurya mengantarkan era baru dalam sejarah diplomasi India yang ditandai dengan upaya untuk memperluas doktrin agama India (Buddhisme) dan pengaruh politik di luar Asia Selatan.
Peradaban Yunani kuno mengilhami lahirnya diplomasi modern di Eropa pasca-Renaisans dan yang menyebabkan munculnya sistem hubungan internasional dunia saat ini.
Bukti awal diplomasi Yunani dapat ditemukan dalam sastranya, terutama dalam Homer‘s Iliad and Odyssey.