IRAN punya pemimpin baru. Ebrahim Raisi, tokoh kelompok konservatif, memenangi pemilihan presiden yang diumumkan pada 19 Juni lalu. Raisi menggantikan Hassan Rouhani dari kelompok moderat reformis.
Baca juga: Resmi, Ebrahim Raisi Jadi Presiden Terpilih Iran
Pergantian kepemimpinan nasional dari kelompok moderat ke konservatif, dan sebaliknya, merupakan peristiwa politik biasa di Iran.
Tapi menjadi tidak biasa manakala perpindahan tampuk kepemimpinan itu terjadi pada saat Iran sedang menghadapi agenda politik internasional: perundingan nuklir dengan Amerika Serikat (AS).
Setelah AS meninggalkan perjanjian nuklir dengan Iran, JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), pada Mei 2018, perundingan baru dimulai lagi pada April lalu.
Dengan naiknya Raisi - dikenal sebagai politisi dari kelompok konservatif garis keras - sebagai pemimpin Iran, banyak pihak berspekulasi atas masa depan perundingan nuklir Iran.
Baca juga: Alasan Presiden Terpilih Iran Ebrahim Raisi Disebut Sang Jagal oleh Barat
Bagaimana membaca prospek perundingan itu di era Raisi?
Silang sengkarut perundingan nuklir Iran dapat diteropong dari 3 tataran observasi. Pertama, dilihat dari proses negosiasinya, perundingan nuklir Iran sudah menunjukkan adanya ketidaklaziman.
Delegasi Iran dan AS tidak bertemu langsung. AS diwakili oleh diplomat senior Uni Eropa. Agak muskil membayangkan tercapai kesepakatan dengan mulus apabila kedua pihak yang paling berkepentingan tidak sudi bertemu untuk berunding.
Sikap Iran ini bisa dimengerti. Sebab, bagi Iran, dengan keluarnya AS dari kesepakatan JCPOA pada 2018, AS bukan lagi bagian dari perjanjian itu.
Jika ingin merundingkan kembali isi JCPOA, buat apa berunding dengan pihak yang sudah tidak lagi mematuhi perjanjian? Di sini letak absurditas proses perundingan nuklir Iran.
Jamaknya dalam diplomasi, dialog dan perundingan bisa terjadi jika ada komunikasi. Bagaimana bisa berunding dengan intens jika kedua pihak tidak berkomunikasi langsung?
Tidak adanya dialog langsung antara delegasi AS dan Iran dalam perundingan menunjukkan masih adanya rasa saling tidak percaya (mutual distrust).
Kedua, dari aspek subtansi, perundingan diperkirakan membentur tembok berlapis kepentingan kedua pihak.
Perundingan di Wina yang masih berlangsung hingga kini sebenarnya bertujuan untuk “menghidupkan kembali“ butir-butir kesepakatan lama dalam JCPOA.
Inti kesepakatan: pembatasan pengembangan nuklir Iran dan pencabutan sanksi ekonomi atas Iran. AS dan sekutu Baratnya berjanji akan mencabut sanksi ekonomi jika Iran membatasi kemampuan nuklirnya.