HONIARA, KOMPAS.com - Kerusuhan di Kepulauan Solomon menyebabkan gedung-gedung terbakar di ibu kota Honiara pada Kamis (25/11/2021).
Ini adalah gejolak terbaru dalam dua dekade ketegangan di negara Pasifik yang sering menjerat bisnis China itu.
Penyebab kerusuhan di Kepulauan Solomon adalah campuran kompleks dari pengangguran kaum muda, kemarahan atas kontrol anti-virus corona, persaingan historis antar-pulau, dan perselisihan yang membara tentang apakah Kepulauan Solomon seharusnya mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke China.
Baca juga: Kerusuhan di Kepulauan Solomon, Dipicu Pengalihan Hubungan Diplomatik dari Taiwan ke China
Berikut adalah penyebab dan kronologi kerusuhan di Kepulauan Solomon, yang dirangkum dari AFP.
Ketegangan antar-pulau dan kekerasan politik di Kepulauan Solomon sudah terjadi sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1978.
Asal-usul krisis terbaru berawal dari periode kerusuhan sipil 1998-2003.
Militan Guadalcanal melancarkan serangan terhadap pemukim pada 1998, mengawali lima tahun kerusuhan sektarian yang membuat Kepulauan Solomon lumpuh.
Perdamaian akhirnya dipulihkan tahun 2003 oleh Misi Bantuan Regional ke Kepulauan Solomon (RAMSI) yang terdiri dari pasukan dan polisi dari Australia, Selandia Baru, dan 15 negara Pasifik yang berkontribusi.
RAMSI tetap berada di sana hingga 2017, tetapi bahkan setelah kepergian mereka, ketegangan kembali terjadi.
Kerusuhan terjadi pada April 2006 setelah Snyder Rini terpilih sebagai perdana menteri oleh para legislator. Puluhan bisnis milik etnis China dijarah dan dibakar di ibu kota Honiara.
Kebencian warga lokal menumpuk terhadap dominasi tokoh bisnis asing - kebanyakan etnis China dari Taiwan, China, Malaysia, dan Filipina - serta kemarahan atas korupsi, ketidaksetaraan, dan eksploitasi sumber daya.
Bisnis orang-orang China menjadi sasaran, sebagian karena tuduhan bahwa mereka dan Taiwan - yang pada saat itu memiliki hubungan diplomatik dengan Honiara - membantu membiayai Rini menyuap legislator agar mendapat dukungan dalam pemilihan perdana menteri.
China sampai harus menyewa pesawat untuk mengevakuasi warganya, sedangkan Australia dan Selandia Baru mengirim pasukan penjaga perdamaian untuk meredakan kerusuhan.
Baca juga: Kerusuhan di Kepulauan Solomon, Australia Kerahkan Polisi dan Pasukan Keamanan
Pada 2019, persaingan historis antara Guadalcanal dan Malaita menyatu dengan geopolitik internasional ketika politisi veteran Manasseh Sogavare terpilih sebagai perdana menteri, memicu putaran protes kekerasan lainnya.
Salah satu janji kampanye Sogavare adalah mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke China, yang dilakukannya lima bulan kemudian.
Taiwan dan China selama bertahun-tahun terlibat tarik ulur diplomatik di negara-negara berkembang. Dukungan ekonomi dan bantuan lain sering digunakan sebagai alat tawar-menawar untuk mendapat pengakuan diplomatik.
Peralihan diplomatik Sogavare membuka sejumlah besar investasi China, tetapi tidak semua rakyatnya setuju, terutama di Malaita yang penduduknya diuntungkan dengan proyek-proyek bantuan Taiwan serta menjalin hubungan yang dalam dengan Taipei.
Rencana untuk menyewakan seluruh pulau ke perusahaan milik negara China - diumumkan hanya beberapa hari setelah peralihan diplomatik - terpaksa langsung dibatalkan karena ditentang banyak orang.
Kerusuhan di Kepulauan Solomon yang terjadi minggu ini adalah kelanjutan dari semua hal di atas.
Menulis di Solomon Times, Transform Aqorau menggambarkannya sebagai "puncak dari sejumlah titik nyala yang telah diabaikan", mengutip perpecahan China-Taiwan, serta ketegangan antara pemerintah nasional dan provinsi.
Laporan lokal mengatakan, banyak pengunjuk rasa di Honiara minggu ini datang dari Malaita, karena tumbuh kemarahan atas kurangnya investasi pemerintah pusat dan keputusan meninggalkan Taiwan sebagai sekutu.
Baca juga: Operasi Solomon: Penerbangan Berpenumpang Terbanyak Sepanjang Masa
Premier Malaita Daniel Suidani juga menjadi kritikus vokal dari peralihan pengakuan diplomatik ke Beijing.
Suidani mempertahankan hubungan dengan Taiwan, yang bertentangan dengan instruksi pemerintah pusat, kata Sora. Awal tahun ini, dia dirawat di rumah sakit Taiwan.
Nicholas Coppel mantan duta besar Australia dan koordinator khusus RAMSI mengatakan kepada AFP, sebagian besar kekesalan di Kepulauan Solomon berasal dari perasaan ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya.
"Mayoritas orang di Kepulauan Solomon menjalani kehidupan semi-subsisten di daerah pedesaan dan tidak terlalu peduli dengan keputusan kebijakan luar negeri."
"Namun, mereka peduli dengan proyek di Malaita yang pernah didanai Taiwan akan segera berakhir, juga preferensi yang diberikan China kepada fasilitas olahraga yang terkonsentrasi di Honiara," tambahnya.
Baca juga: 25 September 1959: PM Sri Lanka Solomon Bandarainake Dibunuh
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.