PADA pertemuan G20 di Roma, Italia, 30-31 Oktober 2021 lalu, Presiden Joko Widodo menerima tongkat estafet Presidensi G20 dari Perdana Menteri Italia, Mario Draghi.
Sebagai bagian dari Indonesia, tentu saya bangga atas kepercayaan dunia terhadap Indonesia.
Apalagi Indonesia memimpin negara negara dengan kekuatan ekonomi dan populasi besar dimuka bumi.
Government 20 (G20) yakni kelompok 20 negara di dunia yang memiliki posisi strategis karena secara kolektif mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dan 66 persen populasi dunia.
Mandat Presidensi Indonesia di G20 sebenarnya telah disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 ke-15 di Riyadh, Saudi Arabia, pada November 2020 lalu.
Tugas presidensi adalah menjadi penyelenggara pada pertemuan G20 berikutnya.
Indonesia akan menjadi tuan rumah KTT G20 pada 2022 nanti.
Dalam pertemuan G20 salama ini ada dua track. Pertama, finance track yang membahas isu-isu di bidang ekonomi, keuangan, fiskal dan moneter.
Kedua, sherpa track yang membicarakan isu-isu ekonomi non keuangan, seperti; energi, pariwisata, pendidikan, tenaga kerja, investasi, industri, kesehatan, ekonomi digital, lingkungan dan perubahan iklim.
Namun dalam perjalanan G20 isu ekonomi dan non ekonomi terutama lingkungan dan perubahan iklim seolah menjadi titik tegang dan menjadi kutub yang saling berlawanan.
Lambatnya transformasi ekonomi menuju rendah emisi dan ramah lingkungan kerapkali menjadi pemangkas berbagai target pada sisi lingkungan dan agenda perubahan iklim.
Negara-negara maju yang ada di G20 sampai saat ini mesih menjadi penyumbang besar emisi dunia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.