KABUL, KOMPAS.com - Seorang kolonel Afghanistan membeberkan penyebab utama mengapa negaranya bisa jatuh ke tangan Taliban.
Kolonel Hanif Rezai merupakan juru bicara Korps Shaheen Ke-209, divisi angkatan darat yang berbasis di Mazar-i-Sharif.
Dia melakukan wawancara dengan Sky News dari sebuah lokasi di luar Afghanistan, tempat dia dan keluarganya bersembunyi.
Baca juga: China Minta AS dan Dunia “Membimbing secara Positif” Afghanistan di Bawah Taliban
Dia merespons ucapan Presiden AS Joe Biden pada 16 Agustus, yang menyalahkan pasukan pemerintah sehingga negara mereka jatuh ke milisi.
"Harus berapa lagi putra-putri Amerika yang dikirim ke Afghanistan ketika pasukannya saja tidak punya niat?" keluhnya.
Rezai mengatakan tidak adil AS langsung menyalahkan mereka karena Afghanistan saja sudah kehilangan 66.000 tentara selama 20 tahun terakhir.
"Saya ingin menegaskan, pasukan Afghanistan berjuang keras. Adalah politisi yang kalah dalam perang, bukan militer atau kepolisian," kata dia.
Perwira tingkat menengah ini mengungkapkan, bukan penarikan dukungan ataupun personel militer asing yang membuat moral mereka merosot, melainkan karena lemahnya kepemimpinan di Afghanistan, ditambah korupsi yang merajalela di seluruh jajaran badan keamanan.
Baca juga: Tak Pernah Tampil di Publik, di Mana Pemimpin Tertinggi Taliban Sembunyi?
Dia menceritakan titik balik kemerosotan mereka ketika Presiden Ashraf Ghani berkunjung ke Mazar-i-Sharif pada 11 Agustus.
Di sana, Ghani melakukan pertemuan dengan Ata Mohammad Noor dan Abdul Rashid Dostum, yang merupakan panglima milisi setempat.
Ghani menjanjikan 15 juta Afghanis atau 130.000 poundsterling (Rp 2,5 miliar) untuk dukungan tambahan orang yang bersedia melawan Taliban.
"Jumlah itu hampir tidak cukup untuk membiayai pengeluaran mereka, dan melemahkan niat mereka membela tanah dan negaranya," keluh Rezai.
Tiga hari kemudian, Mazar-i-Sharif yang merupakan salah satu benteng terkuat di utara Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.
Keesokan harinya atau pada 15 Agustus, ibu kota Kabul jatuh juga dan Presiden Ashraf Ghani melarikan diri.
Baca juga: Taliban Rampas Helikopter Black Hawk dan Humvee Peninggalan AS di Afghanistan
Dari pengasingannya di Uni Emirat Arab, Ghani membantah bahwa dia sudah meninggalkan Kabul dengan koper penuh uang.
Akan tetapi, Kolonel Rezai tidak memercayai ucapannya. Dia mengatakan, sejak awal Ghani tidak serius mengurus negara.
"Sejak hari pertama, korupsi merupakan hal yang dia lakukan," jelas Rezai dalam wawancara yang dipublikasikan pada Minggu (29/8/2021).
Dalam laporannya, intelijen AS menerangkan korupsi yang terjadi secara endemik di politik dan militer berkontribusi atas jatuhnya Afghanistan.
Rezai mengisahkan, bahkan setelah pasukan asing menarik diri, beberapa barang yang ditinggalkan kemudian dijual dan segelintir orang mengantongi uangnya.
Si perwira mengatakan, jika dia mau, dia bisa menceritakan semua sektor yang para pejabatnya melakukan rasuah.
Baca juga: Taliban Akui Pemimpin Tertingginya Ada di Afghanistan, Segera Tampil ke Publik
Rezai yakin, banyak rakyat Afghanistan yang menentang Taliban, dan pemerintahan milisi itu takkan berlangsung lama.
"Jika mereka tidak membentuk pemerintahan yang inklusif, saya yakin sesuatu yang lebih kuat dari Aliansi Utara akan datang," cetusnya.
Rezai merujuk kepada kelompok perlawanan di Lembah Panjshir, yang dibentuk Amrullah Saleh dan Ahmad Massoud.
Amrullah Saleh merupakan wakil presiden di pemerintahan Ghani, yang mengumumkan dirinya sebagai pemimpin sah begitu presidennya kabur.
Sementara Massoud merupakan putra Ahmad Shah Massoud, pemimpin perlawanan yang terkenal sejak era Uni Soviet.
Baca juga: Para Warlord Ternama Afghanistan Berniat Negosiasi dengan Taliban
Saat membentuk pasukan gerilya, Massoud berseloroh, dia membutuhkan bantuan logistik ataupun persenjataan untuk Front Perlawanan Nasional.
Kolonel Rezai menjelaskan, dia yakin bahwa bantuan tengah dikirimkan, meski enggan menyebut dari mana asalnya.
Dia melanjutkan jika terbentuk kelompok yang begitu kuat, dia akan kembali pulang dan mengangkat senjata.
Rezai menambahkan, suatu saat dia dan keluarganya ingin kembali ke Afghanistan sebagai warga sipil biasa.
Namun, untuk saat ini, dia mengaku tidak bisa melihat perdamaian, apalagi 20 tahun penuh konflik sejak AS menggelar invasi.
Baca juga: Taliban telah Bersiap Ambil Kendali Bandara Kabul Jelang Tenggat Waktu Evakuasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.