Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Anak Pendiri Tapol Carmel Budiardjo: Dia Bukan Tipe Ibu Tradisional

Kompas.com - 11/07/2021, 14:22 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Dua anak Carmel Budiardjo yang merupakan pendiri Tapol, menceritakan bagaimana orang tua mereka begitu sibuk berinteraksi dengan para akademisi dan orang-orang yang terjun di dunia politik di Indonesia sebelum peristiwa 1965.

Keduanya adalah Tari Lang dan Anto Budiardjo, putri dan putra dari pasangan campuran Indonesia-Inggris, Suwondo Budiardjo dan Carmel Brickman yang berlatar belakang keluarga pelarian Yahudi dari Polandia.

Ada pun pusat aktivitas kedua orang tua Tari dan Anto adalah rumah keluarga di kawasan elite Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.

Baca juga: Carmel Budiardjo, Pejuang HAM Kasus 1965 hingga Aceh, Tutup Usia

"Tentu kedua orang tua kami selalu sibuk bersosialisasi dengan akademisi-akademisi lain atau orang-orang yang terlibat dalam politik," ungkap Tari Lang dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada 15 Juni, kurang satu bulan sebelum Carmel meninggal dunia pada Sabtu (10/7/2021).

"Jadi sepanjang ingatan saya, di rumah kami selalu ada orang-orang berbicara, mengobrol dan bertukar pandangan yang membuat rumah lumayan ramai dan aktif," sambung Tari Lang. 

Ketika itu ayah mereka, Suwondo Budiardjo, menempati posisi tinggi di Kementerian Angkatan Laut.

Suwondo bertemu dan kemudian menikah dengan Carmel di Praha ketika Suwondo kuliah di jurusan ilmu politik Universitas Charles. Carmel bekerja di Sekretariat International Union of Students (Persatuan Mahasiswa Internasional) di ibu kota Cekoslowakia atau sekarang Republik Ceko.

Pada tahun 1952, Suwondo memboyong Carmel dan Tari ke Jakarta. Awalnya mereka menempati rumah lain di Ibu Kota dan baru menempati rumah di Jalan Teuku Umar pada akhir tahun 1950-an.

Memutuskan menjadi warga negara Indonesia tahun 1954, Carmel bekerja sebagai peneliti ekonomi di Kementerian Luar Negeri terhitung selama periode 1955-1965, suatu posisi yang pas dengan mata kuliah ekonomi yang diambilnya di universitas prestisius di Inggris, London School of Economics.

Baca juga: 3 RUU Terbaru Inggris Dinilai Mengancam HAM dan Lingkungan, Apa Saja?

Carmel bukan sosok ibu tradisional

Di samping hilir mudik tamu dari kalangan intelektual dan politikus, rumah besar itu semakin diramaikan oleh kunjungan keluarga besar Suwondo. "Ada mbah, paman, bibi", kata Tari dan "selalu ada sepupu-sepupu" timpal adiknya, Anto.

"Carmel selalu aktif dalam pekerjaannya. Ia bukanlah sosok ibu tradisional karena ia selalu sangat aktif. Tetapi kami tetap diurus dengan baik, hanya saja ia tidak selalu ada," kenang Tari.

Lahir di Jakarta pada tahun 1956, ingatan awal Anto tertuju pada awal tahun 1960-an. Rumah keluarga tidak pernah sepi orang. Penuh kenangan manis.

Di luar rumah, aktivitas yang ada juga tidak kalah menarik bagi seorang bocah laki-laki.

"Jalan Teuku Umar sendiri cukup ramai dan selalu ada kejadian. Saya ingat anak-anak muda melakukan balap mobil di sekitar bundaran. Dan itu sangat mengasyikkan setiap hari Minggu," kata Anto.

Baca juga: Utusan HAM PBB Khawatir Banyak Korban Tewas akibat Kelaparan di Myanmar

"Saya punya banyak kenangan manis di sana. Sebagai anak kecil, saya belajar naik sepeda dan melakukan hal-hal selayaknya bocah laki-laki pada umumnya. Jadi saya punya kenangan amat indah, tentu saja sampai semuanya berubah pada malam itu di tahun 65."

Malam yang dirujuk Anto dikenal sebagai pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat. Momen ini sekaligus menjadi titik balik dari kehidupan keluarga besar Budiardjo yang mapan.

Berlangsung dalam rentang waktu 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965 sehingga dinamai Gerakan 30 September 1965 (G30S), narasi resmi menyebutkan peristiwa itu merupakan upaya perebutan kekuasaan atau pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Saya ingat ketika bangun tidur melihat tank-tank meluncur di depan rumah, tentara berlalu lalang di jalan. Ada banyak suara, suara tembakan dan sebagainya. Saya tak paham apa yang terjadi," kata Anto.

"Sebagai anak sembilan tahun, saya kira itu seperti petualangan bagi saya, seperti sesuatu yang tak nyata. Saya pikir saya masih terlalu kecil untuk menyerap apa yang terjadi."

Baca juga: China Minta AS untuk Ngaca Soal Catatan HAM

Sang kakak, Tari tahu lebih banyak apa yang mungkin terjadi. Ia menerka-nerka kedua orang tuanya barangkali tahu lebih banyak dari apa yang mereka ceritakan kepadanya.

"Sebenarnya saya sudah cukup aktif. Karena usia saya 14 tahun pada saat itu, saya sudah mulai terlibat secara politik. Saya menjadi anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), organisasi kesiswaan pro-Sukarno," ujar Tari.

Ditambahkan nama Suharto belum dikenal banyak di mata publik sampai sosok di tubuh Angkatan Darat itu mengambil alih militer serta kendali negara.

Baca juga: Bertemu Tatap Muka dengan Putin, Biden Rencana Singgung Pelanggaran HAM

Kedua orang tua dipenjarakan, Ali Sadikin turun tangan

Pascapembunuhan para petinggi TNI Angkatan Darat, seluruh unsur yang terkait dengan PKI--mulai dari anggota PKI, organisasi yang dekat partai itu, hingga pemimpinnya--ditangkap dan dijebloskan ke tahanan. Tak terkecuali adalah Suwondo Budiardjo selaku pengurus bidang luar negeri PKI.

Suatu hari, menurut Anto, ada beberapa kendaraan jip yang mendatangi rumah. Orang-orang berseragam militer mencari orang tuanya. Ayahnya dibawa pergi dan ditahan. "Ingatan itu membekas," tuturnya.

"Sebenarnya ia ditangkap dua minggu setelah tiba dari misi dagang ke Jepang. Jadi ia masih bersatus sebagai pegawai negeri," kata Tari seraya menambahkan ayahnya sempat dibebaskan sebelum ditangkap lagi sebanyak dua kali.

Selang tiga tahun kemudian, pada 3 September 1968, giliran ibu mereka yang diciduk dengan tudingan sebagai anggota Komite Pusat PKI. Tetapi dalam berbagai kesempatan, Carmel menampik tuduhan itu.

Apa yang dilakukan untuk PKI, versi Carmel, adalah sekedar membantu menerjemahkan dokumen-dokumen kepartaian. Di samping itu, ia aktif di Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang berafiliasi kiri di zaman tersebut.

Baca juga: Kepala HAM PBB: Serangan Israel di Gaza Mungkin Termasuk Kejahatan Perang

Karena Suwondo dan Carmel dijebloskan ke penjara tanpa kepastian kapan akan dibebaskan,—Carmel menghuni Penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan dan Suwondo di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat—kerabat dan teman-teman keluarga berembuk. Tari dan Anto dikirim ke London untuk tinggal bersama keluarga Carmel.

Sampai sekarang Tari masih mengingat kesetiaan banyak kerabat dan teman keluarga, termasuk para akademisi asing yang sebelumnya kerap berkumpul di rumahnya, memastikan ia dan adiknya terurus dengan baik.

Pada saat bersamaan, militer berusaha mengambil alih rumah keluarga yang tentu mempunyai nilai besar. Lagi-lagi berkat campur tangan teman keluarga, masih menurut Tari, rumah tidak jadi berpindah tangan.

"Ali Sadikin melindungi rumah kami sehingga tidak seorang pun akan mengambil alihnya."

Gubernur Jakarta tersebut mengutus orang untuk menempelkan stiker pada pintu bertuliskan pengumuman bahwa rumah keluarga Budiadrjo tak boleh diutak-utik oleh siapa pun.

Baca juga: Kenapa Indonesia Dituding Injak-injak HAM dalam Pengembangan “Bali Baru” Mandalika

"Yang cukup menarik, militer menempelkan stiker di pintu bagian luar bahwa rumah akan diambil alih. Ali Sadikin mengirimkan orang-orangnya untuk memasang stiker di dalam rumah bahwa tak seorang pun boleh menyentuh rumah kami.

"Dengan demikian rumah kami aman karena dipasangi dua stiker, satu dari militer dan satu dari Ali Sadikin," jelas Tari yang sudah remaja kala itu.

Pada akhirnya, ia dan adiknya harus meninggalkan Jakarta dan memulai hidup baru di ibu kota Inggris.

Sesudah mendiami tahanan selama tiga tahun, Carmel Budiardjo pun akhirnya menghirup udara bebas meski dengan syarat.

Diceritakan oleh Tari, penguasa di Indonesia ketika itu meminta pengacara Carmel, Sarah Lee, untuk memberikan jaminan agar kliennya tidak melakukan hal-hal yang membuat malu Indonesia. Pengacara tentu menolak permintaan itu.

Baca juga: Biografi Andrei Sakharov, Pembuat Bom Nuklir yang Beralih Jadi Aktivis HAM

Kemudian pada 1973, Carmel Budiardjo mendirikan Tapol di Inggris untuk menuntut pembebasan tahanan politik di Indonesia melalui buletin dan representasi ke berbagai forum internasional.

Sepak terjang Carmel dan Tapol membuat gerah pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Khayalak internasional mendengar kritik pedas dan berbagai informasi tentang dugaan pelanggaran manakala kebebasan di Indonesia dikekang dan LSM belum tumbuh.

Ketika diminta untuk merenungkan masa lalu, pada masa ibu mereka lebih sibuk mengurus persoalan politik dan HAM di Indonesia ketimbang mengurus keluarga, baik Tari maupun Anto mengaku tidak menyesal dan mendukung sepenuhnya ibu mereka.

"Ia selalu teguh, tipikal juru kampanye. Jika ia hendak mengambil arah tertentu, tak seorang pun bisa mengadangnya," ungkap Tari. "Jika ada hal-hal yang perlu dilakukan, ia akan melakukannya tanpa berpikir panjang."

Ketua Dewan Tapol, Steve Aliston, yang mengenal Carmel sejak awal tahun 1980-an, menuturkan bahwa perempuan itu selalu fokus pada pekerjaan. Namun demikian foto-foto keluarga menghiasi meja kerjanya.

Baca juga: Ditekan Kelompok HAM, Total Tetap Enggan Hentikan Produksi Gas di Myanmar

"Ia selalu amat antusias mengikuti perkembangan cucu-cucunya," kata Aliston.

Membandingkan Carmel dengan ibu sejumlah kawannya, Tari mengingat ibunya tidak suka berbelanja sama sekali melainkan tertarik dengan semua hal yang berbau intelektual.

"Saya dari dia belajar untuk berpikir agar bisa mandiri, untuk bekerja keras. Itu semuanya dari dia. Tapi saya tidak belajar memasak atau memakai make up dari dia," kata Tari sembari tertawa kecil.

Justru sang ayahlah yang lebih banyak meluangkan waktu untuk menghibur anak-anak, "seperti mengolok-olok kami, berkelakar, dan membawa kami jalan-jalan ke pantai."

Suwondo Budiardjo akhirnya meninggalkan Indonesia begitu dibebaskan dari penjara untuk bergabung dengan keluarganya di London.

Baca juga: AS, Uni Eropa, dan Inggris Jatuhkan Sanksi ke Pejabat China atas Pelanggaran HAM di Xinjiang

"Malangnya itu adalah periode menyedihkan baginya. Itu hampir seperti ia keluar dari satu penjara dan masuk ke penjara lain." Itulah yang diamati Anto.

Meskipun dikelilingi anak-anak serta cucu-cucu, menurut Anto, ayahnya itu tidak nyaman tinggal di negara beriklim dingin dan merasa tidak puas dengan kondisi yang ada.

Bagaimanapun, Anto mengaku darah ayahnya sebagai orang Indonesia lebih kental mengalir ke dirinya dibandingkan darah ibunya dan tempe adalah makanan favoritnya.

"Saya berhasil memperkenalkan makanan Indonesia dan juga mengajari mereka memasak. Salah satu dari mereka bisa memasak makanan Indonesia dengan baik," katanya .

"Sama dengan kedua anak saya, mereka juga memasak makanan Indonesia seperti gudeg dan sate," timpal Tari dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.

"Walaupun ibu tidak bisa memasak, kami sebagai keluarga suka memasak dan kami semua suka makanan Indonesia."

Baca juga: Dekrit Vatikan Larang Serikat Sesama Jenis Tuai Kritik Aktivis HAM dan Komunitas Katolik Gay

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com