WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Kekerasan di dalam gedung Parlemen AS telah berubah mematikan pada Rabu (6/1/2021) malam, ketika para pejabat mengumumkan bahwa seorang wanita yang ditembak sebelumnya telah meninggal.
Setidaknya tiga lainnya terluka dan dibawa ke rumah sakit setelah perusuh, banyak yang mengibarkan bendera Trump dan mengenakan pakaian Trump, melanggar keamanan di Gedung Parlemen Capitol AS dan mengerumuni tempat itu.
Melansir USA Today pada Rabu (6/1/2021), pelanggaran keamanan tersebut memaksa ruang Senat dievakuasi dan penguncian terjadi selama 3,5 jam, sebelum pejabat menyatakan bahwa gedung tersebut aman.
FBI juga menyelidiki laporan dari dua perangkat peledak yang dicurigai, meskipun keduanya telah aman.
Rangkaian peristiwa ini mengganggu proses demokrasi yang seharusnya adalah acara seremonial dalam menghitung suara Electoral College yang disertifikasi negara.
Aksi protes tersebut adalah puncak dari kebencian selama berminggu-minggu yang dipicu oleh klaim palsu Presiden Donald Trump bahwa pemilu telah dicuri darinya.
Pelanggaran keamanan juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana para demonstran berhasil memaksa masuk ke dalam Gedung Capitol. Termasuk apakah ada cukup kehadiran penegak hukum, terutama ketika ancaman kekerasan yang muncul selama berhari-hari di media sosial seharusnya menjadi peringatan untuk mengibarkan bendera merah.
Baca juga: Massa Pendukung Trump Menerobos Masuk Gedung Capitol, 1 Tewas Ditembak
Rabu (6/1/2021) pagi, pengunjuk rasa memadati aula di dalam gedung Capitol dan memanjat kursi.
Beberapa berhasil masuk ke dalam ruang Senat, sedangkan yang lain duduk di dalam kantor anggota parlemen. Tembakan dan bahan gas air mata dilepaskan.
"Dalam pengalaman saya dalam 50 tahun dalam penegakan hukum, ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata John Magaw, mantan Direktur Dinas Rahasia.
"Koordinasi keamanan hampir berantakan. Kami menyaksikan kemerosotan hukum dan ketertiban di AS. Itu hanya menjadi kekacauan. Saya tidak melihat tanda apa pun bahwa presiden saat ini akan berdiri dan memimpin seperti yang dipimpin presiden masa lalu," kata Magaw. "Demokrasi kita berada di tepi jurang."
Ed Davis, mantan komisaris Departemen Kepolisian Boston, mengatakan, penegakan hukum seharusnya lebih siap.
Menurutnya, harus ada kemauan politik untuk menempatkan sumber daya untuk menghentikan kerusuhan yang memanas. Kejadian ini menurutnya adalah hasil dari kurangnya kemauan politik untuk mengendalikan upaya pemberontakan.
"Apa yang terjadi di sini adalah kegagalan kolosal, dan saya yakin itu kegagalan politik yang sangat besar, bukan di pihak polisi," kata Davis. "Mereka kalah jumlah dan dikalahkan."
Tidak jelas apakah Departemen Kehakiman atau Departemen Keamanan Dalam Negeri terlibat dalam mengoordinasikan tanggapan penegakan hukum yang kuat dengan Kepolisian Capitol AS.