Di sana, kacang pecan ditanam di lahan pertanian untuk diekspor ke berbagai penjuru dunia, dan kaum prianya melepas penas dengan mengunjungi lapangan tembak atau tempat minuman setempat. Lokasinya lebih dekat ke Texas, baik secara harfiah maupun metafora.
Paman Rhonita Miller, Julian LeBaron, adalah salah satu pemimpin komunitas Mormon. Dia paham betul ancaman bahaya kelompok-kelompok kartel terhadap komunitasnya.
Pada 2019, adik Julian, ketika itu masih berusia 16 tahun, diculik oleh para anggota kartel setempat. Mereka menuntut uang tebusan sebanyak 1 juta dollar AS (14 miliar), namun komunitas LeBaron menolak membayar.
Alih-alih membayar uang tebusan, komunitas LeBaron menggelar gerakan protes SOS Chihuahua yang mempermalukan para kartel sehingga mereka membebaskan Eric.
Benjamin LeBaron, abang Julian, menjadi juru bicara gerakan itu. Dia berbicara dengan bahasa Spanyol kepada wartawan dan sukses mengajak gubernur setempat untuk bertemu.
Setelah melakukan tekanan tiada henti selama berpekan-pekan, Eric dibebaskan tanpa luka. Lebaron kemudian menjadi pahlawan di Meksiko karena mereka menolak tunduk pada tuntutan kartel. Namun, Benjamin tahu ada harga yang harus dibayar karena berani melawan kartel.
Baca juga: Pelaku Penyerangan Gereja Perancis Sempat Kirim Selfie ke Keluarganya
Dua bulan kemudian, 15 pria bersenjata mendobrak pintu rumah Benjamin. Mereka meringkus Benjamin, saudara iparnya, dan tetangganya, Luis Widmar, ke dalam sebuah mobil yang menunggu.
"Orang-orang itu membawa mereka sejauh empat mil, menyuruh mereka berlutut, dan menembak mereka—empat tembakan untuk setiap orang—pada bagian belakang kepala," kata Julian.
"Abang saya berani. Dia tahu bahwa tidak membayar uang tebusan untuk membebaskan Eric hampir dipastikan akan membuatnya kehilangan nyawa," tambah Julian.
Serangan itu merupakan titik balik bagi Colonia LeBaron. Didorong sikap skeptis bahwa pemerintah Meksiko akan memenuhi janji untuk menyediakan keamanan, LeBaron memutuskan menempuh langkah sendiri. Mereka menciptakan patroli bersenjata sendiri, dan lokasi pemantauan di sekeliling kota.
"Selama 10 tahun tiada yang menganggu kami. Namun kami tidak pernah menerima keadilan untuk kejahatan tersebut. Bahkan, sebagian besar kejahatan di Meksiko tidak menerima keadilan," kata Julian.
Karena itu, lambannya kemajuan penyelidikan terkait pembunuhan sejumlah perempuan dan anak-anak mereka tidak mengejutkan Julian.
"Kami tidak lagi percaya aparat. Selang 12 bulan setelah serangan, mereka tidak kunjung menghukum para pelakunya. Kami tidak akan pernah diam. Kami tidak akan memberikan praduga tak bersalah kepada aparat," imbuh Julian.
Hari ulang tahun Rhonita pada September lalu adalah yang pertama kali diperingati tanpa kehadirannya.
"Kami masih sangat menderita, dan pada bersamaan mencoba untuk terus menjalani hidup. Enam bulan lalu saya punya banyak harapan. Semakin banyak saya paham sistem Meksiko, semakin kurang keyakinan saya bahwa kami akan memperoleh keadilan," ujar saudara kandung Rhonita, Adrianna.
Baca juga: Polisi Dalami Adanya Tersangka Lainnya dalam Penembakan di Gereja Lyon Perancis
Namun Kenny Miller lebih diplomatis.
"Nenek moyang kami datang ke sini dari AS, dan Meksiko menerima mereka dengan tangan terbuka. Karena itu, kami menghormati aparat yang dipilih oleh rakyat. Tentu ada aksi kekerasan kartel dan itu langsung berdampak pada kami. Tapi kami menuntut keadilan melalui jalur yang benar," kata Kenny.
Presiden Meksiko, Andres Manuel Lopez Obrador, berupaya meyakinkan masyarakat bahwa pemerintahannya bisa menangani peristiwa ini.
Dia telah beberapa kali menemui para keluarga korban. Pada pertemuan terkini, Oktober lalu, dia meresmikan markas Garda Nasional baru dekat komunitas La Mora, mengumumkan pembangunan jalan raya yang memangkas waktu perjalanan ke perbatasan AS, serta monumen yang menghormati para mendiang korban pembunuhan.
Saat berkampanye, Obrador berjanji akan mengurangi aksi kekerasan dengan menggunakan pendekatan berjargon "pelukan, bukan peluru". Dia berjanji bahwa dengan memberantas kondisi yang membuat orang-orang mau direkrut kartel, kekuatan kelompok-kelompok tersebut akan dilemahkan.
Akan tetapi, aksi kekerasan justru meningkat ketika Obrador memimpin Meksiko. Setahun setelah serangan, aksi-aksi kekerasan di Meksiko tampak paling keji.
Persaingan antara kelompok kartel semakin sengit, walau karantina wilayah terkait pandemi Covid-19 diberlakukan. Lebih jauh, kelompok-kelompok pecahan dari sejumlah kartel terbukti bersedia menggunakan taktik yang lebih keji demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Kerap kali warga sipil terjebak dalam rivalitas mereka.
Baca juga: Ibu 3 Anak Ini Tewas Bak Ksatria Saat Melawan Pelaku Serangan Gereja Perancis
Setahun setelah peristiwa pembunuhan tiga perempuan dan anak-anak mereka, sekolah dan bengkel kerja di La Mora tampak sunyi. Sekitar dua pertiga dari 30 keluarga di dalam komunitas tersebut telah pergi, kebanyakan menetap di bagian selatan Negara Bagian Utah, AS.
Jenny dan Amelia adalah dua dari segelintir orang yang memilih menetap di La Mora. Jenny begitu pasrah setahun setelah serangan.
"Saya sudah tinggal di sini selama 48 tahun. Saya tidak akan pernah pergi. Saya merasa jika akan tewas oleh peluru, maka akan tewas oleh peluru," ujar Jenny.
Menanggapi anak-anak dan keluarga mereka yang telah pergi, dia optimistis mereka akan kembali suatu hari nanti.
"Ada ungkapan bahwa hal yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita adalah akar dan sayap. Saya merasa kami telah memberikan mereka akar dan mereka akan selalu kembali. Di sinilah tempat mereka," pungkas Jenny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.