Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ledakan di Beirut, Apakah Akan Picu Gejolak Arab Spring?

Kompas.com - 19/08/2020, 07:00 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Penulis

Sumber wawancara

"Saya rasa, demonstrasi di Lebanon tidak akan memicu Arab Spring karena spirit yang dibawa berbeda," ujar Dr Yoyo yang pernah melakukan Visiting Doctoral Student di King's College London, Inggris.

Arab Spring adalah pergolakan politik di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah yang terjadi pada penghujung 2010 sampai awal 2011.

Dikutip dari Revolusi Timur Tengah, Arab Spring yang mulanya bernama Revolusi Melati berawal dari aksi bakar diri seorang pria bernama Muhammad Bouazizi (26) pada Jumat (17 Desember 2010) di Tunisia.

Aksi itu kemudian menjalar ke beberapa negara Arab lain yang membawa semangat melengserkan pemerintahan yang diktator. Dari Tunisia, menyusul Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Libya, dan Suriah. 

Menurut Dr Yoyo, ledakan di Beirut menjadi semacam momentum yang membuat warganya muak, "...adalah akumulasi dari krisis perekonomian," dan dampak dari pemerintahan yang abai.

Baca juga: Iran: Negara Barat Memanfaatkan Kondisi Pasca-ledakan di Lebanon

Bangsa Arab, dikatakannya muak karena telah melewati banyak kegagalan. Dr Yoyo mengutip apa yang dikatakan Abdullah al Urwi (Abdullah Laroui) ilmuwan modern asal Maroko, bahwa pada level sistem politik dan perubahan sosial, orang Arab cenderung mengalami puncak kejenuhan (atau kelelahan).

Dari situ, orang Arab cenderung punya impian untuk pergi ke Eropa. Itu mengapa para pengungsi dari Suriah, dari negara-negara Arab yang berkonflik ingin mengadu nasib di Eropa.

"Hampir semua bangsa Arab, memiliki tujuan dan mimpi yang hampir sama, yakni pergi ke Eropa. Jika dilihat dari pemetaan Sastra Arab, kisah-kisah novel Arab tentang Eropa akan banyak ditemukan, karena memang cita-cita mereka adalah pergi ke sana."

Kejenuhan yang menyebabkan itu semua, tak kurang dari tekanan pemerintah yang diktator, seperti pada negara-negara yang mengalami Arab Spring, bermula dari Revolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia yang menular ke Mesir, Yaman, Libya dan terakhir Suriah.

"Lebanon tidak termasuk mereka (negara-negara Arab yang mengalami gejolak Arab Spring) seperti Tunisia, Mesir dan Suriah," ujar Dr Yoyo.

Baca juga: Eksodus Kabinet Lebanon, 5 Menteri dan PM Mundur akibat Ledakan Beirut dan Krisis Ekonomi

 

Dan jika pun rakyat Lebanon sudah jenuh, itu karena didasari oleh tidak adanya perkembangan signifikan di sisi perekonomian, bukan soal diktatorian pemerintahan.

Selain itu, Arab Spring yang terjadi antara 2010-2011 menurut keterangan Dr Yoyo, tidak memiliki imbas politik yang bagus kecuali Tunisia.

"Saat itu, setiap gerakan pembaharuan sudah tidak pernah berhasil. Arab Spring 10 tahun yang lalu tidak memiliki imbas politik yang bagus kecuali Tunisia karena diikuti dengan perubahan konstitusi baru pada 2014 yang menumbuhkan harapan bahwa Tunisia bisa menjadi model keberhasilan (bagi negara Arab lain)," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com