Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ledakan di Beirut, Apakah Akan Picu Gejolak Arab Spring?

Kompas.com - 19/08/2020, 07:00 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Penulis

Sumber wawancara

KOMPAS.com - Ledakan masif yang terjadi di ibu kota Lebanon, Beirut pada Selasa (4/8/2020) dengan kekuatan setara gempa bumi bermagnitudo 3,3 menyisakan banyak kehancuran.

Pemerintah setempat menyatakan, amonium nitrat berjumlah 2.750 ton menjadi penyebab insiden yang menewaskan setidaknya 135 orang dan melukai ribuan orang lainnya.

Pasca ledakan itu, demonstrasi berlangsung menuntut mundurnya pemerintahan yang dianggap tidak kompeten, korup dan abai. 

Yel bergema di Beirut, demonstran menyerbu kantor kementerian pemerintah dan merusak kantor Asosiasi Bank Lebanon pada Sabtu (8/8/2020).

Liputan televisi lokal menyiarkan demonstran memaksa masuk ke dalam gedung Kementerian Energi dan Ekonomi, meneriakkan "rakyat ingin rezim lengser", suara yang identik dengan gerakan Arab Spring 2011 silam.

Baca juga: Ledakan Beirut, Siapa yang Seharusnya Bertanggung Jawab?

Setelah demonstrasi itu, eksodus kabinet pemerintah Lebanon terjadi. Beberapa hari sebelum ledakan di Pelabuhan Beirut bahkan Menteri Luar Negeri Nassif Hitti sudah mengundurkan diri terlebih dahulu.

Melansir AFP, Hitti yang mundur pada Senin (3/8/2020) menyatakan bahwa kemundurannya sebab krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda negara itu.

"Saya mendapati di negara ini banyak bos dan kepentingan yang bertentangan," kata Hitti seraya menuding pemerintah tidak serius menggerakkan reformasi. Padahal, reformasi adalah syarat yang diminta donatur internasional.

Lantas, bagaimana nasib Lebanon selanjutnya? Di tengah kecamuk krisis dan keabaian pemerintah yang korup, apakah Lebanon sanggup bertahan?

Ataukah, gema tuntutan rakyat agar pemerintah mundur dalam demonstrasi beberapa waktu lalu akan kembali mengulang Arab Spring di tahun 2011 silam?

Baca juga: Demo Ledakan Lebanon, Yel-yel Arab Spring Bergema di Beirut

 

 

Sistem politik yang kaku dan kemungkinan Arab Spring

Siapa yang bertanggung jawab atas semua permasalahan ini? Jawabannya sulit ditemukan, apalagi dengan mengetahui pemerintahan Lebanon yang telah dirancang agar tidak ada satu kelompok pun yang terlalu kuat atau mendominasi.

"Pasca perang saudara di Lebanon, Undang-undang hadir menata sistem perpolitikan pemerintahan," ujar Dr Yoyo, M.A, akademisi dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta yang aktif meneliti kajian Timur Tengah dalam wawancara dengan Kompas.com, Minggu (16/8/2020).

Sistem perpolitikan yang dimaksud, konsosiasionalisme yang merupakan pembagian kekuasaan di Lebanon berdasarkan agama tertentu.

Perang saudara di Lebanon berakhir pada 1990 dengan sebuah kesepakatan yakni membagi kekuasaan di antara faksi sektarian.

Kepresidenan dikhususkan berasal dari Kristen Maronit, perdana menteri dari seorang Muslim Sunni dan Ketua Parlemen dari Muslim Syiah.

Baca juga: FBI Akan Bergabung dalam Penyelidikan Ledakan di Beirut, Lebanon

Halaman:
Sumber wawancara
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com