Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ledakan di Beirut, Apakah Akan Picu Gejolak Arab Spring?

KOMPAS.com - Ledakan masif yang terjadi di ibu kota Lebanon, Beirut pada Selasa (4/8/2020) dengan kekuatan setara gempa bumi bermagnitudo 3,3 menyisakan banyak kehancuran.

Pemerintah setempat menyatakan, amonium nitrat berjumlah 2.750 ton menjadi penyebab insiden yang menewaskan setidaknya 135 orang dan melukai ribuan orang lainnya.

Pasca ledakan itu, demonstrasi berlangsung menuntut mundurnya pemerintahan yang dianggap tidak kompeten, korup dan abai. 

Yel bergema di Beirut, demonstran menyerbu kantor kementerian pemerintah dan merusak kantor Asosiasi Bank Lebanon pada Sabtu (8/8/2020).

Liputan televisi lokal menyiarkan demonstran memaksa masuk ke dalam gedung Kementerian Energi dan Ekonomi, meneriakkan "rakyat ingin rezim lengser", suara yang identik dengan gerakan Arab Spring 2011 silam.

Setelah demonstrasi itu, eksodus kabinet pemerintah Lebanon terjadi. Beberapa hari sebelum ledakan di Pelabuhan Beirut bahkan Menteri Luar Negeri Nassif Hitti sudah mengundurkan diri terlebih dahulu.

Melansir AFP, Hitti yang mundur pada Senin (3/8/2020) menyatakan bahwa kemundurannya sebab krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda negara itu.

"Saya mendapati di negara ini banyak bos dan kepentingan yang bertentangan," kata Hitti seraya menuding pemerintah tidak serius menggerakkan reformasi. Padahal, reformasi adalah syarat yang diminta donatur internasional.

Lantas, bagaimana nasib Lebanon selanjutnya? Di tengah kecamuk krisis dan keabaian pemerintah yang korup, apakah Lebanon sanggup bertahan?

Ataukah, gema tuntutan rakyat agar pemerintah mundur dalam demonstrasi beberapa waktu lalu akan kembali mengulang Arab Spring di tahun 2011 silam?

Sistem politik yang kaku dan kemungkinan Arab Spring

Siapa yang bertanggung jawab atas semua permasalahan ini? Jawabannya sulit ditemukan, apalagi dengan mengetahui pemerintahan Lebanon yang telah dirancang agar tidak ada satu kelompok pun yang terlalu kuat atau mendominasi.

"Pasca perang saudara di Lebanon, Undang-undang hadir menata sistem perpolitikan pemerintahan," ujar Dr Yoyo, M.A, akademisi dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta yang aktif meneliti kajian Timur Tengah dalam wawancara dengan Kompas.com, Minggu (16/8/2020).

Sistem perpolitikan yang dimaksud, konsosiasionalisme yang merupakan pembagian kekuasaan di Lebanon berdasarkan agama tertentu.

Perang saudara di Lebanon berakhir pada 1990 dengan sebuah kesepakatan yakni membagi kekuasaan di antara faksi sektarian.

Kepresidenan dikhususkan berasal dari Kristen Maronit, perdana menteri dari seorang Muslim Sunni dan Ketua Parlemen dari Muslim Syiah.

"Saya rasa, demonstrasi di Lebanon tidak akan memicu Arab Spring karena spirit yang dibawa berbeda," ujar Dr Yoyo yang pernah melakukan Visiting Doctoral Student di King's College London, Inggris.

Arab Spring adalah pergolakan politik di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah yang terjadi pada penghujung 2010 sampai awal 2011.

Dikutip dari Revolusi Timur Tengah, Arab Spring yang mulanya bernama Revolusi Melati berawal dari aksi bakar diri seorang pria bernama Muhammad Bouazizi (26) pada Jumat (17 Desember 2010) di Tunisia.

Aksi itu kemudian menjalar ke beberapa negara Arab lain yang membawa semangat melengserkan pemerintahan yang diktator. Dari Tunisia, menyusul Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Libya, dan Suriah. 

Menurut Dr Yoyo, ledakan di Beirut menjadi semacam momentum yang membuat warganya muak, "...adalah akumulasi dari krisis perekonomian," dan dampak dari pemerintahan yang abai.

Bangsa Arab, dikatakannya muak karena telah melewati banyak kegagalan. Dr Yoyo mengutip apa yang dikatakan Abdullah al Urwi (Abdullah Laroui) ilmuwan modern asal Maroko, bahwa pada level sistem politik dan perubahan sosial, orang Arab cenderung mengalami puncak kejenuhan (atau kelelahan).

Dari situ, orang Arab cenderung punya impian untuk pergi ke Eropa. Itu mengapa para pengungsi dari Suriah, dari negara-negara Arab yang berkonflik ingin mengadu nasib di Eropa.

"Hampir semua bangsa Arab, memiliki tujuan dan mimpi yang hampir sama, yakni pergi ke Eropa. Jika dilihat dari pemetaan Sastra Arab, kisah-kisah novel Arab tentang Eropa akan banyak ditemukan, karena memang cita-cita mereka adalah pergi ke sana."

Kejenuhan yang menyebabkan itu semua, tak kurang dari tekanan pemerintah yang diktator, seperti pada negara-negara yang mengalami Arab Spring, bermula dari Revolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia yang menular ke Mesir, Yaman, Libya dan terakhir Suriah.

"Lebanon tidak termasuk mereka (negara-negara Arab yang mengalami gejolak Arab Spring) seperti Tunisia, Mesir dan Suriah," ujar Dr Yoyo.

Dan jika pun rakyat Lebanon sudah jenuh, itu karena didasari oleh tidak adanya perkembangan signifikan di sisi perekonomian, bukan soal diktatorian pemerintahan.

Selain itu, Arab Spring yang terjadi antara 2010-2011 menurut keterangan Dr Yoyo, tidak memiliki imbas politik yang bagus kecuali Tunisia.

"Saat itu, setiap gerakan pembaharuan sudah tidak pernah berhasil. Arab Spring 10 tahun yang lalu tidak memiliki imbas politik yang bagus kecuali Tunisia karena diikuti dengan perubahan konstitusi baru pada 2014 yang menumbuhkan harapan bahwa Tunisia bisa menjadi model keberhasilan (bagi negara Arab lain)," pungkasnya.

https://www.kompas.com/global/read/2020/08/19/070000370/ledakan-di-beirut-apakah-akan-picu-gejolak-arab-spring-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke