BEIRUT, KOMPAS.com – Beberapa jam setelah bom mengguncang ibu kota Lebanon, Beirut, orang-orang membukakan pintu untuk para korban yang kehilangan tempat tinggal.
Dua ledakan mengguncang Beirut pada Selasa (4/8/2020) petang itu membuat setidaknya 100 orang tewas dan 4.000 orang luka-luka.
Jad Haddad beruntung tidak berada di apartemennya di Distrik Ashrafieh, Beirut ketika ledakan dahsyat itu mengguncang kawasan pelabuhan Beirut.
Dia tertidur di rumah ibunya di Jounieh, sekitar 16 kilometer dari ibu kota.
“Saya terbangun karena ledakan. Kami pikir itu adalah gempa bumi,” kata mahasiswa kedokteran berusia 23 tahun itu.
Baca juga: Akibat Ledakan Besar di Lebanon 300.000 Penduduk Kehilangan Rumah
Dia dan saudaranya bergegas menyalakan televisi dan mencari berita apa yang sedang terjadi.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat pemandangan kota Beirut yang luluhlantak akibat ledakan.
Rumah-rumah telah hancur, bagian depan toko pecah, dan kaca pecah bertaburan di jalan-jalan.
Mereka lantas menelepon orang-orang yang mereka kenal di Beirut untuk memastikan keadaan.
“Jadi kami membuka rumah kami karena kami benar-benar percaya kami memiliki kewajiban kepada saudara-saudara kami di masa-masa sedih yang menyedihkan ini,” kata Haddad kepada The National.
Keluarganya adalah salah satu yang pertama yang menawarkan perlindungan kepada warga Beirut yang rumahnya hancur akibat ledakan itu.
Baca juga: Pasca-Ledakan Dahsyat Palang Merah Lebanon Terdesak Kebutuhan Donor Darah
Skala kerusakan segera terlihat ketika orang-orang muncul, linglung, dan berlumuran darah ke jalan-jalan.
Banyak sukarelawan yang langsung terjun melakukan evakuasi. Mereka yang terluka langsung dilarikan ke rumah sakit.
Yang lain mengemas apa yang mereka bisa dari rumah mereka yang hancur dan menarik koper di atas puing-puing bangunan.
Tempat penampungan sementara didirikan oleh Palang Merah Lebanon dengan memiliki kapasitas 1.000 orang.
Sementara itu menurut Orotitas Beirut ada sekitar 300.000 orang telah terlantar dan kehilangan tempat tinggal.