BAGHDAD, KOMPAS.com – Pemerintah Irak melaporkan bahwa setidaknya 560 warga dan petugas keamanan tewas akibat aksi protes anti-pemerintah yang berlangsung selama berbulan-bulan pada tahun lalu.
Perdana Menteri Irak Mustafa Al Kadhimi berjanji untuk menyelidiki kematian dan penahanan ratusan demonstran dalam aksi yang menggulingkan pemerintah sebelumnya.
Dilansir dari CGTN News, Jumat (31/7/2020), jumlah korban tewas tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh beberapa media dan kelompok hak asasi manusia (HAM).
Penasihat Perdana Menteri Irak Hisham Daoud mengatakan, semua orang yang tewas dalam aksi tersebut akan dianggap sebagai martir.
Baca juga: Zona Hijau Diserang, Rudal Hampir Hantam Kedubes AS di Irak
Dia menambahkan, pihak keluarga korban akan ditawari 8.380 dollar Amerika Serikat (AS) atau senilai Rp 122 juta sebagai kompensasi.
Aksi demonstrasi itu bermula pada 1 Oktober 2019 dan terus berlanjut selama beberapa bulan berikutnya.
Ratusan ribu rakyat Irak menuntut lapangan pekerjaan dan pemecatan elite penguasa yang dianggap korup.
Aksi demonstrasi yang semakin meluas dan masif tersebut menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi.
Baca juga: Cegah Tentara Turki Masuk Lebih Jauh, Pasukan Irak Siaga di Perbatasan
Setelah itu, mantan kepala dinas intelijen Irak, yakni Mustafa Al Kadhimi, naik ke tampuk kekuasaan menggantikan Mahdi.
Pada Kamis (30/7/2020), sebuah komite pencari fakta bertugas untuk menyelidiki kematian dua pengunjuk rasa yang tewas pada Minggu (26/7/2020).
Menteri Dalam Negeri Irak Othman Al Ghanimi mengatakan, akibat insiden tersebut, tiga personel petugas keamanan ditangguhkan dan digiring ke meja hijau.
Mereka terbukti bersalah karena menggunakan peluru tajam untuk melawan pengunjuk rasa.
Baca juga: Trump Sebut Keputusan Bush soal Perang Irak adalah yang Terburuk dalam Sejarah Amerika