Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ratu Elizabeth II dan Kemeriahan Simbolik Sisa-sisa Kejayaan Imperial

Elizabeth II menggantikan posisi ayahnya, George VI, setelah kematiannya pada tahun 1952. Saat itu, Elizabeth baru berusia 25 tahun.

Selama 70 tahun masa pemerintahannya (terpanjang dibanding raja Inggris mana pun dan ratu mana pun dalam sejarah), ia sudah bekerja dengan 15 perdana menteri (16 termasuk PM Inggris saat ini bernama Liz Truss, yang mulai menjabat pada awal minggu ini menggantikan Boris Johnson), telah bertemu dengan 13 dari 14 Presiden Amerika Serikat terakhir, ikut memantau ribuan keterlibatan Inggris di pentas global dan melakukan 89 kunjungan kenegaraan ke luar negeri.

Di sisi lain, Ratu Elizabeth II juga dianggap sebagai perlambang stabilitas Inggris di tengah era perubahan dunia.

Di bawah kepemimpinannya, Inggris Raya bergelut dengan banyak tantangan, dari silang sengketa yang terjadi di Irlandia Utara, revolusi teknologi, krisis ekonomi, Brexit, kebangkitan politik kelompok nasionalis sayap kanan, pandemi, dan semakin mengecilnya peran Kerajaan Inggris di tingkat global yang dulunya pernah sangat dominan.

Karena panjangnya masa pemerintahan dan banyaknya peristiwa yang dilalui, tidak pelak membuat nama Ratu Elizabeth II menjadi nama dominan di memori rakyat Inggris khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya.

Empat dari lima orang yang saat ini tinggal di Inggris lahir setelah panahbisan jabatan Ratu Elizabeth II, yang menjadikannya satu-satunya pemimpin tradisional yang pernah dikenal oleh sebagian besar rakyatnya.

Jika kita menilik kembali ke belakang, takhta Ratu Elizabeth II memang dimulai pada masa yang sulit, dimulai dari kekerasan intermiten di luar Inggris, termasuk upaya Inggris yang gagal untuk menguasai Terusan Suez pada 1956.

Kemudian Perang Falklands (Malvinas), perang selama sepuluh minggu dengan Argentina pada tahun 1982 di bawah kendali PM Margaret Thatcher.

Di dalam negeri sendiri, juga ada konflik yang tidak mudah dilalui sang ratu. Angkatan Darat Inggris melancarkan kampanye militer terlama sepanjang sejarah, yakni Operation Banner, sebuah upaya untuk menegakkan ketertiban di tengah konflik sektarian berdarah yang melanda sebagian besar Irlandia Utara antara 1968 dan 1998.

Konflik tersebut menyentuh Elizabeth secara langsung pada tahun 1979, ketika Tentara Republik Irlandia membunuh sepupu keduanya, Lord Louis Mountbatten.

Terlepas dari banyaknya peristiwa yang dilalui, sebagaimana ramai dibahas oleh berbagai media di seluruh dunia setelah kematian Ratu Elizabeth II, termasuk media-media di Indonesia, di era Ratu Elizabeth lah Inggris tenggelam, tercecer dari percaturan global, justru beberapa tahun setelah sang Ratu naik takhta.

Momen terakhir di mana Inggris Raya masih merasa sebagai salah satu negara super power adalah pada saat krisis Terusan Suez di Mesir.

Ketika Inggris dan Perancis menunjukkan taringnya dengan menginvasi Terusan Suez, justru Amerika Serikat kemudian dengan strategis dan cerdik menetralisirnya, lalu memaksa Inggris pulang dengan tangan hampa alias harus merelakan Terusan Suez jatuh ke tangan Gamal Abdul Naser.

Dengan seketika Amerika Serikat menjadikan Inggris kehilangan taji negara adi kuasa yang nyaris dua ratus tahun sebelumnya penah menjadikan Tanah Paman Sam sebagai koloninya.

Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower kala itu, berhasil memaksa Pasukan Inggris, Perancis, dan Israel, keluar dari kawasan Terusan Suez, seperti halnya Presiden Amerika Serikat Harry Truman berhasil memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia di tahun 1949.

Pemerintahan Presiden ke - 34 Amerika Serikat Eisenhower berhasil memobilisasi penolakan atas invasi Inggris dan Perancis terhadap Terusan Suez di Forum PBB dan mengancam memblokir dolar dari IMF untuk Inggris yang kala itu memang sedang membutuhkan dana segar.

Persis seperti pemerintahan Harry Truman di masa lalu mengancam membatalkan dana Marshall Plan kepada Belanda jika negara Ratu Wihelmina tersebut tidak menghentikan agresi militer atas negeri ini dan tidak mengakui kedaulatan Indonesia.

Pascaperistiwa itu, peran Inggris menyusut total. Dalam kajian politik internasional pun kajian geopolitik, pada momen Terusan Suez itulah status negara adi daya Inggris Raya beralih atau diambil oleh Amerika Serikat, setelah sebelumnya juga pelan-pelan dikikis sejak perang dunia pertama dan kedua.

Sebelum momen Terusan Suez, Amerika Serikat juga pernah membuat Inggris tidak berkutik, persis menjelang Perang Dunia kedua usai.

Saat itu, Franklin D. Roosevelt (FDR) kembali dari pertemuan Malta, ia menyempatkan diri singgah di Arab dan bertemu dengan pendiri Kerajaan Arab Saudi, yaitu Raja Abdulaziz al Saud.

Dengan data hasil penelitian geologis yang sudah dikantonginya, FDR mengamankan kekuasaan mutlak Amerika Serikat atas sumber daya alam minyak di Arab Saudi, tanpa sedikitpun bantahan dari Inggris dan Perancis yang sebelumnya berjaya di kawasan Timur Tengah.

Ketegangan terselubung antara Inggris dan Amerika Serikat memang sudah bukan rahasia lagi.

Mulai dari Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, kemudian FDR, Truman, dan Eisenhower, memang antikolonial.

Namun karena konstelasi global yang tidak memungkinkan, kebijakan-kebijakan mereka cenderung kurang agresif menyerang negara-negara kolonial lama.

Amerika Serikat mulai melepas taring kolonialnya saat pertama kali menawarkan opsi merdeka pada Philipina tahun 1946. Namun negara-negara besar lainnya justru tak terinspirasi.

Ketika perang dingin pecah setelah kemenangan sekutu tahun 1945, Amerika Serikat mulai memperlihatkan ambiguitas antara pro kolonial atau pro dekolonialisasi.

Amerika Serikat sempat bergeming saat agresi militer Belanda di Indonesia, karena takut Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Setelah Amerika Serikat menyaksikan sikap tegas Soekarno dan Hatta atas pemberontakan Muso di Madiun pada 1948, barulah kemudian Amerika Serikat percaya bahwa Indonesia bisa berdiri tegak tanpa dominasi sayap kiri.

Namun demikian, karena perang dingin pula Amerika Serikat kembali harus mendukung negara kolonial Perancis atas Vietnam, yang kemudian berbarengan dengan kebijakan ganyang Malaysia (konfrontasi) Soekarno yang menandai peralihan kebijakan bapak pendiri bangsa Indonesia itu ke sayap kiri frontal, dari Moskow ke Beijing.

Karena itu, Amerika Serikat harus memilih untuk berdiri bersama Inggris dan rencana pendirian federasi Malaysia.

Namun demikian, hal tersebut tidak membuat Inggris kembali ke posisi sebagai negara adi kuasa sebagaimana halnya di masa lalu. Peta pertarungan global telah beralih menjadi antara Moskow versus Washington.

Karena taring yang sudah hilang itu pula sehingga keberanian PM Inggris Margaret Thatcher dalam menggasak Argentina pada perang Malvinas tidak menjadikan Inggris kembali sebagai kekuatan super power, meskipun menang telak.

Terbukti bahwa perebutan kuasa atas Pulau Malvinas tidak menjadi konflik berkepanjangan layaknya apa yang terjadi di Vietnam.

Pendek kata, kemeriahan pembahasan tentang meninggalnya Ratu Inggris Elizabeth II bukanlah karena beliau sebagai pemimpin tradisional dari kekuatan negara berskala global, tapi hanya karena daya tarik eksistensi Istana Buckingham di mata dunia.

Secara geopolitik, Inggris hanya tersisa Inggris semata, bersama kemeriahan simbolik dari negara-negara persemakmuran sebagai wadah alumni-alumni negara jajahan Inggris di masa lampau.

Bahkan pengaruh Inggris di kawasan Eropa pun telah sirna sejak gelora Brexit di tahun 2016. Kini, justru Jerman dan Perancis yang merupakan ‘kepala suku’ Uni Eropa secara de facto.

https://www.kompas.com/global/read/2022/09/11/070000470/ratu-elizabeth-ii-dan-kemeriahan-simbolik-sisa-sisa-kejayaan-imperial

Terkini Lainnya

5 Orang Tewas di Rafah dalam Serangan Udara Israel Semalam

5 Orang Tewas di Rafah dalam Serangan Udara Israel Semalam

Global
Juara Angkat Besi Eropa Ini Tewas dalam Perang Membela Ukraina

Juara Angkat Besi Eropa Ini Tewas dalam Perang Membela Ukraina

Global
Israel Bersumpah Lanjutkan Serangan di Rafah, sebab Gencatan Senjata Tak Pasti

Israel Bersumpah Lanjutkan Serangan di Rafah, sebab Gencatan Senjata Tak Pasti

Global
Taiwan Kembangkan Sistem Satelit Serupa Starlink Milik Elon Musk

Taiwan Kembangkan Sistem Satelit Serupa Starlink Milik Elon Musk

Internasional
[POPULER GLOBAL] Warga Gaza Diperintahkan Mengungsi | Kucing Terjebak Masuk Kardus Paket

[POPULER GLOBAL] Warga Gaza Diperintahkan Mengungsi | Kucing Terjebak Masuk Kardus Paket

Global
Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata di Gaza, Jeda Perang 7 Bulan

Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata di Gaza, Jeda Perang 7 Bulan

Global
Inilah Wombat Tertua di Dunia, Usianya 35 Tahun

Inilah Wombat Tertua di Dunia, Usianya 35 Tahun

Global
Biden Akan Bicara ke Netanyahu Usai Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi

Biden Akan Bicara ke Netanyahu Usai Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi

Global
Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Global
Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Internasional
Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Global
Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Global
Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Global
Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Global
Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke