Secara historis ancaman yang ditimbulkan Taiwan terhadap China antara lain: Bagaimana loyalis Ming menggunakan pulau itu sebagai batu loncatan untuk menghasut pemberontakan di Qing pada abad ketujuh belas; militer Jepang melancarkan operasi melawan China dari Taiwan pada Perang Dunia II; dan Republic of Tiongkok (ROC) melepaskan serangan dari Taiwan terhadap Komunis China selama Perang Dingin.
Saat ini, para ahli strategi China memandang kemerdekaan de facto Taiwan yang didukung Amerika Serikat (AS) sebagai ancaman bagi keamanan nasional serta hambatan bagi kebesaran nasional. Mereka juga menilai Taiwan yang bersatu dengan daratan China digambarkan sebagai batu loncatan untuk memproyeksikan kekuatan melewati rantai pulau pertama (first island chain).
Pandangan seperti itu jelas menunjukkan bahwa bagi China Taiwan bukan hanya sebagai alasan domestik, penghinaan nasional, persatuan nasional, dan integritas teritorial untuk menaklukkan pulau itu. Namun pandangan ini jelas tidak dapat diterima dan membahayakan perdamaian di kawasan.
Pandangan semacam itu sudah umum diyakini para ahli strategi China. Zhang Wenmu, profesor di Pusat Studi Strategis Universitas Beihang (The Diplomat, 2016) menegaskan bahwa China harus mematuhi strategi Mao Zedong untuk menghadapi banyak kontradiksi yang rumit: pertama-tama mengidentifikasi dan mengatasi kontradiksi utama, dan sisanya akan dengan mudah jatuh ke tangannya.
Mengenai gesekan teritorial China saat ini versus AS, Jepang, dan negara-negara ASEAN, Zhang menegaskan bahwa "kontradiksi utama” terletak dalam masalah Taiwan.
Proyeksi kekuatan China
Bagi China, Taiwan merupakan dua sisi mata uang. Pertama sebagai keamanan perbatasan, persoalan kedaulatan. Kedua menyangkut kepentingan keamanan nasional jalur navigasi maritim untuk menyokong pembangunan ekonomi dan lalu lintas perdagangan serta investasi China.
Pada dua sisi pendekatan strategis itu, Taiwan tak hanya menjadi core interest bagi kepentingan nasional China, tetapi juga bagian penting yang tak bisa dihindari dalam proyeksi strategi maritim China di masa depan.
Begitu Taiwan bersatu dengan China daratan, China akan dapat memproyeksikan kekuatan militernya ke timur melalui Selat Miyako – jalur terbesar melalui rantai Kepulauan Ryukyu Jepang – dan ke selatan melalui Selat Bashi antara Taiwan dan Filipina.
Hasilnya adalah, terciptanya zona pertahanan angkatan laut bersatu yang membentang dari Laut Kuning ke Laut China Timur dan Laut China Selatan, menghubungkan pulau-pulau di Laut China Selatan dengan Pulau Taiwan dan Semenanjung Liaodong.
Proyeksi kekuatan China juga akan meluas jauh ke Pasifik Barat, memungkinkan kapal selam nuklir Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) melintas dan berpotensi melakukan serangan balik mereka dan ini menjadi alasan logis bagi China untuk mengembangkan konstruksi kapal induk PLAN lebih pesat lagi.
Batu sandungan pertama China menaklukan first island chain Taiwan adalah Jepang. Secara historis Jepang mengendalikan Taiwan sebagai protective barrier dan simpul transportasi. Pada konteks itu, Jepang ingin memanfaatkan posisi geopolitik Taiwan yang unik untuk mengamankan akses ke rute navigasi transportasi dan energi di kawasan tersebut serta untuk membangkitkan strategi maritimnya kembali.
Jepang dituduh China menyembunyikan rencana rahasia untuk mencegah reunifikasi damai Taiwan dengan China. Tuduhan tersebut dibuktikan dengan Perjanjian Perikanan Jepang - Taiwan 2013 dan perluasan wilayah geografis konsentrasi aliansi militer AS - Jepang.
Zhang Wenmu mengajukan peringatan serupa dengan menyatakan bahwa Jepang bertujuan untuk mempertahankan akses ke Selat Taiwan untuk memajukan strategi Laut China Selatan. Dia bahkan menyebut wilayah Taiwan sebagai kepentingan inti Jepang.
Para ahli strategi nasionalis neokonservatif China bahkan mendesak untuk mengadopsi kebijakan yang lebih tegas menghadapi AS. Orang-orang garis keras itu sangat banyak terutama di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
Salah satu contoh menonjol adalah buku Unrestricted Warfare, diterbitkan tahun 1999 oleh dua kolonel PLA. Analisis dan argumen buku tersebut diarahkan pada satu tujuan dasar: identifying weaknesses in the U.S. military and ways of exploiting them.
Penulis buku itu menjelaskan secara rinci bagaimana strategi dan kelemahan Amerika; ketergantungan yang tidak semestinya pada teknologi, keengganan yang hipersensitif terhadap korban, kelemahan dalam integrasi perang bersama.
Selain analisis militer, asumsi yang mendasari Unrestricted Warfare adalah bahwa AS merupakan musuh bebuyutan China dan bahwa suatu hari nanti China harus menghadapi musuhnya secara militer.
Selain itu, “tema umum dalam perang PLA adalah bahwa Amerika dinyatakan sebagai declining power dan dalam dua atau tiga dekade akan hilang". Banyak lagi nada bercampur permusuhan dan penghinaan terhadap AS.
Jika pandangan ahli strategis China bertemu dengan pendekatan historis kebijakan luar negeri AS di Georgia dan Ukraina, rasanya perang nirmiliter sedang terjadi. Bagaimana saat ini AS sedang melakukan peperangan nirmiliter mencegah perang dengan manuver-manuver latihan gabungan, manuver kapal induk AS di Selat Taiwan dan berbagai tindakan diplomatik dan pernyataan psywar terhadap Tiongkok.
Usaha-usaha AS ini diharapkan memiliki deterrence effect sehingga China tidak berani dan berpikir seribu kali untuk menjalankan aksi militer terhadap Taiwan.
AS justru sekarang sedang melakukan perang urat saraf dan mengulur-ulur Taiwan agar tetap pada status quo. Namun, jika aksi militer benar-benar dijalankan China terhadap Taiwan, itu artinya upaya AS gagal untuk mempertahankan Taiwan. Karena AS akan menjalankan skenario seperti di Georgia dan Ukraina.
https://www.kompas.com/global/read/2022/08/08/174716270/bagaimana-china-memandang-taiwan-dan-as