Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Misteri Brother Home, Penampungan Brutal yang Simpan Rahasia Kelam Korea Selatan

KOMPAS.com - Setelah beberapa dekade berjuang menuntut keadilan, pada Mei 2020, pemerintah Korea Selatan akhirnya mengeluarkan undang-undang yang memungkinkan penyelidikan baru atas kasus “Brothers Home” atau Rumah Saudara.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi “Negeri Gingseng” akan memulai empat tahun dengar pendapat mengenai pelanggaran hak asasi manusia, dari periode akhir Perang Dunia II, dan masa kediktatoran militer yang brutal (1960 - 1980-an), termasuk yang terjadi di Brothers Home.

Orang-orang yang selamat dari pelecehan mengerikan di pusat kesejahteraan sosial Brothers Home, mengungkapkan kisahnya kepada "101 East" Al Jazeera.

Para penyintas menyuarakan tuntutannya agar anggota keluarga yang mengoperasikan tempat penampungan, yang terkenal di Korea Selatan beroperasi dari 1976 hingga 1987, diekstradisi dari Australia untuk diinterogasi.

Kesaksian penyintas

Park Soon-hee (51 tahun), adalah seorang penyintas pelecehan Brothers Home yang sedang menunggu untuk dipanggil untuk menyampaikan bukti.

Seperti ribuan mantan tahanan ilegal Bother Home, dia menuduh ditahan secara ilegal, diperbudak, diperkosa dan dipukuli secara brutal selama enam tahun terpenjara di rumah itu.

"Lihat ini ... Brother Home menorehkan otoritasnya pada tulang dan ingatan kita," seru Park Soon-hee sambil menangis, dengan tangan yang gemetar memegang pakaian dalamnya saat anak-anak.

Di bagian bawah pakaian tersebut, tercetak tinta hitam nomor identifikasi. Itu diberikan kepadanya ketika dibawa secara paksa ke fasilitas kesejahteraan sosial tersebut pada 1980. Saat itu, dia baru berusia 10 tahun.

“Saya tidak melakukan kejahatan, tetapi mengapa saya diberi nomor identifikasi? Trauma dan stigma ini akan tetap bersama saya sampai saya mati.”

Apa itu Brothers Home?

Brothers Home beroperasi di bawah peraturan pemerintah Korea Selatan untuk “memurnikan jalan-jalan”, yang dikenal dengan nama No. 410.

Pertama kali diterapkan pada 1975, program “pemurnian” itu diperketat pada 1980-an. Tepatnya di bawah pemerintahan otoriter dari Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan, yang sekarang dicela di negaranya sendiri.

“Negeri Ginseng” ketika itu bersiap menjadi tuan rumah Asian Games 1986 dan Olimpiade Seoul 1988. Pemerintahan Chun ingin menunjukkan negara itu sebagai kekuatan ekonomi modern yang baru muncul dan ingin semua "gelandangan" disingkirkan.

Brothers Home menjadi salah satu dari lusinan fasilitas kesejahteraan sosial yang tersebar di seluruh negeri. Pengelola mendapat subsidi dari pemerintah untuk menampung para tunawisma.

Fasilitas yang berbasis di kota Busan ini, awalnya untuk memberikan pelatihan berbasis keterampilan kepada tahanan. Setelah satu tahun, mereka diharap lebih siap bertahan hidup kembali dalam masyarakat.

Brothers Home adalah yang terbesar dari fasilitas semacam itu di Korea Selatan. Pada puncaknya, penampungan ini memiliki hampir 3.500 tahanan.

Dalam sebuah film 1981, pemerintah Korea Selatan merayakannya sebagai pusat kesejahteraan sosial yang patut dicontoh bagi para tunawisma. Tetapi tembok betonnya yang tinggi menyembunyikan keserakahan dan kriminalitas yang luar biasa dari pengelolanya.

Masalahnya, semakin banyak orang yang mereka terima, semakin banyak subsidi yang akan digelontorkan pemerintah. Artinya, semakin banyak uang yang pihak pengelola kantongi untuk diri mereka sendiri.

Anggota Dewan Kota Busan terpilih, Park Min-seong, yang mendukung permintaan maaf Dewan 2018 kepada para penyintas pelecehan Brothers Home, mengakui bagaimana orang-orang diculik dengan kejam dari jalanan dan dipenjara di fasilitas itu.

“Orang-orang (para korban sebenarnya) hanya menjalani kehidupan sehari-hari mereka, orang-orang yang hanya minum, sembarang orang biasa, termasuk anak-anak”.

Kurang dari 10 persen dari mereka yang terperangkap di Brothers Home adalah gelandangan sungguhan, menurut penyelidikan 1987 oleh jaksa lokal Busan, Kim Yong-won.

Perbudakan manusia

Para tahanan awalnya tidur di tenda-tenda, sementara mereka dipaksa membangun fasilitas beton yang luas, bertingkat di sisi bukit yang curam.

Brother Home juga menjalankan lebih dari selusin pabrik yang memproduksi pensil, peralatan memancing, koktail, pakaian, sepatu, kayu, pengerjaan logam, dan banyak lagi.

Mantan tahanan mengatakan mereka kelaparan dan dieksploitasi tanpa malu-malu. Mereka tidak menerima apa pun atas kerja kerasnya, anak-anak pun diperbudak.

Yeon Seng-mo, yang berada di penampungan itu selama empat tahun sejak berumur 15 tahun, mengatakan tahanan dihukum jika gagal memenuhi target harian.

“Jika kami tidak menyelesaikannya, kami akan dipukul dengan tongkat baseball,” katanya di apartemen kecilnya di pinggiran Seoul.

Pabrik-pabrik disajikan sebagai tempat pelatihan bagi tahanan untuk mengembangkan keterampilan baru untuk dunia luar. Tetapi Park Min-seong mengatakan, pada kenyataannya, mereka tidak lebih dari sumber keuntungan besar bagi pengelola Brothers Home.

“Mereka (keluarga pengelola) mengantongi uang dari hasil penjualan produk tersebut, serta mendapat keuntungan dari tenaga kerja gratis,” jelasnya.

Tangan besi Park In-keun

Park In-keun, seorang mantan anggota militer dan petinju, adalah orang yang mengepalai Brothers Home. Dia mengelola penampungan itu dengan tangan besi dan membentuk rantai komando seperti tentara, mempromosikan tahanan ke posisi kekuasaan.

“Strategi mereka adalah membuat tahanan menyiksa tahanan lain,” jelas Park Min-seong. Di dalam apa yang disebut "peleton" yang menampung hingga 120 tahanan dengan deretan ranjang susun, kekerasan merajalela.

Tahanan menjadi sasaran hukuman kolektif yang kejam yang diberikan oleh “pemimpin peleton”, bahkan untuk alasan sepele seperti menjatuhkan makanan ke lantai.

"Kami adalah mainan untuk dimainkan oleh para pemimpin peleton," ingat Choi Seung-woo yang dibawa secara paksa ke Brothers Home saat berusia 14 tahun.

Secara resmi, 551 orang meninggal di fasilitas itu, tetapi diyakini secara luas jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.

“Dibungkus” kekuasaan

Kepala Brothers Home, Park In-keun, mengelilingi dirinya dengan anggota keluarga yang setia.

Istrinya Lim Sung-soon, saudara laki-lakinya Lim Young-soon, dan saudara iparnya Joo Chong-chan. Semuanya adalah direktur rumah penampungan tersebut, dan semuanya mengaku sebagai orang beragama yang taat.

Pada 1986, desas-desus tentang orang-orang yang ditahan di luar kehendak mereka dan pembunuhan di penampungan brutal itu mulai beredar di Busan.

Kim Yong-won seorang jaksa lokal saat itu, melakukan kunjungan mendadak ke salah satu lokasi konstruksi Brothers Home, dan melihat pria dengan tongkat besar menjaga pekerja.

Tak lama kemudian Brother Home digerebek. Mata uang asing senilai 5,5 juta dollar AS (Rp 79 miliar) pada nilai hari ini, disita dari brankas di kantor utama.

Pada Januari 1987, Park In-keun ditangkap dan didakwa dengan penggelapan dan kurungan ilegal. Tapi dia akhirnya dibebaskan dari tuduhan dan tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia di Brothers Home.

Advokat hak asasi manusia terkemuka Korea, Park Lae-goon, dan banyak lainnya yang memeriksa kasus Brothers Home dengan cermat, menuding sekutu politik kuat Park In-keun sebagai alasan pembebasannya.

“Ada pemerintahan Presiden Chun Doo-hwan, dan Wali Kota Busan – ada hubungan dekat antara pihak-pihak tersebut,” katanya. “Bahkan ketika Park In-keun ditangkap, Wali Kota Busan menelepon dan mendorong pembebasannya.”

Alih-alih dipenjara selama 15 tahun karena menggelapkan subsidi pemerintah senilai jutaan dollar hanya dalam periode dua tahun seperti yang direkomendasikan oleh jaksa, Park dijatuhi hukuman hanya dua setengah tahun penjara.

Di tempat pelariannya, keluarga itu ternyata membangun “bisnis kesejahteraan sosial” lainnya, yang dibalut dalam komunitas keagamaan.

Setelah bebas, Park menyusul Lim ke Australia dan mendirikan gereja mereka sendiri di Sydney pada 1990. Keluarga itu diduga mendanainya dengan uang penggelapan dari Brothers Home Foundation di Korea.

Penyelidikan dewan Busan 2020 menemukan uang juga mengalir ke gereja-gereja lain di Australia. Selama beberapa dekade berikutnya, direktur dan pendeta dari Brothers Home menjadi tokoh senior di Gereja Presbyterian Korea di Australia.

Pada 1995, Park mendaftarkan perusahaan keluarga, Job's Town, di Australia. Kerabatnya kembali ditempatkan di puncak pimpinan.

Perusahaan itu membeli sebuah lapangan golf dan kompleks olahraga di pinggiran luar kota Sydney, seharga 1,4 juta dollar AS (Rp 20 miliar). Uang yang juga diduga digelapkan dari Brothers Home.

“Aset ini adalah darah dan keringat para korban, yang nyawa mereka rebut,” ujar Park Min-seong.

Ironisnya, kegemaran keluarga itu untuk mempekerjakan budak terus berlanjut di Australia. Mantan tahanan Brothers Home, Lim Bong-keun, dibawa dari Korea ke Sydney dan dipekerjakan secara ilegal dalam keluarga itu.

Dia mengaku dipekerjakan dari sebelum fajar hingga lewat tengah malam, enam hari seminggu. Dia banyak dipukuli oleh Park saat dia berkunjung. Selama delapan tahun bekerja, dia hanya menerima menerima 160 dollar AS (Rp 2,3 juta).

Tuntutan ekstradisi

Pada 2014, Park sekali lagi didakwa, bersama putranya, Park Chun-kwang, karena menggelapkan uang dari fasilitas kesejahteraan sosial keluarga yang sekarang ditinggalkan di Busan.

Putranya dipenjara selama tiga tahun. Tetapi dakwaan Park ditangguhkan karena dia menderita demensia. Park meninggal dua tahun kemudian.

Dengan sidang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sedang berlangsung, para penyintas ingin Lim Young-segera diekstradisi ke Korea Selatan, untuk menghadapi pertanyaan tentang dugaan kekejaman di Brothers Home.

Kakak iparnya dan sesama direktur Brothers Home, Joo Chong-chan, berada di panti jompo di Sydney dan kemungkinan tidak layak untuk memberikan bukti.

Aset keluarga itu juga menjadi perhatian para penyintas, terutama lapangan golf dan kompleks olahraga. Semua masih ditahan di bawah perusahaan keluarga, Job's Town, dan diduga memberikan pendapatan sewa lebih dari 300.000 dollar AS (Rp 4,3 miliar) setahun.

“Pemerintah perlu mencari cara untuk menyita aset-aset ini dan mengembalikannya ke negara,” tuntut Anggota Dewan Busan, Park Min-seong. “Tentu saja, uang ini kemudian perlu digunakan untuk korban.”

Selama beberapa dekade, para penyintas telah berjuang untuk keadilan. Kebanyakan berjuang secara emosional, fisik dan finansial, bahkan ada yang akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri.

Program "101 East" Al Jazeera menyampaikan semua tuduhan yang diajukan dalam programnya anggota keluarga Park yang tersisa, tetapi permintaan wawancara ditolak.

https://www.kompas.com/global/read/2022/01/27/223000270/kisah-misteri-brother-home-penampungan-brutal-yang-simpan-rahasia-kelam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke