Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dampak Bom di Kabul Afghanistan, Biden Makin Terpojok

Dalam pidato kenegaraannya di Gedung Putih, Biden menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari wartawan, yang menekannya atas kekacauan dari penarikan pasukan hingga berujung peristiwa berdarah ledakan bom Afghanistan.

Presiden ke-46 AS itu kadang-kadang tampak hampir menangis ketika berbicara tentang "para pahlawan" yang tewas, dan saat berjanji memburu para pelaku, ada nada keras dalam suaranya.

Tidak diragukan lagi bahwa kepresidenan Biden terguncang oleh bom Kabul Afghanistan.

Pada Januari saat dilantik, Biden menjanjikan ketenangan di dalam negeri dan kehormatan bagi Amerika Serikat di luar negeri setelah tahun-tahun Donald Trump yang bergejolak.

Namun, kini Biden menghadapi jalan terjal untuk meyakinkan bangsa dan mitra Amerika bahwa kedua tujuan itu masih bisa dicapai.

Politisi Demokrat berusia 78 tahun tersebut sempat tenang saat penarikan pasukan dan evakuasi berjalan lebih baik dari yang diperkirakan.

Pada Kamis pagi (26/8/2021) di Washington, Gedung Putih dengan bangga mengumumkan lebih dari 95.000 orang diterbangkan dengan selamat sejak jatuhnya Kabul ke tangan Taliban.

Akan tetapi, bom Afghanistan terbaru kembali membuat posisi Biden terpojok.

Menutup diri dengan ajudan di Ruang Situasi, Biden membatalkan pertemuan gubernur negara bagian dan mengatakan kepada Perdana Menteri Israel Naftali Bennett yang sedang berkunjung, bahwa pertemuan yang direncanakan di Oval Office harus ditunda hingga Jumat (27/8/2021).

"Setiap hari di mana Anda kehilangan nyawa tentara mungkin adalah hari terburuk kepresidenan Anda."

Akankah Biden mundur?

Biden bukan yang memulai perang Afghanistan, melainkan George W Bush yang mengawalinya.

Biden juga orang pertama dari empat presiden yang benar-benar menepati janji untuk mengakhiri perang.

Tetapi seperti yang dikatakan Biden sendiri, akan ada konsekuensi yang dia hadapi.

Biden sadar tidak akan bisa menghindar dari kemarahan dan kengerian di dalam negeri atas kematian para tentara, atau dampak politik.

"Joe Biden berlumuran darah," kata anggota Kongres dari Partai Republik, Elise Stefanik, dikutip dari AFP.

"Keamanan nasional yang mengerikan dan bencana kemanusiaan ini semata-mata akibat dari kepemimpinan Joe Biden yang lemah dan tidak kompeten. Dia tidak layak menjadi panglima tertinggi."

Senator Republik Marsha Blackburn lalu berkicau di Twitter, bahwa Biden dan semua staf keamanan nasionalnya harus mengundurkan diri atau menghadapi pemakzulan dan pemecatan dari jabatannya.

Jajak pendapat USA Today/Suffolk University minggu ini menemukan sangat banyak orang Amerika percaya bahwa perang Afghanistan tidak layak untuk diperjuangkan.

Survei tersebut juga menemukan persetujuan keseluruhan untuk Biden hanya 41 persen, dengan 55 persen tidak setuju.

"Saya tidak tahu apakah Biden akan hancur secara permanen," kata Mark Rom, profesor pemerintahan di Universitas Georgetown, kepada AFP.

"Tapi Partai Republik akan melakukan segala daya mereka untuk melihat bahwa dia hancur."

Charles Franklin, direktur Jajak Pendapat Marquette Law School, berkata mengingat perang Afghanistan yang tidak populer, Biden mungkin masih bisa keluar dari bencana.

"Pertanyaan politik, setelah kita benar-benar menarik pasukan, adalah apakah mayoritas akan senang kami tidak ada lagi. Jika demikian, maka masalah itu kemungkinan akan memudar," terangnya.

https://www.kompas.com/global/read/2021/08/27/101308570/dampak-bom-di-kabul-afghanistan-biden-makin-terpojok

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke