KOMPAS.com – Sejauh ini, Taliban dilaporkan telah merebut 12 ibu kota provinsi di Afghanistan.
Meski kelompok pemberontak tersebut “hanya” memiliki sekitar 85.000 milisi, mereka telah berhasil menguasai banyak provinsi dan kota-kota besar.
Ketika AS dan NATO terus menarik pasukan mereka dari Afghanistan, Taliban dilaporkan memegang kendali atas 65 persen wilayah negara tersebut.
Laporan lain memprediksi, Taliban bisa saja mengepung ibu kota Afghanistan, Kabul, hanya dalam 30 hari.
Hidup dalam Ketakutan
Fahim Sadat, kepala departemen hubungan internasional di Universitas Kardan di Kabul, mengatakan bahwa suasana ketakutan dan kecemasan menyeruak di jalanan.
"Setelah Idul Adha mereka mulai menyerang kota-kota besar. Serangan itu menimbulkan banyak kematian di antara warga sipil, belum lagi pasukan keamanan,” kata Sadat.
Menurut laporan PBB, lebih dari 5.000 wanita dan anak-anak di Afghanistan meninggal pada paruh pertama 2021 sebagaimana dilansir Sputnik, Jumat (13/8/2021).
Sementara hampir 300.000 lainnya telah mengungsi sejak Januari. Jutaan orang lainnya hidup dalam kemiskinan dan selalu membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Sadat menjelaskan, kondisi yang memburuk di negaranya disebabkan oleh penarikan pasukan AS dan NATO secara tiba-tiba.
"Pemerintah mengeklaim bahwa enam bulan dari sekarang, mereka dapat mengendalikan situasi. Tetapi mengingat kegagalan mereka sekarang, rakyat ragu itu akan terjadi,” ujar Sadat.
Pada April, dilaporkan bahwa jumlah pasukan keamanan nasional Afghanistan, termasuk tentara, polisi, pasukan khusus dan intelijen, mencapai sedikit lebih dari 300.000 personel.
Sementara itu, jumlah pasukan tempur Afghanistan diperkirakan mencapai 180.000 personel. Di sisi lain, Taliban disebut “hanya” memiliki antara 55.000 hingga 85.000 milisi.
Bila dibandingkan secara kuantitas, jelas bahwa pemerintah Afghanistan lebih memiliki sumber daya manusia dibandingkan Taliban.
Meski jumlah sumber daya manusianya lebih rendah dibandingkan pemerintah Afghanistan, Taliban disebut berada di atas angin karena beberapa faktor.
Menurut Sadat, salah satunya adalah pengalaman bertemput Taliban selama 21 tahun terakhir sejak mereka digulingkan oleh pasukan asing.
“Ditambah lagi, ada beberapa negara yang mendanai mereka, jadi mereka memiliki cukup sarana untuk melancarkan perang,” ujar Sadat.
Selain itu, perjanjian terbaru di Doha, Qatar, mewajibkan Taliban untuk tidak terlibat dengan organisasi mana pun dan tidak menggunakan Afghanistan sebagai basis penyerangan terhadap Barat.
Kondisi demikian, membuat Taliban bisa terlibat dengan AS dan pemain internasional lainnya. Hal ini meningkatkan moral mereka.
Dan faktor terakhir, tak bisa dipungkiri bahwa Taliban juga mendapat dukungan dari banyak orang Afghanistan.
“Di daerah perkotaan, di mana orang-orang terdidik dan pemerintah hadir, dukungan untuk Taliban rendah. Tetapi di pinggiran, ketika penduduk kehilangan layanan dan perlindungan dari pemerintah, kesetiaan mereka berpindah,” tutur Sadat.
Bayangan perang saudara
Sadat memperingatkan bahwa perpecahan dan konflik di Afghanistan saat ini berpotensi semakin dalam.
Terutama, mengingat fakta bahwa lebih dari 60 persen penduduk Afghanistan masih berusia muda dan banyak dari mereka enggan hidup di bawah aturan yang ketat jika Taliban berkuasa.
“Generasi muda terbiasa dengan dunia luar, teknologi baru, keterbukaan, dan media yang bebas. Generasi baru ini akan sulit hidup di bawah Taliban, dan kelompok itu, pada gilirannya, akan berjuang untuk menaklukkan orang-orang muda ini," ungkap Sadat.
Sadat menambahkan, perang saudara bisa pecah kapan saja. Pertanyaannya bukanlah bagaimana jika perang saudara pecah melainkan kapan perang saudara pecah.
"Orang-orang takut akan perang saudara. Kami semua berharap penyelesaian politik akan tercapai. Tetapi jika Taliban benar-benar maju dan akhirnya merebut ibu kota, nasib ini (perang saudara) tak terelakkan," ujar Sadat.
https://www.kompas.com/global/read/2021/08/13/144040070/konflik-afghanistan-perang-saudara-bisa-pecah-kapan-saja